Memasuki Dusun Kranji, Tanjung Mekar, Sambas, Kalimantan Barat, beberapa warga terlihat tengah asyik menenun benang untuk dijadikan tenun ikat atau songket. Menurut salah satu warga, Budiana, pemandangan seperti itu memang sudah menjadi kebiasaan di dusunnya. Namun sebetulnya, kerajinan tenun ini sempat ditinggalkan warga karena kesulitan mencari pembeli. Baru sampai beberapa tahun belakangan kembali marak, setelah banyak yang mencari tenun khas Sambas ini. Budiana sendiri termasuk generasi muda pengrajin tenun yang kemudian berniat mengembangkan usaha tenun asli daerahnya. Ibu dua anak ini sudah belajar menenun sejak duduk di bangku kelas 5 SD. Menurutnya, keahlian ini sifatnya memang turun temurun, tidak ada sekolah formalnya.
Sejak berkeluarga,
Budiana memutuskan untuk mencoba menjual hasil tenunnya langsung ke pelanggan.
Usaha itu ia rintis di tahun 1993 bersama dua saudaranya. Awalnya ia mengaku,
agak susah mencari pengrajin, apalagi yang masih muda. Karena minat anak muda
sekarang terhadap kerajinan tenun sudah berkurang. Namun, kini kerajinan ini
sudah mulai bangkit kembali setelah tenun dikenalkan ke generasi muda melalui
muatan lokal di sekolah-sekolah. Dan, lain dulu lain sekarang, kini untuk
memenuhi pesanan yang semakin banyak, Budiana sudah dibantu oleh 20 orang
pengrajin. Setiap hari mereka mampu membuat beragam motif tenun seperti Sawak
Melako, Mate Ayam Ulat, Ragam Banji, dan lain-lain.
Menurut
Budiana, tenun asli Sambas tak kalah dengan tenun daerah lain di Indonesia.
Diakuinya, masing-masing tenun memang memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun,
tenun asli Sambas memiliki beberapa kelebihan. Selain memiliki motif dan warna
yang beragam, tenun Sambas juga berukuran lebih panjang dibanding tenun dari
daerah lain. Hal ini terjadi karena pengrajin di Sambas menggunakan alat tenun
yang berbeda dengan alat tenun pada umumnya. Alat tenun yang mereka gunakan
lebih besar, sehingga membutuhkan tempat khusus untuk menampungnya. Bahkan,
songket Sambas pernah tercatat di Museum Rekor Indonesia sebagai songket
terpanjang. Panjangnya mencapai 161 meter dengan lebar 70 meter. Tenun tersebut
memuat beragam warna dan motif dengan waktu pembuatan selama satu tahun dan
dilakukan oleh 13 pengrajin.
Motif yang
muncul dalam tenun Sambas kebanyakan terinspirasi dari hewan dan tumbuhan yang
biasa ditemui di daerah tersebut. Namun, para pengrajin juga mengembangkan
sendiri motif-motif yang ada itu. Beruntungnya, ada dukungan dari pemerintah
daerah dan berbagai pihak yang peduli serta bersedia mengangkat tenun Sambas.
Para pengrajin kerap diberikan pelatihan mulai dari peningkatan mutu hingga
pemilihan bahan baku. Salah satunya pelatihan menggunakan pewarna alami. Dari
situ ternyata diketahui, banyak yang bisa digunakan untuk mewarnai benang bahan
tenun. Misalnya menggunakan daun ketapang, daun jambu, atau daun mangga. Berkat
mengikuti beragam pelatihan tersebut, Budiana menceritakan, usahanya kini
semakin dikenal banyak orang. Karena pelanggan menyukai warna-warna yang alami.
Memang, dengan pewarna alami, hasilnya agak berbeda dengan pewarna sintetis.
Pewarna alami memiliki keunikan tersendiri, walau kadang bahannya sama tapi
warna yang dihasilkan bisa berbeda.
Selain itu,
lanjut perempuan yang pernah mendapat penghargaan UNESCO Award tahun 2012 lalu
ini, pewarna alami menghasilkan warna yang cenderung lembut. Justru inilah yang
membuat tenun semakin unik. Budiana menjual kain tenunnya dengan kisaran harga
Rp 700.000 sampai Rp 5 juta. Budiana berharap usahanya bisa berkembang semakin
besar sehingga ia sekaligus mampu melestarikan warisan nenek moyangnya. Selain
melestarikan motif, Budiana juga membuat motif-motif baru. Salah satunya motif
Mate Ayam Ulat yang berhasil memenangi UNESCO Award. Motif itu dibuat oleh adik
Budiana, yang idenya muncul ketika sedang hujan dan ada ayam yang memakan ulat.
Demi menjaring pelanggan, Budiana juga berkreasi dengan membuat produk berbahan
dasar tenun dan songket. Dalam waktu satu bulan ia mampu membuat sekitar 20
lebih lembar kain. Selain dijual berbentuk kain, kain hasil tenun itu diolah
lagi menjadi kopiah, tempat tisu, sarung bantal, dan lain-lain.
Sementara itu,
di tempat terpisah, ada pula pengrajin lain bernama Sahidah yang mengaku
bersyukur tenun asal Sambas kini sudah mampu disejajarkan dengan tenun asal
daerah lain. Ibu dua anak dan nenek tiga cucu ini juga berharap tenun mampu
menyusul kesuksesan batik di dunia internasional. Sahidah bercerita, ia sudah
bisa menenun sejak tahun 1950-an. Dan sampai sekarang ia masih aktif
mengajarkan tenun agar ada regenerasi. Lahir di sebuah desa kecil bernama
Semberang, Sahidah mulai menjual hasil kerajinan tangannya hingga di
Singkawang. Ia pindah ke Singkawang sekitar tahun 1970-an. Dan di sana ia
menikah, lalu pindah lagi ke Sambas.
Karena harus
fokus dalam membesarkan anaknya, sekitar tahun 1970-an Sahidah memutuskan untuk
berhenti menenun. Baru kemudian pada tahun 1995 ketika anaknya sudah besar, ia
memulai kembali usaha ini sampai sekarang. Setelah sempat berhenti selama 14
tahun itu, ia memulai usahanya kembali dari nol. Meski begitu, ia tidak pernah
lupa tehnik menenun walau bahan bakunya sudah jauh berbeda. Dibantu anaknya
yang pertama, Alfian, pemasarannya kini semakin luas. Terlebih sekarang ada
internet.
Pemerintah
Daerah, menurut Sahidah, juga membantu memperluas sayap usahanya dengan
mengajaknya berpameran. Dari situ, ia pun semakin dikenal dan semakin semangat
dalam mengembangkan usaha. Walau tidak pernah memasang iklan, tapi orang dari
luar daerah dan negara tetangga seperti Malaysia, kerap datang ke tempatnya
untuk membeli kain. Dijelaskan Sahidah, tenun Sambas sangat kaya akan motif dan
warna. Jumlah motifnya pun ribuan, dan Sahidah mengaku masih menghafal
semuanya. Untuk membantu melestarikan tenun asli Sambas, kini Sahidah rajin
mendokumentasikannya. Ia juga masih menyimpan motif-motif kuno yang dimiliki.
Kain koleksinya itu juga kerap dibawa saat pameran, ada yang umurnya mungkin
sudah lebih dari seratus tahun.
Untuk merawat
tenun yang bagus supaya awet, menurut Sahidah, tidak ada rahasianya. Yang
penting jangan dicuci. Usai digunakan, cukup diangin-anginkan di tempat teduh
lalu disimpan di lemari. Kemudian taruh lada putih yang dibungkus kain di dalam
lemari. Sahidah menjual tenun seharga Rp 350.000 sampai Rp 5 juta. Penggunaan kain
tenun kini tak terbatas hanya bagi masyarakat Melayu saja. Kini semua motif dan
warna bisa dipakai oleh siapa saja dan kapan saja. Dulu selain anggota
kerajaan, tidak ada yang boleh menggunakan warna kuning. Tapi sekarang memang
sudah berbeda zamannya.
Yang juga
sedikit berbeda dengan pengusaha lain, Sahidah menerapkan sistem jual beli kain
terhadap 40 orang pengrajin yang membantunya. Ia tidak menggunakan sistem upah.
Dengan begitu, maka antara ia dan pengrajin jadi saling menghargai. Sahidah
hanya menyiapkan bahan dan alatnya saja. Untuk proses produksi dikerjakan di
rumah masing-masing pengrajin. Sehingga mereka bisa melakukan berbagai
aktivitas lainnya di rumah.
:D
BalasHapusObat Jerawat