Sabtu, 28 Februari 2015



Berawal dari garis nasib yang memisahkannya dengan suami tercinta, Dian Ekawati kemudian bangkit dan berhasil membangun kembali bisnis yang diwariskan sang suami. Awal perubahan nasib Dian memang dimulai tatkala ia ditinggal pergi sang suami tercinta, Djamarudin Hamid, untuk selama-lamanya. Sebetulnya, sebagai istri seorang pengusaha, hidup Dian waktu itu sudah berkecukupan bersama Fawwaz, anak semata wayangnya, dan tiga anak tiri yang dibawa suaminya dari pernikahan pertama.

Namun, kenyamanan hidup Dian berubah drastis ketika suaminya mendadak mengalami serangan jantung dan meninggal pada 11 Maret 2009. Hari itu, Dian tengah menunggui Fawwaz yang dirawat di rumah sakit. Suaminya yang baru saja pamit padanya, tak lama kemudian kembali ke rumah sakit dalam keadaan tak bernyawa. Menurut tukang ojek yang diminta suaminya mengantarkan ke rumah sakit, suaminya keluar dari mobil sambil memegangi dada karena sakit. Mobilnya lalu ditinggal di pinggir jalan, tapi sudah sempat dikunci. Tak lama, seorang suster mengantarkan dompet suaminya ke pada Dian. Dari situ barulah ia tahu, suaminya diantarkan ke rumah sakit karena serangan jantung. Dan menurut dokter, suaminya sudah meningggal di atas motor saat perjalanan menuju rumah sakit.

Hari-hari kelabu pun mewarnai perjalanan hidup Dian. Belum hilang rasa sedih atas kehilangan belahan jiwa, beberapa hari kemudian Dian mendapat tagihan kartu kredit dan lainnya dengan jumlah total Rp 300 juta. Ternyata, sebelum meninggal suaminya sempat menggadaikan rumah dan mobil untuk mendapatkan modal usaha. Karena, klien-kliennya biasanya baru membayar setelah dananya turun beberapa bulan kemudian. Tak tahan menangis terus menerus di rumah dan tak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya, seminggu setelah suaminya meninggal Dian berusaha bangkit. Ia bertekad meneruskan usaha suaminya demi membayar cicilan utang yang per bulannya Rp 30 juta dan menafkahi ke empat anaknya. Kebetulan, Dian sempat bekerja di bidang marketing asuransi sebelum menikah. Dan sejak dua tahun sebelum meninggal, suaminya juga terkadang mengajaknya ke sekolah-sekolah yang menjadi kliennya.

Sebelum tinggal di Jakarta dan menikah dengan Hamid, Dian tinggal di Yogyakarta. Ia bekerja sebagai tenaga pemasaran untuk perusahaan asuransi. Beberapa kali ia juga sempat pindah ke beberapa perusahaan asuransi lain. Piawai dalam bidang ini, membuat perempuan asli Yogyakarta ini sempat mendapatkan beberapa penghargaan. Namun, setelah menikah, Dian hanya menjadi ibu rumah tangga sambil terkadang membantu urusan administrasi di perusahaan suaminya. Saat itu suaminya memang keberatan bila ia bekerja di tempat lain. Namun, pada tahun ke delapan pernikahan mereka, tiba-tiba suaminya berubah pikiran, dan justru sangat menginginkan Dian bekerja kembali. Dian mengaku, di situ ia sudah merasa aneh. Lalu suaminya juga rajin mengajaknya kala bertemu dengan klien-kliennya. Di sekolah-seolah tersebut, sang suami memperkenalkan Dian kepada para kliennya, sambil menunjukkan cara bekerja. Seolah-olah sang suami saat itu menunjukkan tanda-tanda meminta Dian untuk menggantikannya kelak.

Setelah menikah, Dian memang menuruti permintaan sang suami. Ia pindah dari Yogyakarta ke Jakarta, mengikuti sang suami yang mencari nafkah sebagai supplier peralatan pendidikan ke berbagai sekolah, seperti AC, komputer, LCD proyektor, dan sebagainya. Namun, untuk meneruskan usaha yang dirintis sang suami ternyata tak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi, hampir seluruh karyawan suaminya kemudian mengundurkan diri. Apa daya, saat itu hanya usaha itulah yang bisa Dian lakukan. Tanpa banyak pertimbangan, ia segera menghubungi semua klien suaminya, memperkenalkan diri sambil menanyakan apakah ada kebutuhan peralatan yang bisa ia bantu.

Tak sedikit di antara klien yang menolak dengan alasan sedang tak membutuhkan. Beberapa dari mereka bahkan memilih pindah ke rekanan lain karena merasa tak kenal dengan Dian sebelumnya. Apalagi, Dian menolak memberikan diskon besar pada mereka. Hal yang sebelumnya dilakukan suaminya. Menurut Dian, ada klien yang minta diskon hingga 40 persen dan meminta kuitansi kosong. Namun Dian selalu menolak. Setelah beberapa waktu menjalankan usaha warisan suaminya, Dian melihat mereka-mereka yang menuruti permintaan itu, dipanggil oleh KPK karena proses pengadaannya pun bermasalah. Bagi Dian, tidak masalah kehilangam klien karena ia menolak memberikan diskon besar, yang penting usahanya bersih.

Dian pun hanya melayani sekolah yang benar-benar murni ingin berbelanja. Ia berprinsip, bagaimana caranya bisa bertahan di bisnis ini tapi tak menimbulkan dosa. Ironisnya, ada pula sekolah yang ketika ditagih mengaku tak punya utang pada almarhum suaminya, meskipun ada buktinya. Dian pun akhirnya terpaksa mengikhlaskan uang itu. Belum lagi, saat ini pemerintah juga mengawasi pengadaan barang di sekolah-sekolah dengan ketat dan melarang mereka berbelanja kecuali untuk kebutuhan penting.

Meski tak sedikit klien yang pergi, Dian tak putus asa. Toh, tak sedikit pula klien yang tetap jadi pelanggan. Ia juga merekrut banyak karyawan baru, bahkan termasuk yang baru lulus sekolah. Dian juga rajin berkeliling ke toko-toko yang menyuplai peralatan usahanya, untuk memperkenalkan diri sambil membandingkan harga dan pelayanan mereka. Bisa dibilang, ia memulai usahanya ini bukan dari nol lagi, melainkan dari minus. Pendekatan yang dilakukan Dian berbeda dengan yang dilakukan sang suami. Ia terus mencoba meyakinkan klien-klien suaminya. Bidang usaha yang digelutinya ini memang kebanyakan diisi oleh para pria. Namun, meski semua pesaingnya pria, ia tak mau mudah menyerah. Dian terus mencari calon klien baru dengan berbagai cara.

Misalnya, jika rekanan lain mampu mendatangkan barang dalam waktu seminggu, ia berani menjamin dalam 2x24 jam sejak dipesan, barang sudah sampai. Dian bersyukur, rekanan lain sulit menyamainya dalam hal ini. Dian pun rela mendapat harga yang lebih mahal dari pemasok asalkan toko itu sanggup memenuhi syarat tersebut. Setiap hari, ia bekerja jungkir balik. Pukul 06.00 pagi ia sudah keluar rumah dan baru pulang tengah malam. Dian yang punya latar belakang ilmu akuntansi ini juga rajin membaca buku kewirausahaan dan biografi pengusaha sukses. Bahkan ia bergabung dalam Tung Desem Waringin Club dan klub Robert Kiyosaki, dua nama besar di bidang motivasi.

Motivasi, semangat, dan keyakinan tinggi yang ia miliki membuat usahanya mulai menampakkan hasil. Setiap bulan, ia mampu membayar cicilan utang. Pelan-pelan, makin banyak pula sekolah yang mempercayakan kebutuhan peralatan mereka pada Dian, mulai tingkat SD sampai perguruan tinggi. Kebanyakan kliennya adalah sekolah tingkat pertama. Selain memesan barang, mereka juga minta dibuatkan ruang khusus, misalnya laboratorium bahasa lengkap dengan seluruh isinya. Atau kalau memiliki ruangan tak terpakai, terkadang mereka berkonsultasi, sebaiknya digunakan untuk apa. Dian memang sering pula memberikan masukan pada kliennya soal peralatan dan ruangan. Kini, Dian juga yakin ada alasan mengapa Tuhan menjodohkannya dengan sang suami. Selama menikah, suaminya memang sering bercerita padanya tentang bisnisnya. Tapi sang suami tidak pernah menceritakan soal kliennya yang ‘menembak’ minta diskon besar. Dian berpikir, hal itu bisa dibicarakan dan selesai dengan baik. Namun begitu dirinya masuk sendiri ke bisnis ini, ternyata ia merasakan ganasnya yang luar biasa.

Dian mengaku awalnya sempat stres saat menjalani usaha ini, bahkan merasa tak bisa bertahan. Ia sebabnya, ia kemudian sempat terjun kembali ke bidang asuransi dan kembali mendapat penghargaan atas prestasinya. Namun, semangat untuk membayar utang membuatnya bisa melewati berbagai ujian berat sebagai supplier peralatan sekolah. Ini didukung pula dengan kesediaannya belajar dan kedisiplinannya membagi waktu untuk semua hal yang harus ia urus. Setelah tiga tahun bekerja keras, seluruh utang suaminya pun lunas terbayar tanpa ada harta warisan yang terjual. Bahkan, ia juga berhasil membiayai pernikahan kedua anak tirinya. Tapi ternyata perjuangan Dian belum selesai. Karena setelah itu,  ia dan anaknya diminta keluar dari rumah peninggalan suaminya oleh anak-anak tirinya. Meski kini ia harus mengontral rumah dan sedang mengumpulkan uang untuk membeli rumah sendiri, Dian mengaku ikhlas.

Dian mengakui, sebenarnya yang paling tidak mendukungnya meneruskan usaha sang suami adalah anak-anak tirinya. Mereka meragukan kemampuan Dian. Tapi Dian percaya, rezeki pasti akan datang selama niatnya baik. Sekarang, Dian hanya bertanggung jawab untuk membesarkan anak semata wayangnya. Dian menganggap, anaknya yang memiliki IQ 138 itu memang dikirim Tuhan untuk mendampingi hidupnya menggantikan sang suami. Sang anak terlahir indigo. Dia bisa mengetahui orang yang jahat atau tidak, dan biasanya hal itu akan diberitahukan pada Dian. Setelah keluar dari rumah peninggalam suaminya, Dian pun segera menutup usaha suaminya dan mendirikan usaha lain yang sama dengan nama yang berbeda.

Setelah usahanya berjalan selama enam tahun, omzetnya per bulan sudah menyamai omzet mendiang suaminya dulu yang di kisaran Rp 300 juta. Itu sudah termasuk bisnis mutiara dan agen perjalanan yang baru ia dirikan belakangan. Karena pembayaran klien biasanya menggunakan sistem tempo, Dian memang harus membuka usaha lain. Dan kini, rencana ke depannyaa ia juga ingin membesarkan usaha agen perjalanannya itu. Dian pun bersyukur kini kliennya sudah berjumlah 150 sekolah. Rasa peduli pada klien atas setiap keluhan dan masukan membuat mereka enggan berpaling ke rekanan lain. Dian memang harus memberikan perhatian yang lebih pada mereka, karena persaingan bisnis yang digelutinya sangat ketat. Bahkan ada juga kepala sekolah yang sudah dipindahkan ke sekolah lain, tetap memakai jasa Dian di tempatnya yang baru. Dian selalu ingat kata-kata almarhum suaminya, sebagai tenaga marketing, ibarat menembak, tapi tidak boleh sampai kehabisan peluru. Jadi, harus selalu punya inovasi dan cara agar bisa membuka hati klien supaya mereka bersedia bekerja sama dengan kita.

Sempat stagnan dalam usaha, Dian lalu rajin berorganisasi untuk memperluas jaringan dan ilmu. Selain jadi anggota Kadin, kini ia juga aktif menjadi Ketua Departemen Bina UKM di HIPMI DKI Jakarta, Bendahara Umum LP3 DKI Jakarta, dan Wakil Ketua Perdagangan Dalam Negeri HIPMI Pusat. Banyak bertemu pengusaha besar membuat wawasan dan ilmu bisnisnya semakin berkembang. Dari mereka lah, Dian belajar banyak hal sekaligus menjalin persaudaraan. Dian juga senang beberapa karyawannya yang keluar kini sukses mengikuti jejaknya berbisnis. Melihat usahanya kini maju, menurut Dian, tak sedikit mantan karyawan suaminya yang telah keluar menyesal. Mungkin mereka awalnya tak mengira Dian bisa melewati semua ini. Semangat dan perjuangannya untuk maju itulah yang membuat mereka termotivasi untuk berbisnis sendiri. Bahkan kini beberapa dari mereka sekarang usahanya sudah maju, mempunyai rumah dan mobil sendiri, padahal sebelumnya tidak punya apa-apa.

4 komentar:

  1. ••мαкαsιн๋ untuk motivasi

    BalasHapus
  2. Bu dian semangat terus,wanita yg luar biasa motivator yg hebat, salam super by Alvie

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dengan meninggalkan hutang dan tidak mau bayar, itu yang luar biasa?

      Hapus
  3. Sampai sekarang pun hutang nya tetap masih ada dan tidak mau bayar, kalau mau sukses hutang dibayar jangan nunggak lama sekali. Terimakasih

    BalasHapus