Kamis, 09 Oktober 2014




Noviyanto berhasil sukses mengangkat nama daerahnya, Boyolali, dengan produk keju Indrakila. Meski begitu, bapak dua anak ini tak berpuas diri. Ia berusaha terus mengembangkan produk sekaligus mengangkat harkat peternak. Sebenarnya Noviyanto tidak pernah punya tujuan untuk membuat produk keju. Awalnya, ia hanya diminta untuk mendampingi tenaga ahli dari Jerman pada proyek kerja sama Indonesia-Jerman Deutscher Enwicklungsdient (DED). Tenaga ahli yang bernama Benjamin Siegl itu kebetulan adalah ahli mengolah produk susu.

Sebetulnya, menurut Noviyanto, masyarakat Indonesia sudah banyak yang tahu bahwa susu bisa diolah menjadi karamel, kerupuk, sabun dan berbagai produk olahan lain. Tapi semangat untuk melakukannya belum ada, termasuk mengolahnya menjadi susu. Namun, setelah mendapat kesempatan untuk bertemu pada ahlinya, Noviyanto memberanikan diri untuk membuat rekomendasi ke pemerintah Boyolali. Dia mengusulkan, susu yang tidak berkualitas yang dihasilkan dari peternakan susu di Boyolali bisa dijadikan sabun, sementara yang berkualitas dijadikan keju. Sayangnya, dukungan pemerintah pada waktu itu tidak begitu besar, karena dianggap pasarnya tidak ada.

Ketika Benjamin akan berakahir masa tugasnya dan harus pulang ke negaranya, maka pekerjaan Noviyanto pun akhirnya harus selesai juga. Tapi waktu itu, Noviyanto langsung mengusulkan pada Benjamin agar mau membantunya secara pribadi. Noviyanto berkeinginan untuk mendirikan sebuah lembaga yang nantinya bisa menjual produk keju yang mereka hasilkan. Ia pun sampai harus meminta izin ke pemerintah agar Benjamin diperbolehkan untuk membantunya. Dan setelah izin itu dikeluarkan pada tahun 2009, Noviyanto dan teman-temannya sepakat untuk merintis usaha pembuatan keju. Waktu itu modal yang terkumpul untuk memulai usaha tersebut sebanyak Rp 500 juta. Noviyanto memang menjadi pemodal terbesar. Ia bersama teman-temannya tergabung dalam Forum For Economic Development and Employment Promotion (Fedep) Boyolali yang telah mendirikan Koperasi Simpang Usaha (KSU) Boyolali dengan anggota para peternak susu.

Awal produksi mereka belum berpikir untuk jualan, tapi hanya untuk memperlihatkan saja dulu. Tidak berharap akan dapat sambutan. Mereka sadar produk tanpa market tidak realistis. Jadi kunci kesuksesan sebuah produk memang terletak pada market-nya, sementara Noviyanto sendiri tidak tahu sama sekali tentang ilmu marketing, karena dirinya adalah lulusan arsitek. Jadi menurut Noviyanto, waktu itu ia masih trial and error untuk menemukan formula yang tepat membuat keju yang bisa diterima.

Noviyanto memilih nama Indrakila, yang diambil dari kisah pewayangan. Indrakila merupakan tempat Arjuna berdoa sebelum perang melawan Kurawa. Jadi inti dari pemakaian nama itu adalah, sebagai tempat untuk berdoa. Ia menganggap usaha pembuatan keju ini adalah bagian dari doanya. Selain itu nama Indrakila juga lebih mudah diingat dan diucapkan oleh lidah orang asing, daripada kata yang memakai huruf konsonan mati di belakangnya. Soal pemilihan nama Indrakila juga digodok bersama Benjamin. Meski terkesan Jawa, tapi sangat mudah diingat. Karena menurut Noviyanto, banyak produk lokal yang membawa nama lokal tapi ternyata tidak mudah untuk diingat.



Produk keju Indrakila mulai dijual di tahun 2010. Saat itu produksinya masih kecil sekali, hanya 10 kg dari 200 liter susu yang diproduksi setiap hari. Sementara produksi hanya dilakukan seminggu tiga kali. Dan Noviyanto masih menemukan permasalahan yang sama, yakni belum ada marketnya. Ia masih menggunakan cara yang konvensional. Dulu, ia memang belum mengenal media jejaring sosial seperti Facebook. Ia menawarkan produknya dengan cara menawarkan ke teman-teman Benjamin. Para ekspatriat itu diminta untuk mencoba produk keju olahan Indrakila sekaligus mau membantu memasarkannya. Ia juga terbuka untuk menerima masukan apa saja yang kurang dari produk keju yang dihasilkannya itu. Sampai akhirnya, para ekspatriat itu mau memesan hanya untuk menolong dirinya. Noviyanto pun mengaku sangat berterima kasih sekali atas dukungan mereka.

Para ekspatriat itu memang penasaran dengan keju lokal. Selain itu mereka juga cukup bangga bahwa kehadiran ekspatriat dengan dukungan orang lokal yang tepat, ternyata bisa membuahkan hasil yang baik. Dan ternyata, dari situlah permintaan untuk keju dari mereka datang secara kontinyu. Saat itu bentuk penjualan memang eksklusif karena langsung ke end user. Kebetulan teman-teman Benjamin yang ada di beberapa kota seperti Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya juga banyak yang membuka usaha kafe ataupun restoran.

Noviyanto bersyukur, meski perkembangan usahanya dibilang lambat tapi terus berjalan maju. Di tahun 2010 hingga 2011 itu, ia berusaha keras meningkatkan produksi agar gaji karyawan yang waktu itu baru Rp 300.000 bisa meningkat pula. Bila produksi meningkat, tentu harus mencari pasarnya pula. Beruntung, waktu itu ada seorang ekspatriat dari Bali yang menghubunginya dan mengatakan mau membantu dengan memesan keju per minggu sebanyak 200-300 kg. Noviyanto pun semakin bersemangat karena produk Indrakila justru disukai oleh orang Eropa. Hal itu berarti, produknya yang asli dalam negeri sebenarnya sudah mampu bersaing dan punya kualitas yang bagus. Di sisi lain beban Noviyanto sudah semakin berat. Ada kafe, karyawan, dan peternak yang tergantung pada kelancaran produksi keju Indrakila.

Sejak awal, Noviyanto memang sudah memberikan harga susu yang lebih tinggi dari harga pasar. Ia sudah memiliki sumpah untuk mengangkat derajat peternak. Jadi ia harus memastikan semuanya berjalan secara kontinyu. Saat ini dengan 100 peternak yang bisa menghasilkan 1000 liter susu/hari, untuk menjadi keju hanya dibutuhkan 10 persennya saja. Biasanya permintaan cukup tinggi saat menjelang Natal atau pun peak season yang bisa sampai 100 kg/hari. Seiring berjalannya waktu, dan dengan bantuan teman-teman media juga, nama Keju Indrakila pun mulai semakin terdengar. Noviyanto pun bertekad bahwa usaha ini bisa terus berjalan, tidak boleh bangkrut, dan semakin bertambah maju.



Dalam usahanya ini Noviyanto memang ingin memberdayakan peternak. Ia tidak pernah punya keinginan untuk membuat peternakan sendiri, karena ia tidak ingin dicap sebagai kapitalis murni yang menguasai hulu sampai hilir. Baginya, semuanya sudah ada pembagian rezekinya. Ia berpikir lebih baik perkembangan usahanya lambat, tapi yang penting bisa terus berkembang. Saat ini, dengan produksi 1000 liter per hari saja ia sudah berperan ke 100 peternak. Ke depannya, ia berharap volumenya bisa terus meningkat, misalnya sampai 10.000 liter per hari. Bila suatu hari hal ini terjadi, bukan tidak mungkin ia bisa memberikan sistem member. Member ini berbentuk kartu anggota untuk para peternak yang bisa memberikan beragam manfaat, seperti diskon dan fasilitas kesehatan.

Tujuannya ini memang bukan sekedar iming-iming belaka. Karena ada hal lebih menarik yang ingin dicapai Noviyanto, yakni supaya nantinya ada peternak yang ingin anaknya juga menjadi peternak. Baginya hal ini cukup penting. Karena ia berpikir bagaimana mungkin negara kita mau swasembada susu, sedangkan kenyataannya tidak ada satu peternak pun yang menginginkan anaknya jadi peternak juga. Malah biasanya mereka sering merencanakan menjual sapinya untuk membiayai anak sekolah. Itu sebabnya, menurut Noviyanto, peternak mesti diiming-imingi bahwa pekerjaan mereka itu sangat menghasilkan. Kalau sudah tercipta budaya seperti itu, maka akan semakin memudahkan Noviyanto untuk mengolahnya. Jadi ia memang bertujuan nantinya para peternak itu punya faslitas. Daripada mereka harus membayar BPJS misalnya, lebih baik dipotong saja dari harga jual susunya. Dari situ mereka bisa menyewa dokter selevel Puskesmas.

Hingga saat ini Keju Indrakila sudah mempunyai 9 varian, beberapa di antaranya seperti mozzarella fresh, mozzarella kuning, feta olive oil, feta chili, mountain chili, dan boyobert. Boyobert merupakan jenis keju seperti camembert, tapi ia sengaja rubah namanya dari gabungan kata Boyolali dan camembert. Inovasi yang dilakukan untuk produk pun terus ada dan disesuaikan dengan permintaan pasar. Misalnya, pernah ada keju mozzarella yang dibuat bulat-bulat kemudian ditaruh dalam air. Produk tersebut masa expired-nya hanya 7 hari, dan bila sudah expired akan lumer menjadi air. Dan kebetulan ada pelanggan di Bali yang memintanya untuk membuat keju mozzarella fresh jenis itu.



Walau sebenarnya ia tidak terlalu tertarik, tapi karena merupakan permintaan, Noviyanto tetap membuat keju jenis itu sebanyak 10 kg, sekalian untuk uji coba. Ternyata ia bisa memproduksinya. Tapi karena hasilnya belum sempurna, harga jualnya masih setengah dari harga pasaran pada umumnya. Karyawan yang bekerja padanya dari awal pun menyarankan agar ia bisa serius dengan keju jenis ini. Akhirnya, ia pun terus mencoba membuat sampai akhirnya produk ini bisa benar-benar diterima. Kini pelanggannya sekali pesan bisa sampai 60 kg. Dan saat ini juga masih ada satu produk yang tengah dikembangkan, berencana dikeluarkan di tahun 2015.

Masalah kompetitor, menurut Noviyanto, sebenarnya di Indonesia memang ada beberapa produsen keju. Namun karena varietas keju itu sangat banyak, maka orang pun akan mempunyai kesukaan masing-masing. Masing-masing punya perbedaan, karena pengolahnya memang berbeda dan susu yang dihasilkan pun juga beda. Perbedaan pada flavour itu biasanya terletak pada kadar lemak dan kadar proteinnya. Dan yang menjadi kebanggaan Noviyanto, ia bisa menemukan sendiri formula yang tepat untuk semua produk Keju Indrakila, meskipun dengan perjuangan yang tak mudah. Ia bersyukur, saat itu masih ada Benjamin yang terus membantunya. Baginya proses trial error itu merupakan pengalaman yang luar biasa.

Noviyanto mengakui, sampai saat ini ia tidak bisa selalu membedakan tiap tipe keju. Benjamin memang pernah mengatakan bahwa ia harus mengenali beragam flavour keju. Tapi sampai saat ini ia hanya melakukan tes di konsumen saja. Jadi ia cukup mempercayakan kepada konsumennya yang ekspatriat. Kalau mereka mengatakan kejunya bagus, maka ia cukup percaya saja. Sama dengan bisnis lainnya, masing-masing pasti memiliki pendekatan yang berbeda terhadap konsumennya. Misalnya, konsumen lokal selalu meminta keju yang berwarna kuning karena lebih familiar. Padahal keju olahannya dibuat natural tanpa pewarna. Seiring berjalannya waktu, Noviyanto pun jadi tahu jenis keju untuk lokal dan konsumen dari luar.

Di tahun 2012, ada kawan Noviyanto yang bekerja di Majalah Tempo menyarankannya untuk berpromosi lewat Facebook. Dari kawannya itu ia juga tahu bahwa di Facebook juga terdapat banyak komunitas. Dan kawannya itu mau membantunya mengikutkannya ke komunitas-komunitaa itu. Sang kawan memang tahu semua grup makanan yang ada di Yogyakarta. Salah satunya komunitas Langsung Enak. Saat Noviyanto baru masuk ke sana, member-nya masih 2000 orang, tapi sekarang sudah mencapai 58.000 anggota. Di komunitas itu juga terdapat ibu-ibu yang suka memasak. Di situlah ia bisa memperkenalkan Keju Indrakila. Misalnya, begitu ada lomba masak, nanti ia akan mengirimkan pemenangnya 1 kg produk keju Indrakila. Dan pada akhirnya, teman-teman di Facebook inilah yang menjadi reseller kecil-kecilan Keju Indrakila.

Saat ini kira-kira sudah ada 15 reseller yang perbulannya memesan sampai 20-30 kg. Para reseller itu ada yang berada di Sulawesi, Kalimantan, Sumatera. Untuk Pulau Jawa ada di kota seperti Surabaya, Semarang, Ungaran, dan masih banyak lagi. Persyaratan untuk menjadi reseller juga tidak rumit. Sederhana saja. Bahkan kalau keju yang dikirimkan rusak, ia akan mengirimkannya lagi dengan yang masih bagus. Misalnya, pernah ada kiriman ke Lombok. Karena pesawatnya delay dan lama di perjalanan, kejunya pun jadi rusak dan minta dikembalikan.



Untuk memasarkan produknya, Noviyanto lebih memilih pasar di Bali daripada di Jakarta. Dan memang sampai saat ini ia belum mau masuk pasar Jakarta, walau sebenarnya permintaan di Jakarta cukup besar. Semuanya masih terkendala pada pengiriman. Ia lebih suka memasarkan di Bali yang dalam perjalanannya tidak begitu macet seperti di Jakarta. Sedangkan di Jakarta kalau kondisi di jalan macet dan butuh waktu 24 jam, maka kejunya bisa rusak. Untuk pengiriman skala medium ke bawah hal seperti itu memang masih sulit, kecuali bila ia sudah punya mobil ekspedisi sendiri seperti mobil pengantar es krim. 

Tentunya banyak hambatan dan kendala yang Noviyanto hadapi selama mengembangkan produk Keju Indrakila ini. Salah satunya adalah untuk menguasai pasar lokal. Konsumen lokal memang belum banyak yang tahu produk yang sesuai dengan kebutuhan. Misalnya, ada yang berpikir bahwa keju mozzarella itu pemakaiannya dengan cara diparut, padahal harusnya dipotong-potong saja. Intinya perilaku konsumen memang beragam. Namun di tengah keterbatasan itu, ia selalu berusaha keras untuk terus mengembangkan usahanya.












 
 keju.indrakila@gmail.com

3 komentar: