Berberda latar belakang, namun memiliki passion yang sama terhadap dunia makeup, itulah alasan Fitri Reksoprodjo, Tiara Adikusumah, Astrid Rahma Novalia, dan Desty Uwais akhirnya memutuskan membangun bisnis kosmetik, tepatnya lipstik cair berlabel Polka. Desty dulunya kuliah di jurusan marketing finance, namun banyak bekerja di marketing communication company, branding, dan juga memiliki perusahaan marketing communication sendiri. Astrid sudah lama memiliki passion di makeup, sementara Fitri dulunya kuliah di Komunikasi Fisip UI, dan Tiara berlatar belakang desain grafis, pernah bekerja di media fashion, dan setelah itu sering mendapat klien dari perusahaan kosmetik.
Mereka lalu berbagi tugas sesuai background masing-masing, namun saling membantu. Mereka banyak berdiskusi dan saling memberi masukan. Walau sudah dibuat divisi R&D, bila ada salah satu dari mereka tidak sreg dengan hasilnya, akan coba dicari lagi solusinya. Langkah baru akan dilanjutkan setelah mereka berempat menemukan kata sepakat. Nama Polka diambil dari spirit Polka, sebuah tarian rakyat dari Eropa Timur, yang dilakukan secara beramai-ramai, ritmenya sama, fun, dan semuanya happy. Joy of happiness itulah yang diambil menjadi spirit brand. Oleh karena itu, nama-nama variannya pun berkisar antara lagu, dancing steep, atau nama alat musik. Mereka ingin, ketika orang ingat atau sedang memakai Polka, di mana pun dan berapa pun usianya, dia merasa muda dan happy. Pemakai Polka dimulai dari siswi SMP sampai nenek-nenek. Harapan mereka ke depan, artis Hollywood pun bisa juga memakai Polka.
Mereka memilih membangun bisnis berbasis internet karena penggunaan digital yang kian marak. Apa pun yang mereka pakai atau alami biasanya langsung di-share lewat media sosial. Tak hanya di Indonesia, tapi sudah tidak ada lagi batasan dengan negara lain. Melihat fenomena itu, keempatnya melihat peluang. Mereka berpikir, mengapa tidak membuat sebuah brand yang diluncurkan secara digital ? Sampai saat ini, mereka pun hanya menggunakan media digital dari sisi marketing dan point sales, tidak memakai jalur yang konvensional. Mereka yakin, ketika seseorang sharing di dunia digital, pasti karena dia sudah punya pengalaman yang bagus atau jelek. Oleh karena itu, mereka harus benar-benar mempunyai kekuatan produk dengan kualitas yang baik agar bisa diterima pasar. Sambil membuat produk, mereka juga melihat produk apa yang sedang jadi tren. Akhirnya, keempatnya membuat Polka dan melaunching produk tersebut pada Oktober 2015. Oktober itu pula mereka membuat website dan menjalankan viral dan digital marketing.
Desty dan ketiga rekannya memilih lipstik karena alasan tertentu. Sifatnya sangat impulsif. Ibarat melihat permen di toko, orang yang melihat pasti akan mudah tergiur. Jadi, effort untuk memperkenalkan produk ini akan lebih mudah. Di online, orang akan gampang tertarik karena melihat warnanya. Berbeda dengan foundation atau produk lainnya yang bisa cocok, bisa juga tidak. Mereka beranggapan, orang yang tidak memakai makeup pun biasanya masih memakai lipstik. Selain warnanya mudah dilihat dan bisa mengubah penampilan wajah, pemakaiannya pun cepat. Jadi, mereka sengaja mengenalkan produk yang mudah diterima terlebih dahulu. Paling tidak, nama brand-nya bisa menempel di benak pengguna, baru kemudian mereka bisa mengeluarkan produk berikutnya.
Sebagai brand baru, mereka sadar harus mendapat perhatian dan kepercayaan konsumen. Kalau sudah dikenali dan masuk ke hati konsumen, akan lebih mudah bagi mereka untuk membuat produk berikutnya. Sebetulnya, motivasi membuat produk tersebut adalah mereka ingin membuat produk yang high quality dan international quality. Karena pasarnya adalah para netizen, yang notabene tidak punya batasan lokasi. Polka ingin diterima di seluruh dunia. Apalagi, sekarang orang dari berbagai negara juga sudah melek dan mencari produk yang halal, bukan hanya kaum muslim saja. Inilah yang menjadi peluang pasar buat mereka dan sejak awal sudah memikirikan pasar internasional. Produk Polka sengaja dibuat halal, paraben free, cruelty free, dan alcohol free.
Di luar negeri, bisa jadi ada produk yang bagus, tapi tidak halal karena muslim bukan mayoritas. Namun, bagi Polka, selain kualitasnya harus bagus, kehalalan juga perlu. Mereka membuat produk yang layak dipakai semua perempuan di dunia. Dalam pandangan idealisme mereka, meski tidak setiap hari mengenakan makeup tebal, setiap orang layak mendapatkan kualitas makeup yang baik, termasuk dari sisi kredibilitasnya dan bisa dipercaya tidak akan merusak kulit, serta aman untuk ibu hamil dan menyusui. Itu sangat penting bagi mereka yang telah mempunyai beauty product dan passion di dunia makeup. Selain sebagai pemilik brand, mereka juga pengguna. Jadi, mereka ingin memakai produk yang bagus, maka dari itu juga harus membuat produk yang bagus.
Untuk menciptakan produk seperti yang mereka inginkan, Polka memiliki divisi Research & Development (R&D). Mereka juga mempunayi beberapa benchmark dalam mencapai target hasil akhir produk. Misalnya, dari sisi warna, harus bisa diterima dengan baik oleh kulit gelap maupun terang. Juga dari sisi moist (kelembaban). Lipstiknya tidak boleh membuat bibir kering. Lalu mereka membuat panel untuk tes pasar, apakah produk Polka sudah cukup nyaman atau tidak. Ternyata responsnya bagus. Toh, meski Polka merupakan brand yang dikembangkan di Indonesia, tapi raw material dan packaging yang dipilih adalah yang terbukti secara global. Misalnya, menggunakan botol yang FDA approved. Karena formulanya delicate, botolnya tentu tidak boleh bocor, kuas applicator-nya juga harus yang baik. Kalau kualitasnya benar-benar bagus, barulah mereka berani pakai. Sebab, mereka hanya menyajikan produk yang high quality. Mereka tidak mau main-main, dan berusaha jangan sampai ada pendapat yang tidak baik.
Kini, produk lipstik Polka tersedia dalam enam warna, yaitu Mandolin, Get In The Swing, Jingle Giggle, Tambourine, Maracas, dan yang limited edition, Blush Tambourine. Produk lipstik Polka dijual dengan harga Rp 185.000 per botol. Memang, ada yang mengatakan harga itu terlalu mahal untuk produk lipstik Indonesia. Tapi itu mungkin karena mereka tidak tahu bahwa kualitasnya memang beda dan isinya juga cukup banyak, yakni 4,5 ml. Desti dan ketiga temannya, sengaja membangun mind set bahwa produk Indonesia itu juga bisa high quality. Orang membayar sesuai dengan kualitas yang didapatkan. Jadi, soal range harga, sebenarnya Polka masih berada di tengah-tengah.
Saat ini, produk Polka dibuat dan dikemas di pabrik. Mereka sendiri yang belanja raw material dan packaging-nya. Beberapa memang masih diimpor, tapi jika di Indonesia terdapat bahan baku yang terbaik, mereka akan mengambil dari Indonesia dan berharap kelak tak perlu lagi mengimpor. Mereka berharap, dengan adanya beautypreneur berstandar internasional seperti yang mereka lakukan, produsen-produsen packaging yang lain akan terpicu supaya bisa lebih berkembang seperti di Korea, misalnya. Mereka punya mimpi bisa memiliki pabrik sendiri agar lebih leluasa mengembangkan produk-produk yang high quality.
Mereka memilih lipstik cair, bukan padat, dengan alasan lipstik padat dengan merk terkenal dari luar negeri yang harganya mahal sekalipun jadi lumer ketika ditaruh di dalam tas. Selain lebih praktis, makeup yang sedang tren di dunia terutama di Amerika memang berbentuk likuid dan jenis matte. Setelah mereka membuat yang cair, beberapa produk lokal yang lain pun mengikuti.
Ternyata, tak mudah mencari formula yang pas untuk menghasilkan lipstik Polka seperti sekarang. Mereka mengaku butuh lima kali percobaan, sejak Maret 2015. Hal-hal yang selama ini menjadi problem perempuan dalam menggunakan lipstik benar-benar mereka pikirkan dan dijadikan pengalaman dalam mengembangkan produk. Sebagai contoh, mencari botol yang tepat. Rencana launching sebelum Lebaran pun tidak terkejar karena belum menemukan botol yang sreg. Sebagai perempuan, mereka memang berbisnis dengan menggunakan hati. Tidak apa-apa kalau harus mundur, karena mereka tidak ingin setengah-setengah.
Untuk memperkenalkan Polka ke publik, mereka memilih mengirim email ke 100 orang terpilih, kebanyakan adalah blogger dan artis, untuk memperkenalkan produk brand mereka. Awalnya, ada yang menanggapi, ada yang cuek, dan ada pula yang memberi red card. Bagi yang bersedia dikirimi produk, mereka akan mengirimkan. Bahkan, yang tadinya memberi red card pun, akhirnya ada juga yang minta dikirimi. Tidak ada kewajiban bagi mereka untuk mengulas produk Polka, tapi akhirnya semuanya memberikan review. Sejak awal, mereka memang sudah ikhlas. Bila ada yang ingin review diperkenankan, tidak pun juga tidak masalah. Karena tujuan mereka hanya ingin share produk dan yang menerimanya juga bisa happy to share ke orang lain tanpa merasa terpaksa. Tenryata, secara packaging, produk mereka termasuk instragamable. Jadi kebanyakan dari yang menerima bersedia share dan memberikan review. Itulah yang membuat keempatnya semangat untuk lebih mengembangkan produk. Sejak awal, mereka sudah berkomitmen untuk tidak memakai cara endorsement berbayar. Berbeda, bila nantinya ada yang mengajak untuk kolaborasi.
Mereka ingin marketing dilakukan secara organic sharing ke blogger dan lainnya. Karena, menurut mereka, kalau dibayar, terkadang membuat komentarnya pun datar saja, tidak soulful. Tentu tidak sesuai dengan produk Polka yang dinamis dan soulful. Mereka benar-benar menginginkan review yang jujur tentang produk Polka. Diibaratkan, mereka sudah terlanjur nyemplung ke bidang ini, maka kalau ternyata tidak bisa diterima, setidaknya mereka tahu sejak awal apa kekurangannya. Sekarang, follower Polka sudah berjumlah 14 ribu dan semuanya organik. Dan terbukti, sejauh ini penjualan Polka bagus. Saat launching, mereka memproduksi 25.000 botol untuk stok 6 bulan, tapi ternyata langsung habis dalam 1,5 bulan. Terbukti, strategi viral dan strategi digital marketing yang mereka lakukan sudah pada jalurnya. Mereka mengaku juga kaget dengan antusiasme publik. Ternyata dengan kekuatan viral yang saling sharing itu, dalam waktu 1,5 bulan produk mereka langsung habis, di luar dugaan mereka.
Tak hanya di Indonesia. Beberapa bulan setelah launching, datang permintaan dari seorang beautypreneur di Amerika untuk menjadi agen Polka. Sang beautypreneur tersebut bersedia membuat website seperti website yang sudah dimiliki Polka di Indonesia, tapi untuk pengiriman di Amerika. Dia memiliki spirit dan passion yang sama seperti Desty dan kawan-kawan, dan tahu bagaimana proses memulainya. Bisnis Polka memang bukan sekedar berjualan. Kalau hanya sekedar berjualan, mereka yakin tidak akan berjalan. Berangkat dari situlah, mereka saat ini membuat program beauty entrepreneurship. Jadi, mereka mengajak orang-orang yang tertarik pada Polka. Mereka mencari beberapa beauty anthusiast untuk memasarkan Polka di teritori masing-masing. Contohnya, seperti di Malaysia. Agen Polka di sana memang seorang beauty anthusiast yang juga memahami branding.
Setelah mempunyai agen beauty preneur di luar negeri, banyak blogger dari luar negeri yang juga minta dikirimi produk Polka, di antaranya dari Australia dan Filipina. Blogger asal Indonesia yang tinggal di Kazakhstan pun juga minta dikirimi produk. Tanggal 6 Agustus 2016, Polka resmi launching di Malaysia, sehingga saat ini agen Polka sudah ada di Amerika, Australia, dan Malaysia. Masing-masing agen memiliki visi dan keyakinan yang sama, juga bisa menyampaikan vibe-nya Polka ke pasar mereka. Mereka memiliki influence sendiri-sendiri, yang meng-handle digital marketing di teritori masing-masing. Desty dan kawan-kawan sharing cara mereka pada para agen, dan para agen tersebut mengikuti apa yang sudah dilakukan di Indonesia untuk mengembangkan market di sana.
Selain menggunakan platform digital untuk marketing, Polka juga menyediakan beberapa sales point on ground, antara lain di Our Flock di Kuningan City dan Aeon Mall, atas permintaan pihak Aeon sendiri. Untuk beberapa kasus, mereka memang menyetujui saja meskipun sebenarnya Polka tidak di-set untuk dijual secara offline. Pernah memang, mereka beberapa kali mengikuti beauty fair yang telah diseleksi di beberapa tempat. Tapi mereka sejak awal memang ingin konsentrasi di digital dulu, walau tidak semua orang Indonesia berbelanja secara online. Mereka sadar dalam dunia digital ada market yang luas. Polka juga dijual di beberapa online shop dan e-commerce, antara lain sephora.co.id. Bagi yang tidak terbiasa membeli secara online, Polka bisa dibeli lewat reseller yang berada di bawah agen. Yang pasti, Polka tak memiliki offline shop. Disamping ingin berbeda dari kosmetik lain, juga karena mereka ingin memanfaatkan digital.
Kini, satu agen minimal memesan 500 botol per bulan, belum lagi webstore lain dan agen luar negeri yang masing-masing sekali pesan ratusan botol per bulan. Ada sekitar 5-6 agen di dalam negeri, dan banyak reseller di bawah mereka. Ke depan, Polka akan membuat produk yang masih merupakan basic needs dalam makeup, termasuk yang berhubungan dengan mata. Mereka tetap akan membuat bentuk yang berbeda, dengan bentuk yang membuat orang menengok, dengan konsep bisnis yang sesuai dengan hati mereka.
0 komentar:
Posting Komentar