Senin, 21 November 2016


Dalam beberapa tahun terakhir pelaku bisnis rintisan dalam negeri mulai menyeriusi pengembangan aplikasi berbagi pesan instan sebagai lahan bisnis yang menjanjikan. Namun, di Indonesia, bisa jadi belum banyak yang tahu, terdapat aplikasi berbagi pesan yang juga menawarkan fitur-fitur tambahan, termasuk untuk memfasilitasi komunitas kreatif. Salah satu aplikasi tersebut adalah SalamApps. SalamApps ini dikembangkan oleh beberapa pengusaha muda yang melihat kesempatan besar untuk menyediakan aplikasi dengan layanan yang tak sekadar berbagi pesan. Salah satunya adalah Dave Dewanto, pebisnis kelahiran Jakarta, 2 Juli 1977.

Dave mengatakan, aplikasi yang awalnya menyasar komunitas muslim ini mulai dikembangkan pada 2014. Selanjutnya bisa digunakan oleh khalayak pada pertengahan 2015. Dave mengaku, pemilihan brand "SalamApps" sebetulnya bermula dari pemikiran sederhana. Kata "salam", menurutnya, memiliki makna yang luas bagi masyarakat Indonesia untuk menjaga silaturahim. Penambahan nama "apps" dimaksudkan untuk menunjukkan kepada konsumen bahwa aplikasi ini tak hanya berfungsi untuk melakukan percakapan instan, tapi juga berbagi fitur tambahan untuk komunitas, termasuk bila ingin mencari lowongan pekerjaan.

Keputusan untuk terjun ke dunia start-up tentu dibarengi keberanian menanggung resiko bisnis. Dave mengaku, perjalanan bisnisnya tak lantas mulus begitu saja. Selang dua tahun sejak ide mengembangkan SalamApps muncul, ia mengaku masih terus mencari inovasi-inovasi untuk ditanamkan dalam aplikasi rintisannya. Sejak muncul pertama kali di pasar unduhan aplikasi Android, pada tahun 2015, pengguna SalamApps kini sudah menyentuh 2.500 orang. Angka ini Dave akui belum besar bila dibandingkan aplikasi berbagi pesan lainnya yang berasal dari luar negeri. Namun Dave yakin, jumlah pengguna SalamApps bisa perlahan naik seiring dengan penetrasi pasar yang pihaknya lakukan. 


Dave mengaku, sebetulnya sempat bimbang saat awal merintis aplikasi berbagi pesan ini. Berbagai pilihan start-up sempat membuatnya berpikir dua kali untuk memilih mengembangkan aplikasi berbagi pesan. Alasannya, mengembangkan aplikasi permainan atau game tampaknya juga memiliki peluang besar untuk menyedot konsumen. Namun, setelah melakukan riset mini tentang pasar yang akan disasar, Dave bersama rekannya memutuskan untuk mengembangkan aplikasi berbagi pesan. Target pasar awal mula perintisan aplikasi ini pun terbilang sangat spesifik, yakni masyarakat Muslim. Dave sendiri mengaku tak ada tujuan khusus tentang apa alasan konsumen Muslim menjadi sasaran bisnisnya. Dave menilai, masyarakat Muslim memiliki loyalitas yang besar atas komunitasnya dan aplikasi SalamApps bisa menjadi wadah bagi kaum Muslim dalam berkomunikasi.

Namun, seiring berjalannya waktu Dave memahami bahwa sebagai start-up yang masih sebatas 'cek ombak' atas kondisi dan minat konsumen dari produk yang ia kembangkan, ia harus membuka peluang pasar selebar-lebarnya. Tak lama berselang, Dave memutuskan untuk menyasar pasar yang lebih luas lagi, sehingga tak sebatas konsumen Muslim yang bisa menggunakan produknya. SalamApps kemudian dikembangkan untuk menjadi alternatif bagi seluruh segmen masyarakat dalam menjalin komunikasi via aplikasi berkirim pesan daring. Proses bisnis, menurut Dave, memang harus fleksibel. Kita harus mengikuti perkembangan pasar. Tidak melulu harus sama. Maka akhirnya, ia sengaja men-generalkan produknya. Meski namanya tetap 'Salam', namun ia memfasilitasi seluruh segmen pasar.

Sebagai pelaku bisnis start-up, Dave menyadari bahwa ganjalan sudah menghadang di depan mata sejak awal ide untuk memulai usaha muncul. Tantangan untuk mendapat modal bisnis ia akui sebagai satu kendala terbesar selama ini. Bahkan, sampai saat ini pun Dave masih 'ke sana ke mari' untuk mencari investor yang mau terlibat dalam pembiayaan pengembangan bisnisnya. Ia tak segan untuk ikut kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan baik oleh pemerintah atau swasta terkait bisnis start-up. Bahkan, Dave mengaku sampai 'berburu' investor hingga Singapura. Ia menilai, semakin rajin seorang pelaku usaha rintisan bertemu calon investor atau bahkan sekedar berbagi pengalaman dengan sesama pebisnis, maka kesempatan untuk memperoleh pembiayaan akan semakin mudah. Dave pun akan tetap mencari investor, walau memang ia sudah mendapat angel investor. Angel investor inilah yang memberikannya modal awal.


Dave menjelaskan, pengembangan SalamApps saat ini belum memberikan keuntungan sepenuhnya. Hal ini dinilai wajar lantaran pengguna aplikasi yang ia bangun belum menyentuh 100 ribu pengguna, suatu angka aman di dunia aplikasi, untuk setidaknya menjanjikan profit. Apalagi, SalamApps memiliki kesamaan dengan Whatsapp yang tidak menyediakan advetorial sehingga keuntungan yang didapat murni dari unduhan aplikasi. Ditambahkan Dave, bila kita bicara aplikasi chatting sebetulnya antara menghasilkan dan tidak menghasilkan, namun sebetulnya lebih banyak yang tidak menghasilkan. Tapi bisnis yang yang bisa di-create dari sana peluangnya besar. Khusus untuk SalamApps, Dave belum bisa bicara sampai sejauh itu, karena produk yang ia buat masih tahap awal. Dan Dave tetap yakin, nanti sekalinya pengguna SalamApps besar, akan menjadi potensi binis yang bagus.

Dave mengaku tak mudah untuk bisa bersaing dengan aplikasi berbagi pesan yang sudah menguasai pasar pengguna di Indonesia, seperti Whatsapp, Wechat, BBM, atau Line. Ia pun mencoba menanamkan bahwa aplikasi-aplikasi raksasa tersebut bukan saingan yang harus ia kalahkan. Jurus yang akhirnya ia gunakan, menawarkan fitur-fitur tambahan yang memang sejalan dengan kebutuhan pasar lokal. SalamApps pun diubah dari sekedar aplikasi chatting biasa menjadi aplikasi serba bisa yang juga menyediakan bagian khusus komunitas, seperti komunitas pencari kerja, komunitas pegiat travel, atau komunitas pencari pinjaman untuk memulai usaha. Tak hanya itu, Dave melanjutkan, SalamApps juga akan dikembangkan agar bisa dimanfaatkan pengguna untuk membayar tagihan listrik atau pemesanan tiket perjalanan. 

Demi menggaet lebih banyak pengguna, Dave melakukan srategi pemasaran yang cukup unik. Ia dan rekan bisnisnya sengaja tidak menyasar segmen pasar di perkotaan, seperti Jakarta. Dave memilih untuk memasarkan produknya di daerah urban atau pinggiran Jakarta, yang masih belum familiar dengan Whatsapp. Kajian kecil yang ia lakukan, warga pinggiran masih terbiasa dengan BBM yang belum menyediakan banyak fitur untuk mengakomodasi kebutuhan pengguna. Kondisi ini membuat Dave lebih fokus melakukan penetrasi pasar di kota-kota kecil dan pinggiran Jakarta. Dave sadar, perjalanannya masih panjang. Investasi yang dibutuhkan juga tidak sedikit. Dan ia juga sadar tidak mungkin berkompetisi dengan aplikasi lain yang sudah besar. Namun, SalamApps akan terus berkembang. Targetnya dalam beberapa tahun ke depan, bisa menggapai 100 ribu users.


0 komentar:

Posting Komentar