Selasa, 27 Oktober 2015


Beragam perhiasan cincin, gelang, dan kalung tertata di etalase toko. Perhiasan itu berwarna putih, berbahan baja putih yang oleh masyarakat setempat disebut monel. Selain perhiasan, di sana dipajang pula aneka kerajinan berbahan monel. Ada aksesori, alat pijat refleksi dan kerokan, penggaruk punggung, dan beragam lainnya. Pengunjung toko pun silih berganti berdatangan lalu memilih-milih barang yang diinginkannya. Pemandangan itulah yang terlihat sehari-hari di Seni Sakti Monel, Kawasan Kriyan, Jepara, Jawa Tengah. Dari arah jalan raya Kudus menuju pusat kota Jepara, Kriyan terletak di sebelah kiri jalan. Ada tugu penanda bertuliskan Sentra Industri Kerajinan Monel, Kriyan, Jepara. Di kanan-kiri jalan Kriyan, belasan ruang pajang monel menawarkan seni kriya khas daerah itu. Kerajinan itu sendiri sudah lama ada di sana dan merupakan warisan dari leluhur.

Melihat seni kerajinan monel di Kriyan, terbentang kesetiaan pada seni warisan leluhur yang diperlihatkan dan dikembangkan. Berkat kerja keras pengrajinnya, kini monel menjadi seni kerajinan yang meluas ke berbagai daerah lain. Menurut H. Abdur Rochim, pemilik gerai Sinar Sakti Monel, yang bangunannya paling megah di daerah itu, sudah sejak tahun 70-an pengrajin monel ada di desanya. Kala itu sebagian besar yang dibuat adalah cincin, baik cincin untuk lelaki maupun perempuan. Saat remaja, Abdur kerap mengambil beragam cincin dari pengrajin, kemudian menjajakannya ke berbagai kota. Masa sulit sempat ia lalui di awal perjalanannya. Dengan berjualan di kaki lima., awalnya ia memang perlu mengenalkan terlebih dahulu kerajinan monel itu seperti apa. Hingga lama-lama banyak yang menyukai. Dibandingkan perhiasan lain seperti emas dan perak, harga monel memang lebih murah. Meski begitu tak kalah menarik bila dipakai.


Berikutnya, selain cincin Abdur juga menjajakan beragam perhiasan dan produk monel yang lain, sampai akhirnya usahanya berkembang seperti sekarang. Perjalanan panjang yang dilakukan Abdur dan pengrajin yang lain, membuat daerah Kriyan terkenal di mana-mana. Orang kemudian mengenal Kriyan sebagai pusat kerajinan monel. Penggemar monel memang tak pernah sepi. Belakangan ini seiring dengan tren batu akik, yang paling dicari adalah cincin untuk tempat akik. Sebenarnya, sejak awal membuka toko Abdur juga sudah menjual batu akik. Tapi memang baru tahun-tahun belakangan ini batu akik menjadi booming. Ia menjualnya dengan beragam harga sesuai dengan kualitas batu. Mulai harga puluhan ribu sampai jutaan rupiah.

Selain cincin, produk monel lainnya juga tak pernah kehilangan pembeli. Bahkan banyak pula yang mengambil dengan jumlah besar, kemudian menjualnya lagi. Toko Seni Sakti Monel memang menjadi tempat kulakan orang yang ingin berdagang monel. Selain itu, banyak pula yang membeli satuan untuk dipakai sendiri. Usaha Abdur terus berkembang sampai sekarang ia memiliki 30-an pengrajin. Di Kriyan, Abdur sudah berhasil memiliki dua toko, selain itu ia juga mempunyai dua toko lagi di Mal Rawa Bening, Jakarta yang sudah lama terkenal sebagai pusat batu dan perhiasan. Cabang tokonya yang di Jakarta pun juga laris.


Abdur Rochim termasuk pengusaha senior dikawasan Kriyan, atau bisa dibilang salah satu perintis. Berkat keberhasilannya, Seni Sakti Monel sering digandeng untuk mengikuti pameran di berbagai tempat. Tapi sekarang ini, ia sedikit mengurangi mengikuti pameran karena ingin memberi kesempatan kepada pengrajin yang lain. Toh sebetulnya, ia mengaku cukup kerepotan bila mengikuti pameran, karena tenaga di tokonya jadi berkurang. Padahal pembeli tidak pernah sepi. Apalagi saat liburan, dari pagi sampai sore toko terus saja ramai. Banyak wisatawan yang berombongan mengunjungi Kriyan, dan Seni Sakti Monel menjadi tempat yang diburu karena tempatnya yang luas dan produknya pun lengkap. Banyak pengunjung yang berasal dari luar kota bahkan luar pulau. Sepulangnya dari sana, banyak pula yang memesan untuk dijual lagi. Dan Seni Sakti Monel secara rutin mengirimnya ke berbagai kota.

Meski sekarang muncul perhiasan berbahan titanium dari Cina, pasar monel tak pernah sepi. Monel tetap ada pasarnya, bahkan ketika banyak orang mengatakan situasi ekonomi sedang sulit, perhiasan monel tetap dicari terutama cincin dan gelang. Mungkin karena harganya relatif lebih murah dibandingkan perhiasan lain. Sebuah cincin monel atau gelang, harganya hanya puluhan ribu. Dengan harga yang relatif murah, orang pun masih tetap bisa bergaya.


Tak jauh dari Sinar Sakti Monel, ada pula toko Wijaya Monel yang didirikan Ali, rekan segenerasi Abdur Rochim. Ali juga menjadi saksi sejarah perkembangan monel. Ia bercerita, dulu pengrajin membuat kerajinan monel dengan cara ditempa, mirip pekerjaan yang dilakukan pandai besi. Setelah listrik masuk desa di tahun 1978, barulah pengrajin membuat dengan dibantu dinamo. Pekerjaan memang jadi lebih mudah, tapi tetap butuh ketekunan. Sampai sekarang monel tidak bisa dibuat dengan cara dicetak karena bahannya termasuk jenis baja yang paling keras, jadi masih harus menggunakan tenaga manusia. Ini pula yang menyebabkan monel tak bisa diproduksi lebih massal.

Dikisahkan Ali, usaha yang dimilikinya ini sebenarnya merupakan warisan dari orangtuanya. Semasa masih remaja, ia kerap ikut ayahnya berjualan cincin monel. Salah satu sasaran sang ayah adalah acara Grebek di Solo yang bisa berlangsung beberapa hari. Di sana ayahnya berjualan bersanding dengan orang Pacitan yang berjualan batu akik, jadi ayah Ali yang menyediakan wadahnya. Selama berhari-hari ayahnya berjualan di Solo, dan menginap bareng dengan penjual batu akik dari Pacitan itu. Pada hari-hari biasa, sang ayah berjualan di Jakarta. Ali pernah mengikuti jejak ayahnya dengan menjajakan monel sampai ke kota-kota di Jawa Timur. Kala itu, ia membawa monel dan emas. Ali memang pernah pula menjadi pengrajin emas. Tapi dalam setahun, ia hanya bekerja membuat perhiasan emas selama empat bulan. Saat itu emas termasuk barang mewah. Hanya orang kaya yang sanggup membelinya. Nah, saat tidak bekerja itulah, Ali keliling berjualan emas, perak, dan monel.


Menurut Ali, masa itu tak mudah menjual perhiasan. Saat menawarkan barang, ia bahkan seperti pengemis. Banyak tauke yang menolak. Ia pun mesti sabar menyakinkan mereka bahwa perhiasan yang ia bawa punya kualitas bagus. Setelah barang yang ia bawa disukai orang, barulah para tauke itu mau percaya. Sempat beberapa kali alih usaha, baru pada tahun 2000 silam Ali kembali konsentrasi menjalankan usaha monel. Ia pernah berjualan di arena pertandingan liga sepakbola. Ternyata, beberapa pemain bola ada yang menyukai cincin monelnya. Saat pemain bola ini bertanding ke luar negeri, hasil karyanya ini juga ikut dikenal warga asing. Tanpa diduga, tiba-tiba ada orang asing yang datang ke tokonya, dan memintanya untuk mengirim kerajinan monel ke negaranya. Permintaan pasar di luar negeri ternyata cukup besar, sayangnya Ali yang memiliki 10 pengrajin ini, tidak sanggup memenuhi semuanya.

Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal pun, Ali sering kewalahan. Kendalanya memang di proses produksi karena pengerjaannya masih manual memakai tangan. Kerajinan monel belum bisa diproduksi massal karena terbatasnya kemampuan tenaga kerja. Ali menambahkan, Kriyan sebagai pusat monel kini juga sudah menjadi tujuan wisatawan. Bahkan ada pengrajin monel yang menjalin kerja sama dengan pengelola tempat wisata air di Jepara. Kunjungan wisatawan yang datang ke sana itu lalu dikemas satu paket dengan toko kerajinan monel yang ada di Kriyan. Pengunjung datang ke sana dengan menggunakan transportasi kereta api mini. Kini, kawasan Kriyan pun selalu ramai.

4 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Menerima pesanan tulisan pada papan nama ndak ya?.

    BalasHapus
  3. Ingin bertanya negara asing yang tertarik dengan monel tersebut negara mana ya?

    BalasHapus