Kamis, 09 Januari 2014




Jenuh bekerja belasan tahun di sebuah perusahaan pipa terkemuka membuat Edie Juandi memilih meninggalkan pekerjaannya. Penghasilan rutinpun tak lagi dimilikinya. Namun kondisi demikian tidak pernah membuat Edie takut kelaparan. Edie pun memutar otak, mengeluarkan kreativitasnya, dan fokus menekuni jalur wiraswasta. Dengan latar belakang pendidikan tehnik dan kecintaannya pada dunia seni kriya, Edie meretas jalan kesuksesan yang didamba-dambakannya. 

Adalah limbah bonggol jagung, benda yang diutak-atiknya menjadi beragam jenis kerajinan bernilai jual tinggi. Saat itu, hanya satu yang ada di kepala Edie, yaitu menciptakan kerajinan unik berbahan baku mudah dan murah, tapi bisa dijual dengan harga yang elegan.

Sejak tak lagi bekerja di perusahaan pipa, sebetulnya Edie sudah mencoba beragam jenis wirausaha. Namun, takdir jualah yang mengantar Edie akhirnya mengulik-ulik bonggol jagung. Suatu hari, seorang kawannya memberikan Edie sebentuk hiasan dari tempelan-tempelan bonggol jagung. Dari situ, pikiran Edie terus terbayang pada hiasan dari bonggol jagung pemberian temannya itu. Imajinasinya mengembara membayangkan beraneka barang yang bisa tercipta dari bonggol jagung, lebih dari sekedar menjadi hiasan.

Namun, ketertarikanya pada bonggol jagung menuntun Edie pada serangkaian hambatan. Kenyataan pertama, dia tidak tahu bagaimana cara mengeraskan bonggol jagung yang bersifat rapuh. Pada awalnya, Edie menggunakan cairan formalin, sebelum akhirnya berhenti karena sadar zat itu terlalu berbahaya bagi dirinya sebagai pengrajin. Tidak puas dengan formalin, dia lantas mengsengajakan diri berguru soal kimia kepada kawan-kawannya di Institut Pertanian Bogor (IPB). Dari sana, didapatlah campuran larutan kimia yang relatif lebih ramah bagi manusia.

Sampai akhirnya pada suatu titik, Edie kembali merasa tidak puas dengan zat kimia yang dia gunakan. Dia meyakini ada cara lain yang lebih alami untuk mengeraskan dan mengawetkan bonggol-bonggol jagungnya. Edie kemudian mendapatkan jawabannya dari Suku Dayak di Kalimantan. Kearifan lokal masyarakat Dayak mengenalkannya pada sejumlah bahan pengawet alami, seperti garam, pinang, pasak bumi, serta beberapa bahan lainnya.

Kerja kerasnya meneliti bonggol jagung dan kreativitasnya mencipta beraneka kerajinan, tak lantas membuatnya berhasil menggeluti bisnis kerajinan bonggol jagung. Beberapa kali dia harus puas mengalami kebangkrutan, hingga membuat sang istri meragukan jalan hidup yang ditempuh Edie menjadi seniman bonggol jagung.

Beruntung, jerih payah Edie kemudian tak sia-sia. Perlahan tapi pasti, karya Edie mulai menyebar dari mulut ke mulut. Pesanan demi pesanan terus mengalir hingga membuat tekadnya kembali teguh meneruskan perjuangan memasarkan kerajinan bonggol jagung kreasinya sendiri. Tak lama, tidak hanya di Tanah Air, karya Edie juga mulai dikenal di luar negeri seiring semakin seringnya Edie mengikuti pameran di negara-negara asing. Kriya bonggol jagung Edie kini sudah bisa ditemui di Singapura, Jepang, Belanda, dan Perancis.

Selama memasarkan kerajinannya, Edie belum pernah menjumpai ada negara lain yang menggarap kriya berbahan dasar bonggol jagung. Bahkan di Amerika Serikat saja, sebagai negara yang penghasil jagung terbesar di dunia hanya mengolah bonggol jagung sebatas menjadi pipa rokok.

Kini, Edie menghabiskan 40 hingga 50 karung bonggol jagung dalam sebulan. Bahan baku bonggol jagung dia peroleh dengan harga murah dari pasar di sekitar tempat tinggalnya. Edie meyakini, bahan baku berupa bonggol jagung tidak pernah menjadi masalah dalam bisnisnya ini. Dia menggambarkan, 40 hingga 50 karung bonggol jagung yang dia butuhkan selama ini cukup dipasok dari satu pasar saja. Itu artinya, masih banyak bonggol jagung yang berserakan menjadi sampah di lokasi lain.

Dari karya-karya yang dia ciptakan, produk kap lampu, khususnya kap lampu duduk, menjadi yang paling diminati masyarakat. Untuk membuat satu unit kap lampu duduk dari bahan baku siap produksi, Edie menghabiskan waktu hingga empat hari. Dengan pertimbangan lama produksi tersebut, Edie membanderol buah tangannya itu dengan harga Rp 350 ribu. Selain lampu duduk, set tatakan gelas dan tempat tisu juga banyak dipesan.  Bahkan Edie mengaku pernah mendapat pesanan 1o ribu buah tempat tisu dari Malaysia.  

Kendati karyanya semakin dikenal orang, Edie mengaku bisnisnya belum berkembang signifikan sebagaimana yang dia harapkan. Faktor modal diakuinya menjadi kendala utama. Edie sadar, gairah dan keyakinannya yang besar terhadap kreasi dan bisnis bonggol jagung belumlah cukup meyakinkan para pemilik modal untuk berinvestasi pada usahanya. Sementara, modal yang ditawarkan pemerintah, selain jumlahnya tak besar, juga hanya bisa diakses dengan menggunakan agunan, sesuatu yang dia tidak miliki.

Tidak mau menggantungkan diri pada uluran tangan investor, Edie menempuh jalan sociopreneurship alias berwirasuaha dengan pendekatan sosial. Edie banyak memasukkan proposal-proposal pelatihan kewirausahaan bonggol jagung ke pemerintah kota dan kabupaten di seluruh Indonesia. Tak disangka, banyak pemerintah daerah yang tertarik dengan kerajinan dan program pelatihan yang Edie tawarkan. Sejak saat itu, Edie memiliki kesibukan baru, yakni memberikan pelatihan kriya bonggol jagung di berbagai penjuru nusantara.

Edie jelas layak berbangga, bengkel-bengkel kreasi bonggol jagung yang dia inisiasi bersama pemerintah-pemerintah kota dan kabupaten kini bermunculan di berbagai tempat di Tanah Air. Dengan konsep berbagi rezeki, Edie menjadi penghubung antara pemesan dan masyarakat pengrajin. Dua basis yang menurutnya kini berkembang pesat dan kerap menggarap proyek-proyeknya adalah di Kutai Barat dan Bukit Tinggi.

Sejak dia mengurangi produksi dan sibuk mengisi berbagai pelatihan, Edie kini hanya fokus membuat sampel-sampel karyanya untuk dikirim ke berbagai pameran. Pekerjaannya itu terasa ringan berkat bantuan dua putrinya, Sihna dan Annisa, yang selalu berada di sekitar ayahnya untuk membantu. Tak sekedar membantu, kedua putrinya itu juga tampak menyenangi membuat kriya bonggol jagung. Itulah hal yang sangat menggembirakan bagi Edie. Edie berharap, jika bukan dirinya, anak-anaknyalah kelak yang akan menikmati kerja keras ayahnya.


DIPAR NATURAL HANDICRAFT ETHNIC
Workshop :
Jl. Pembangunan 2 No. 42, Kedung Halang, Bogor, Jawa Barat.
Telepon : 081234565652



1 komentar: