Rabu, 17 Juni 2015




Bagi yang kerap melewati jalur pantura, pasti tak asing lagi dengan kerupuk berwarna merah, kuning, dan putih yang akrab dengan sebutan kerupuk ‘melarat’ ini. Dengan mudah, anda bisa menemukannya di hampir semua toko oleh-oleh sepanjang pantura. Dibuat dari tepung tapioka, penganan ringan ini kerap menjadi teman perjalanan karena rasanya yang gurih dan bikin ketagihan. Siapa sangka, kerupuk ini diproduksi di sebuah desa kecil bernama Gesik, Cirebon. Tak seperti namanya, kerupuk ‘melarat’ justru mampu meningkatkan perekonomian warga Gesik. Nyaris seluruh warga Gesik menggantungkan hidupnya dari kerupuk yang resepnya diperoleh secara turun temurun ini.

Salah satu warga Gesik yang juga membuat kerupuk ‘melarat’ adalah Hj. Eli Marliyah. Ia mengaku sudah puluhan tahun memproduksi kerupuk dari rumahnya yang sederhana. Sayangnya, menurutnya saat ini penghasilannya agak menurun. Selain karena cuaca yang kerap tidak menentu, penjualannya juga tidak sebaik beberapa puluh tahun lalu. Hampir semua warga desa yang akhir 2014 lalu dinobatkan sebagai kampung produktif itu mengeluhkan hal yang sama. Belum lagi soal kenaikan harga bahan baku tepung tapioka. Namun, menuurt ibu tiga anak dan nenek dua cucu ini, walau kini penghasilannya minim, tapi masih cukup buat memenuhi kebutuhan keluarga dan menggaji karyawan.


Resep kerupuk didapat Eli dari keluarga suaminya. Hampir semua saudara suaminya memang pembuat kerupuk. Perempuan kelahiran Kuningan, Jawa Barat ini, sendiri baru menekuni usaha ini sejak menikah dengan suaminya. Ia hanya menjual kerupuk mentah yang kemudian dijual ke pabrik. Karena masih dibuat secara tradisional, maka sangat tergantung dengan cuaca. Bila sedang musim panas, produksi bisa meningkat. Tapi bila musim hujan kadang merugi. Eli pun bercerita, ia pernah merugi besar karena kerupuk yang dibuatnya rusak akibat jamur, karena tidak bisa dijemur. Saat itu jumlahnya lumayan banyak, sampai 4 kuintal. Kerugian pun juga dialami penjual kerupuk matang. Bila musim hujan, kerupuknya kurang dijemur sehingga tida bisa mengembang sempurna.

Produksi kerupuk ‘melarat’ diakui Eli meningkat tajam memasuki bulan Ramadhan. Menurutnya, bulan Ramadhan memang bulan yang penuh berkah. Penjualan kerupuk selalu meningkat. Dalam sehari, Eli biasanya bisa memproduksi 2,5 kuintal kerupuk mentah dibantu 9 orang karyawan. Dengan omzet sekitar Rp 3 juta per bulan, Eli akan meneruskan usaha turun temurun keluaga suaminya ini. Cara pembuatan kerupuk ini pun tidak ada rahasia. Adonannya hanya tepung tapioka, garam dan air. Bumbu diberikan setelah kerupuk disangrai menggunakan pasir. Dan itulah yang menjadi asal muasal nama kerupuk ‘melarat’. Kerupuknya tidak digoreng dengan minyak.


Dengan bendera Sumber Mares, Akhmad Syaefullah juga memproduksi sekaligus memasarkan kerupuk ‘melarat’ di kawasan Cirebon sampai Sidoarjo, Jawa Timur. Ia mulai memegang usaha ini tahun 2009 lalu, dan merupakan generasi ketiga dari usaha yang dirintis eyangnya sekitar tahun 1977. Sejak lulus kuliah dari Universitas Islam Jakarta tahun 2002, Akhmad sudah bertekad terjun ke usaha turun temurun ini. Sempat dirinya bekerja di perusahaan asuransi, tapi ternyata ia tidak betah bekerja dengan orang lain. Akhmad mengaku sejak dulu ia tidak suka diperintah orang, dan lebih senang memerintah orang.

Sejak 2009 itu, banyak ide di kepala Akhmad untuk mengembangkan usaha keluarganya. Ia berpikir, kenapa penganan ini sifatnya masih lokal ? Ia ingin penganan ini bisa pula dikenal secara nasional. Apalagi kerupuk ini juga tidak dimiliki daerah lain. Akhmad ingin, meskipun namanya kerupuk ‘melarat’, tapi produsennya jangan sampai ikut melarat. Ia juga merasa bahwa mempertahankan usaha saja tidak cukup. Butuh inovasi demi mendapatkan pelanggan baru sekaligus mempeluas pasar. Dengan semangat itulah, ia rajin memasarkan kerupuk ini keliling pulau Jawa. Kini kerupuk produksinya juga hadir dengan rasa baru, yaitu kerupuk ‘melarat’ bumbu pedas.

Beruntung, niatnya memperluas pasar juga berbarengan dengan tingginya kesadaran masyarakat akan kesehatan. Masyarakat saat ini takut akan kolesterol, maka kerupuk ‘melarat’ hadir dengan jaminan bebas kolesterol karena digoreng dengan pasir. Akhmad juha memperkuat sisi marketing. Anak ketiga dari lima bersaudara ini berkeliling dari toko ke toko untuk memasarkan kerupuknya. Dan Akhmad atau yang kerap disapa Epu ini bersyukur, bila awalnya ia hanya memproduksi 4 kuintal per hari, memaski 2011 produksinya berlipat ganda demi memenuhi kebutuhan pesanan. Terlebih memasuki musim libur hari raya atau sekolah. Produksi bisa digenjot lebih banyak lagi. Bahkan pada hari raya, bisa ribuan bungkus ludes dibeli. Stok enam gudang saja masih tidak cukup.

Berkat usaha Epu dan pengusaha kerupuk ‘melarat’ lainnya, penganan yang dipasarkan dengan harga mulai Rp 15.000 sampai Rp 17.000 ini mudah ditemui di mana saja di Pulau Jawa. Menurut ayah dua anak ini, target Sumber Mares sekarang adalah wilayah selatan Pulau Jawa. Dan tidak menutup kemungkinan akan segera masuk Sumatera melalui Lampung.

3 komentar:

  1. boleh minta alamat ibu ety atau nomor telp nya,,
    saya ingin meliput usaha beliau..
    mohon info krm ke email saya sissytheresia@gmail.com

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus