Selasa, 11 Maret 2014



Berbekal tekad kuat, ibu empat anak asal Sukabumi, Jawa Barat ini berhasil membangun peternakan sapi yang kini memiliki omzet ratusan juta rupiah per bulan. Tak hanya itu, kesuksesan dan keuntungan yang diraihnya juga telah ditularkannya kepada peternak dan warga sekitar tempat tinggalnya.




Tak pernah terbersit dalam benak Neneng, kelak bisa memiliki sebuah peternakan sapi. Baginya, dunia peternakan bukanlah sesuatu yang disukainya, karena pekerjaannya selalu berkonotasi dengan hal-hal kotor dan bau. Sebelumnya Neneng sudah nyaman dengan pekerjaannya sebagai account executive sebuah majalah terbitan Jakarta.

Namun ternyata nasib menentukan lain. Wanita kelahiran Bandung, 7 Oktober 1969 ini justru sekarang memiliki usaha sapi perah, bahkan mengelola peternakan milik mertuanya, (Alm.) Radja Marsadi, yang sudah menjalankan pekerjaan ini sejak tahun 1970-an. Dulu, lantaran tak pernah dan tak mau beternak, Neneng dan suaminya, Iwan Ramkar memilih memiliki usaha lain dan bahkan sampai bekerja di Jepang sejak 1998.

Mereka ingin menunjukkan kalau tetap bisa memiliki usaha lain selain beternak. Meski begitu, di tahun 1996 ia dan suaminya sempat mencoba usaha peternakan bebek. Tapi ketika 1998 muncul krisis moneter, usaha itu mereka tutup dan memutuskan untuk bekerja di Jepang. Kebetulan, sang suami sejak sebelum menikah dengannya, pernah bekerja di negeri matahari terbit itu.

Di Jepang, keduanya pun bekerja sebagai operator di sebuah pabrik suku cadang mesin mobil di kawasan Anjo, Nagoya. Dari seorang account executive lulusan Fakultas Ekonomi sebuah universitas swasta, lalu kemudian menjadi operator pabrik jelas sempat membuatnya kaget. Tapi untungnya Neneng termasuk orang yang mudah bergaul dan beradaptasi. Semua pekerjaan itu harus tetap ia lakukan agar bisa bertahan di sana.

Dirasakannya, kehidupan di Jepang sangat berat. Pada dasarnya Neneng orang yang senang bergaul, mengobrol, dan punya banyak teman. Sementara di sana, ia hanya berhadapan dengan mesin selama 11 sampai 13 jam per hari. Jangankan bicara dengan teman, bicara dengan suaminya saja hanya bisa seminggu sekali. Ia dan suami memang bekerja di perusahaan berbeda yang jaraknya seperti Jakarta-Bandung.

Kemudian, melihat keadaan yang terus seperti itu, suaminya menyarankan agar lebih baik mereka pulang saja ke Indonesia. Karena sebagai pasangan suami istri, waktu berkumpul sangatlah berarti dan lebih berharga dibandingkan dengan uang. Terlebih ketika itu, dua anak mereka ditinggal di Indonesia. Tentu saja sangat berat hidup harus terpisah dengan anak-anaknya.

Kegagalan pertama saat membuat peternakan bebek lantas memberi motivasi tersendiri pada dirinya untuk tak berhenti berusaha. Sekembalinya dari Jepang pada tahun 2000, Neneng pun kembali mencoba membuat usaha, tapi sayangnya ia kerap tertipu. Sempat pula di tahun 2003 ia dan suaminya mencoba berimigrasi ke New Zealand. Kebetulan ketika itu New Zealand akan membuka kesempatan untuk menerima warga negara baru.

Tetapi, begitu ia hendak diwawancara oleh Kedutaan New Zealand, ia mengatakan tujuannya ke New Zealand hanya untuk berlibur dengan keluarga. Oleh karena itu pihak kedutaan tidak mau menerima dan menolak permintaannya, karena dianggap menyepelekan alasan. Kemudian sang suami menyarankannya kembali untuk beternak. Saat itu Neneng sempat enggan, karena merasa dunia peternakan itu bukan dunianya.

Oleh karena sang suami tetap pada pendiriannya ingin membuat peternakan sapi, Neneng pun memutuskan untuk tetap tinggal di Jakarta dan ingin bekerja kembali sebagai account executive. Suaminya sempat pula menawarkannya untuk tetap ikut ke Sukabumi, dan akan tetap memberikannya gaji bila ia bersedia membantu usaha peternakan itu. Namun Neneng tak berubah pendirian. Ia tetap lebih memilih menikmati pekerjaannya sebagai account executive, karena di sana ia bisa bersosialisasi, berteman, dan bersahabat dengan banyak orang.

Akhirnya, suaminya menyerah dan pergi ke Sukabumi sendirian untuk membuat usaha peternakan. Sampai kemudian, suatu hari Neneng berpikir kembali, bahwa bagaimana pun dirinya adalah orang yang mengerti soal agama. Di agamanya, dosa besar bila seorang istri tidak mau diajak tinggal bersama suami, dan memilih hidup sendiri. Akhirnya, Neneng pun bersedia mengikuti suaminya. Pada Agustus 2003 ia pun tiba di Sukabumi. Menggunakan sisa tabungan sebesar Rp 110 juta hasil bekerja di Jepang, ia dan suaminya lalu membeli 10 ekor sapi dan membangun rumah serta kandang.





Kendati awalnya sempat dilanda rasa enggan menjadi peternak, tapi ketika sudah mempunyai sapi dan peternakan, justru ia memiliki pemikiran yang berbeda. Menurutnya, sapi dan peternakan itu adalah harta yang harus ia jaga. Akhirnya, setiap hari, dimulai jam 03.00 dini hari ia harus sudah bangun untuk memandikan sapi, membersihkan kandang, dan memasak air untuk membersihkan susu sapi sebelum diperah.

Setahun berjalan, Neneng sempat terpikir, sampai kapan dirinya harus jadi peternak terus ? Ia tidak melihat dari penghasilannya. Tapi ia berpikir, ketika dirinya sudah bekerja keras, lalu siapa yang mendapat keuntungan terbesar ? Ia selalu memerah susu sapi lalu menyetornya ke pabrik, kemudian pabrik yang memiliki merek dan ‘panggung’nya. Sementara dirinya menginginkan, sudah saatnya bisa berada di ‘panggung’ yang sama.

Ketika menjadi peternak, susu hasil peternakannya hanya dihargai Rp 2 ribu per liter. Sementara setia harinya, ia menyetor sekitar 50 liter susu. Dari situ, ia lantas punya keinginan untuk meningkatkan keuntungan dan membawa dirinya ke atas ‘panggung’ yang selama ini hanya dimiliki pabrik saja.

Sejak itu, Neneng mulai mengikuti berbagai pelatihan dari Dinas Peternakan Kabupaten Sukabumi. Di tahun 2005, ia mencoba membuat beragam olahan dari susu. Ini sebenarnya berangkat dari keinginannya untuk bisa memberikan jajanan sehat buat anak-anaknya. Kemudian, usahanya itu berlanjut dengan membagikan olahan susu itu secara gratis kepada warga sekitar peternakan. Neneng pun melakukan kegiatan ini selama setahun penuh.

Sama sekali tak ada keinginannya untuk menjual olahan susu yang dibuatnya. Ia merasa masih terlalu jauh kalau harus menjual produknya ini. Apalagi, anak-anak peternak dan warga yang tinggal di sekitar peternakan justru tidak menyukai susu. Padahal, mereka sangat beruntung bisa tinggal di dekat peternakan, karena memiliki akses mudah untuk mendapatkan susu segar setiap hari.

Usaha Neneng untuk menularkan kebiasaan minum susu terus dilakukan sampai ke sekolah-sekolah di sekitar Sukabumi. Dan beruntungnya, lama kelamaan mulai banyak yang suka minum susu. Tapi saat itu ia tetap belum mulai berjualan. Kegiatan memberikan susu secara gratis itu ternyata beredar dari mulut ke mulut. Sampai kemudian, ada seseorang yang mau membeli susunya untuk diberikan ke sekolah-sekolah. Kebanyakan yang membeli adalah mantan-mantan murid sekolah yang ada di desa tempat tinggalnya.

Neneng kemudian baru berjualan susu secara resmi mulai November 2006 dengan merek dagang HAS Milk. HAS berarti Halal, Aman, dan Sehat. Dan sejak itu, semakin banyak orang yang membeli olahan susu buatannya. Lantaran produk olahan susu mulai memperlihatkan hasil signifikan, Neneng selanjutnya mulai meninggalkan tugasnya di peternakan dan fokus pada pengolahan susu. Modal pertamanya untuk menjual olahan susu hanya berupa tiga panci Stainless ukuran 5 liter. Produk yang dijual juga mulai beragam. Tak hanya susu segar, ia juga mulai membuat yogurt yang ternyata lumayan bagus juga pasarnya. Menyusul kemudian, aneka olahan susu lain seperti permen karamel, stcik susu, es susu, dan puding susu.





Bila awalnya susu yang diolah adalah hasil dari peternakannya sendiri, demi memenuhi kebutuhan produksi dan permintaan pasar, kini Neneng sudah membeli susu dari peternak lain. Peternakan miliknya kemudian digabung dengan peternakan milik sang mertua, yang saat ini dijalani oleh adik dari suaminya. Saat ini, Neneng membutuhkan sekitar 620-680 liter susu murni per hari untuk memproduksi 12 macam produk susu. Kini omzetnya sudah mencapai Rp 150 juta per bulan.

Sejak menjadi produsen susu dan olahannya, Neneng mengaku, tak terlalu banyak mendapat hambatan. Hambatan yang muncul biasanya akibat musim hujan. Setiap musim hujan, produksi susu sapinya menurun. Berkat usahanya yang semakin maju, Neneng pun kini memberdayakan 23 orang warga sekitar untuk membantu bagian produksi. Ada beberapa reseller untuk memasarkan produknya. Banyak juga anak-anak SMA yang mengambil produk dari tempatnya untuk dijual lagi di sekolah mereka.

Sejak 2007, Neneng kemudian membuka peternakan dan pabrik pengolahan susunya untuk wisata edukasi. Ia ingin memberikan pengetahuan, bahwa produk yang dihasilkannya ini adalah produk lokal yang tidak kalah dengan produk impor atau pabrikan besar. Dalam sebulan, bisa ada lebih dari seribu orang yang datang ke peternakannya untuk berwisata edukasi. Pernah juga ada satu sekolah yang mem-booking selama satu minggu lokasi peternakannya untuk praktik lapangan. Di luar itu, Neneng juga kerap diminta Dinas Peternakan untuk menjadi instruktur pengolahan susu di sekitar Sukabumi.

Ke depannya, Neneng berencana untuk terus meningkatkan kapasitas produksi HAS Milk di atas 1000 liter. Anak ke 8 dari 11 bersaudara ini tidak terlalu muluk-muluk untuk memasarkan HAS Milk ke luar Sukabumi. Ketika produksi susu sapinya sudah habis diserap oleh warga Sukabumi saja, ia sudah senang. Ia ingin menjadi tuan rumah di kampung halamannya sendiri, Sukabumi.

____________________________
advetorial :

MENERIMA LAYANAN JASA KURIR, ANTAR BARANG, PAKET MAKANAN, DOKUMEN, DAN LAIN-LAIN UNTUK WILAYAH JAKARTA DAN SEKITARNYA KLIK DI SINI

BOLU KUKUS KETAN ITEM, Oleh-Oleh Jakarta, Cemilan Nikmat dan Lezat, Teman Ngeteh Paling Istimewa, Bikin Ketagihan !! Pesan sekarang di 085695138867 atau  KLIK DI SINI


0 komentar:

Posting Komentar