Setelah lulus SMA, Anang pergi ke Bekasi dan mencoba mendaftar beberapa kali ke perguruan tinggi, namun selalu gagal. Akhirnya ia putuskan untuk bekerja. Kerja pertamanya di sebuah pabrik semen yang ada di Pulo Gadung, Jakarta Timur. Tugasnya saat itu hanya mengerok semen yang menempel di dinding tower pembuat semen. Setelah sekitar lima tahun bekerja di sana, Anang lalu pindah ke pabrik boneka. Ia bertugas di gudang dengan gaji Rp 70.000 per bulan. Karena penghasilannya pas-pasan, ia terpaksa tinggal di bedeng berukuran 1 meter persegi, yang hanya cukup untuk tidur.
Kehidupannya saat itu memang sangat minus. Untuk menambah penghasilan, ia ikut menjualkan baju dari orang lain, mengkreditkan sepeda, tape recorder, dan lainnya dengan modal yang ia dapatkan dari atasannya. Sejak memiliki pekerjaan sampingan sebagai tukang kredit, perekonomiannya pun mulai membaik, sampai akhirnya ia pun bisa kredit rumah. Sayangnya, baru beberapa bulan menikmati hasil jerih payah itu, tahun 1995 pabrik boneka tempatnya bekerja mulai bangkrut dan banyak mem-PHK karyawan, termasuk dirinya. Pada saat yang bersamaan, usaha kreditnya juga bermasalah. Banyak cicilan dari pelanggannya yang tidak bisa ditagih. Akibatnya, Anang harus menanggung hutang sebanyak Rp 7 juta, ditambah rumahnya pun juga belum lunas. Kehidupan Anang kembali minus.
Setelah di-PHK, Anang lalu mencoba mendirikan toko yang menjual boneka. Boneka-boneka itu dipasok dari teman-teman yang usahanya membuat boneka. Modal usaha sebesar Rp 5 juta ia dapatkan dari uang pesangon PHK. Toko pertamanya ada di sebuah pusat perbelanjaan di Bekasi. Dari situ, usahanya berkembang dan dalam waktu dua tahun, tokonya sudah berjumlah 17 buah di Jabodetabek. Dua di antaranya milik sendiri, sisanya ia menyewa toko di mal. Saat itu, boneka Teletubbies sedang digemari, sehingga bisnisnya mudah berkembang pesat.
Tahun 1998 terjadi krisis moneter. Mayoritas mal pun sepi, karena tidak ada pembeli ditambah lagi mulai banyak teror bom. Toko Anang termasuk kena imbasnya, hingga semuanya terpaksa ditutup, karena dagangannya sudah tidak laku lagi. Semua boneka yang tersisa dilelang untuk membayar hutang. Rumah, mobil, dan harta lainnya pun habis untuk membayar hutang. Tapi tetap saja ia masih menyisakan utang Rp 50 juta pada temannya. Anang kemudian meminta waktu lima tahun untuk dapat melunasinya.
Anang masih ingat, sewaktu ia pulang dari rumah temannya, dirinya malah diberi uang Rp 500.000 oleh temannya itu. Uang itulah yang kembali ia gunakan untuk berbisnis kembali. Kali ini ia mencoba bisnis limbah bahan baku boneka. Limbah tersebut ia dapatkan dari pabrik boneka yang hampir bangkrut. Pabrik itu menjual limbahnya senilai Rp 450 juta. Kain limbah itu lalu ia tawarkan pada sang teman tempatnya berhutang, agar mau membelinya. Jadi uang untuk pembelian berasal dari temannya. Tak hanya kepada satu teman, Anang juga menawarkan ke beberapa teman lain dengan sistem yang sama. Dalam dua minggu semua limbah pabrik itu berhasil ia jual, dan Anang mendapatkan untung Rp 250 juta. Dari situlah, Anang mulai meyakini bahwa bisnis itu bagus.
Anang lalu menyewa toko di Rawa Lumbu, Bekasi untuk berjualan bahan baku boneka. Uang Rp 250 juta itulah yang ia gunakan untuk membayar hutang dan sebagai modal untuk berjualan bahan baku boneka, sekaligus memproduksi boneka. Dimulai dengan dua mesin jahit, dua karyawan, dan dibantu keluarga, Anang memulai bisnis tersebut. Beruntung, selama bekerja di pabrik boneka, ia sering membantu di bagian lain. Karena bertugas di gudang juga banyak waktu senggangnya, setelah tugasnya di gudang selesai, Anang sering ikut membantu memotong bahan, menjahit, bahkan menyupir. Dari situlah ia jadi punya keterampilan membuat boneka.
Macam-macam boneka yang Anang buat. Semua pola ia buat sendiri. Awalnya, pola ia buat dengan sistem amati, tiru, jiplak. Berikutnya, Anang mulai menggunakan sistem ATM, yakni Amati, Tiru, Modifikasi. Boneka yang ia produksi itu lalu dititipkan ke toko milik teman-temannya. Terkadang, pedagang dari pasar grosir pun juga mengambil darinya. Dalam sehari, waktu itu sekitar 50 boneka terjual. Anang juga menampung boneka produksi teman-teman lamanya. Lama-kelamaan, bisnis bonekanya pun jadi besar. Dalam dua tahun, karyawannya bertambah menjadi 50 orang, dan dalam empat tahun berkembang menjadi 125 orang. Namun, Anang memilih tidak membuka toko lagi.
Lima tahun usaha bonekanya berjalan, Anang mulai menjual sistem waralaba produksi dan waralaba toko. Anang berpikir, saat ia tidak punya uang untuk membayar hutang ke bank, apa yang bisa ia lakukan untuk mendapatkan uang yang tidak harus mengganggu bank. Muncullah ide kemitraan. Maka, Anang bisa menjual intelektualnya berupa waralaba produksi dan waralaba toko. Sejak awal Anang memang tidak ingin membuka toko sendiri, karena menurutnya cara itu tidak cerdas. Lebih baik ia memasok ke orang lain, mereka yang mengurus toko, tapi ia tetap bisa dapat keuntungan yang sama. Anang mengakui, ketika ia punya 125 karyawan, omzetnya memang bagus, tapi masalahnya juga besar. Akhirnya ia tawarkan pada produsen boneka lain untuk memproduksi boneka karyanya. Anang juga menyediakan mesin dan perlengkapannya, juga mengajari sistemnya.
Seluruh hasil boneka tersebut akan Anang tampung, dan produsen yang mengerjakan mendapatkan untung 15 persen dari hasil penjualan. Waralaba produksi ini Anang jual dengan harga Rp 125 juta. Anang pun juga mendapatkan untung sebesar 15 persen, tanpa ia harus bekerja dan membesarkan pabrik. Dan tidak ada resiko pula buatnya. Karena adanya sistim ini, Anang jadi terpaksa mengurangi karyawannya menjadi 30 orang. Namun, dengan sistem ini sebetulnya lebih banyak menampung tenaga kerja, karena setiap produsen yang menyuplai boneka kepadanya, memiliki pegawai sekitar 10-30 orang.
Selain menampung apa pun boneka yang dibuat oleh para produsen itu, bila ada order besar yang datang kepadanya, Anang juga menyebarnya kepada mereka. Tapi kualitas bonekanya harus sesuai dengan standar yang ditetapkan Anang. Jenis boneka yang diproduksi juga sangat bervariasi, melebihi produksi pabrikan. Kalau ada produsen yang masih termasuk baru, Anang mempersilahkan untuk membuat setengah jadi saja, sisanya ia yang menyelesaikan. Anang sama sekali tidak takut rugi dengan sistem ini. Karena ia percaya, kalau ilmu disebarkan, maka ilmu dan rezeki juga akan bertambah. Kalaupun orang yang ia ajari ternyata 'melawan', Anang pun pasrah dan membiarkan saja. Misalnya, ada yang menjual dengan harga lebih rendah dari harga yang ditetapkan Anang. Atau, membuka toko di dekat tokonya. Toh menurut Anang, untuk pasar, Hayashi masih selalu di atas mereka. Pun 'murid' yang masih bersahabat dengannya sampai sekarang juga tetap banyak.
Sekarang, sudah ada 18 waralaba produksi dari beberapa kota. Anang juga menjual toko boneka dengan sistem waralaba, dengan harga Rp 50 juta. Boneka di toko itu dipasok dari Hayashi. Dan sekarang sudah ada 86 toko waralaba Hayashi di seluruh Indonesia. Anang kini juga mempunyai pabrik di Bekasi dan enam toko milik sendiri yang ada di sekitar pabrik. Selain memasok ke toko waralaba, Hayashi juga melayani pesanan dari berbagai perusahaan, instansi, bank, kementerian, bahkan pernah juga pesanan datang dari penyelenggara Sea Games dan PON. Anang pun harus selektif menerima pesanan. Namun sebenarnya ia tidak pernah mengikuti tender, karena memang tidak suka. Sekitar 2000 buah boneka berhasil diproduksi Anang setiap bulannya. Pagi hari, boneka-boneka tersebut sudah diantar pemasok, sorenya sudah dikirim ke pembeli. Harga tiap-tiap boneka, dari yang paling murah Rp 7000 hingga yang paling mahal Rp 2,5 juta.
Anang mengakui, sang istri, Dwiyanti Wastini, awalnya sempat pusing dengan pola pikirnya yang anti mainstream. Tapi sekarang, istrinya selalu mendukung langkah Anang. Anang menikah saat usianya masih terbilang muda, 22 tahun. Saat ini, mereka sudah dikaruniai lima anak, Agin, Dhea, Tiara, Zazkia, dan Hanifa. Anak pertama dan keduanya bahkan ikut terjun ke bisnis boneka tanpa pernah Anang ajari, dan tidak menggunakan nama besar Hayashi.
Selain berbisnis, Anang juga aktif di media sosial. Bukan berjualan boneka, melainkan sering membuat tulisan-tulisan yang inspiratif, filosofis, nasihat, dan bisa membuat pembacanya tertarik. Dan sejak 2011 Anang juga sudah menulis buku. Tiga buku sudah ia hasilkan, Berbisnis Dengan Iman, Menjadi Muslim Miliarder, dan Jangan Biarkan Engkau Menangis. Semua hasil royalti penjualan buku tersebut ia dedikasikan untuk masjid, pesantren, dan Rumah Quran. Sejak saat itu pula, Anang mulai diundang menjadi pembicara oleh kampus, perusahaan, sekolah, dan pemerintah. Oleh pemerintah, ia diajak untuk menjadi motivator dan mengajari pembuatan boneka ke desa-desa.
Di dalam buku yang ditulisnya, Anang menuangkan cara-caranya dalam berbisnis. Salah satunya, ia tidak percaya kalau yang dibisniskan itu harus sesuatu yang kita sukai. Anang membuktikan itu karena ia sendiri memang tidak suka boneka. Menurutnya, dalam bisnis apa pun, passion bukan segalanya. Kalau kita ingin serius, apa pun bisa menghasilkan. Anang bercerita, ia sangat menyukai ikan hias dan pernah mencoba membisniskannya, tapi ternyata bangkrut setelah dua tahun. Jadi, menurutnya, hobi pun tidak menjamin kesuksesan berbisnis. Kiat sukses berbisnis adalah fokus pada bidang itu, menjadi expert dalam bidang yang dipilih, suka atau tidak suka. Ketika kita menerima apa yang kita punya dan bisa sukses di bidang itu, tandanya kita termasuk orang hebat karena bisa mengelola hati.
Kesimpulannya, rumus Anang dalam berbisnis adalah, teratur terhadap ketidak teraturan dan fokus pada ketidak fokusan. Anang memang lebih suka-suka dalam berbisnis, tidak ingin dibatasi. Semua filosofinya ini ia dapat dari pengalaman kehidupannya selama ini. Dalam berbisnis, Anang juga tidak pernah mau tergantung pada pesanan orang. Ia cukup membuat produk yang menurutnya baik, lalu dijual. Jadi, pembeli harus membeli produknya, bukan pembeli yang menyuruhnya harus ini dan itu. Bahkan, yang memesan boneka ke Hayashi pun juga belum tentu Anang terima. Setelah lebih dari 20 tahun menekuni dunia boneka, Anang jadi tahu mana yang bagus dan mana yang jelek. Bukan hanya uang yang ia pikirkan. Tapi kualitas dan kreativitas yang jadi ciri khas Hayashi juga harus ada di setiap produksi. Anang tidak pernah menganggap pembeli adalah raja. Baginya, pembeli adalah partner yang harus sejajar. Kalau pembeli dianggap sebagai raja, jaraknya dengan Hayashi akan sangat jauh dan akan membuat dirinya berhak diatur-atur. Selain itu, bila harga BBM sedang naik dan perusahaan lain menaikkan harga bonekanya, Anang justru menurunkan harga.
Anang tidak pernah peduli dengan kompetitor. Bahkan, kompetitor ia ciptakan dengan membuat waralaba produksi. Dengan adanya kompetitor, Anang dituntut untuk berkreasi terus, karena otomatis ia jadi takut kalah dari kompetitor yang ia ciptakan sendiri. Menurutnya, usaha kalau tidak ada saingan tidak akan berjalan lebih cepat. Dan Anang yakin, selama perempuan masih bisa hamil, bisnis boneka ini tetap yang terbaik buatnya. Kehadiran kompetitor justru Anang anggap persahabatan sesama pengusaha. Ini ia buktikan dengan mengumpulkan semua pembuat boneka, lalu produk mereka bisa dijual di toko Hayashi. Menurut Anang, lawan usahanya bukanlah sesama pengusaha lokal, melainkan negara lain yang merusak pasar negara kita. Jadi, Anang ingin mengajak sesama pengusaha boneka untuk tumbuh bersama, saling mendukung, dan saling untung.
Banyak mantan karyawannya yang sekarang sukses menjadi pengusaha dan duduk bersamanya di asosiasi. Ya, Anang juga telah mendirikan Himpunan Pengrajin Boneka Indonesia dan Koperasi Sepakat Bersama untuk para pemasok bonekanya. Dengan bersama lewat koperasi itu, Anang yakin akan jadi lebih kuat. Menurutnya, kita tidak bisa maju kalau berbisnis hanya sendirian. Anang pun senang melihat kesuksesan mantan pegawainya. Taraf hidup mereka jadi meningkat.
Ayo Join bersama jpspoker(dot)com
BalasHapusKemenangan Lebih Besar Lho!
Agen Poker Terpercaya Pastinya!!
Hubungi kami BBM: 559588CB - WA: 082370836863
Aslijitu Agen Togel Online
BalasHapus