Berkat kecintaan dan dedikasi tak putus, dua makanan dari bahan singkong ini naik kelas menjadi jajanan khas yang sangat digemari. Apa rahasianya ?
Suasana pusat
jajanan duo tiwul dan gatot yang berlokasi di Jl. Pramuka, Wonosari, Gunung Kidul,
DIY, setiap hari selalu terlihat ramai. Banyak warga yang berburu dua jenis
makanan yang sekian lama menjadi makanan pokok warga Gunung Kidul itu untuk
oleh-oleh. Di lantai dua, tampak pengunjung menikmati gatot tiwul. Begitulah
suasana kios Yu Tum, nama legendaris di bidang gatot dan tiwul. Rupanya, gatot
dan tiwul sudah bermetamorfosa dari makanan yang identik dengan kelas bawah
menjadi jajanan berkelas. Tiwul juga sudah mendapat sentuhan dengan berbagai
varian rasa seperti nangka dan cokelat. Bahkan kini di kios Yu Tum juga
disediakan tiwul dengan toping keju.
Menurut
Ratminingsih, sang pengeloka usaha kios gatot tiwul Yu Tum, seiring makin
banyaknya wisatawan yang mengunjungi tempat wisata pantai dan Gunung Pindul, penjualan
gatot dan tiwul juga meningkat. Pembeli terus berdatangan. Bila dihitung, dalam
satu bulan ia bisa membutuhkan bahan baku tiwul dan gatot sebanyak 2 ton sampai
2,5 ton tepung gaplek. Sementara bila menjelang liburan bisa 3,5 ton. Rata-rata
per hari ia membutuhkan 1 kuintal gaplek dan 1 kuintal tepung singkong. Dan
pada akhir pekan bertambah menjadi 1,5 kuintal. Gatot sendiri terbuat dari
irisan gaplek yang dikukus bersama air gula merah dan disantap dengan kelapa
parut. Sementara tiwul rasa asli terbuat dari tepung singkong yang dikukus,
lalu ditambahkan gula merah. Juga disajikan dengan campuran kelapa parut dan
garam.
Ratmi
mengisahkan, pada masanya gatot dan tiwul adalah makanan sehari-hari masyarakat
Gunung Kidul yang dikenal berlahan tandus. Seiring makin makmurnya masyarakat,
kemudian beralihlah mereka mengkonsumsi beras. Gatot dan tiwul hanya menjadi
makanan tambahan atau selingan. Namun, ibunda Ratmi yang bernama Tumirah, dan
akrab disapa Yu Tum, tetap gigih berjualan gatot dan tiwul. Ia menjajakannya
keliling desa dan masuk kantor-kantor pemerintahan. Akhirnya, nama Yu Tum pun
dikenal masyarakat, termasuk pegawai instansi pemerintahan.
Seiring usia
yang semakin menua, akhir tahun 2000-an Yu Tum tak lagi berkeliling. Kala itu,
ia berjualan di rumah kontrakan di kawasan Jl. Pramuka. Rupanya penggemar gatot
dan tiwul terus memburu. Lalu di tahun 2003, Ratmi, yang merupakan anak ke 5
pasangan Tumirah dan Warso Suwito, memutuskan berhenti bekerja dari pabrik di
Bekasi, untuk menggantikan ibunya berjualan tiwul karena kasihan melihat ibunya
yang sudah berkurang kekuatannya. Dengan tenaganya yang masih fresh, Ratmi bersama suaminya, Slamet,
bahu membahu menjajakan gatot tiwul. Waktu itu, harga sebungkus tiwul masih Rp
1000. Ratmi berjualan di warung, sementara suaminya sempat berjualan di Pasar
Beringharjo, namun kemudian memilih berjualan keliling dari kantor ke kantor.
Dibantu dua
karyawan, Ratmi dan Slamet yang asal Sokaraja, Jawa Tengah, terus bertahan
dengan dagangannya. Keduanya harus bertarung melawan zaman, dimana makanan instan
terus menggempur jajanan tradisional. Beruntung, masyarakat masih terus
menyukai gatot tiwul, sehingga dagangan mereka bisa bertahan. Tahun 2005,
mereka meminjam rumah milik kakak Ratmi yang ada di samping warung kontrakan
untuk memperluas warung tiwulnya. Mereka juga sudah bisa menambah dua karyawan
lagi untuk melayani pembeli yang kebanyakan pegawai kantor.
Ratmi dan
Slamet mendapatkan angin segar ketika mendapat pelatihan manajemen dagang dan
cara mengembangkan produk dari Disperindag tingkat provinsi. Selain itu mereka
juga diajak mengikuti pameran, serta dilatih teknis pembuatan tiwul yang baik.
Bahkan dibantu juga untuk penyediaan alat-alatnya. Mereka mengaku, dengan
senang hati menerima pembinaan dari Pemda DIY termasuk BPOM hingga mendapat
sertifikasi halal dari MUI. Dari ajang pelatihan itulah, timbul ide untuk
memberi sesuatu yang baru pada dagangannya agar bisa berkembang. Mereka membuat
varian rasa tiwul dengan mencampurkan buah nangka segar atau membubuhi meises
ke dalam tiwul saat masih panas. Jadilah, tiwul rasa nangka dan cokelat.
Ternyata pembeli banyak yang suka. Bahkan kemudian wisatawan juga ada yang
minta dikasih toping keju.
Ketekunan dan
konsistensi Ratmi dan Slamet berdagang tiwul berbuah manis. Mereka mampu
mengubah warungnya menjadi toko pusat oleh-oleh khas Gunung Kidul. Selain
sajian utama gatot dan tiwul, mereka juga menyediakan aneka jajanan berbahan
singkong. Sebagian dagangan itu merupakan kerja sama dengan pengrajin makanan
kecil warga setempat. Bukan itu saja, mereka pun akhirnya mampu membeli rumah
sang kakak yang sempat dipinjamnya. Kini, selain menjadi tempat produksi, di
lantai atas dibuat area resto gatot-tiwul. Jadi, tamu-tamu yang datang kini
bisa menyantap gatot tiwul yang masih hangat di situ. Per porsinya mereka
memasang harga Rp 15.000. Kebanyakan tamu yang datang adalah rombongan keluarga
dengan mobil pribadi. Ada juga rombongan wisatawan yang baru pulang berwisata.
Bahkan ada yang minta dibungkus untuk dibawa pulang.
Kreasi
lainnya, Ratmi dan Slamet membuat tiwul dan gatot yang dikeringkan dengan
kemasan menarik. Mereka menyebutnya tiwul dan gatot instan. Per kemasan isi
setengah kilo harganya Rp 18.000. Di bagian kemasan tertulis cara memasak dan
penyajiannya. Kendati demikian, Ratmi tak keberatan juga menerima titipan
produk serupa dari pabrik tiwul instan milik perusahaan berskala besar yang ada
di Gunung Kidul. Atas ketekunan memihak jajanan khas rakyat Gunung Kidul, Tiwul
Yu Tum pada tahun 2013 mendapatkan penghargaan dari Pemda DIY. Bagi Ratmi,
sepanjang masyarakat masih mau makan tiwul, itu sudah menjadi penghargaan yang
berarti bagi usahanya.
Menurut Ratmi,
ibunda tercinta sempat melihat perkembangan usahanya hingga tahun 2013. Kini
Tumirah sudah meninggal pada 7 Desember 2013 dalam usia 76 tahun. Ketika masih
hidup, ibunya sempat menyatakan senang usahanya bisa berkembang di tangan Ratmi
dan suami. Bahkan sempat berpesan kepada Ratmi agar berhati-hati dalam
mengembangkan usaha. Untuk melengkapi tokonya, Slamet juga membuat getuk goreng
Sokaraja seperti tempat asalnya. Bedanya, getuk ini lebih krispi dan tidak
terlalu manis. Dijual per besek, isi 0,5 kilo seharga Rp 13.000. Dan ternyata
peminat getuk jenis ini pun semakin bertambah dari hari ke hari.
Ratmi pantas
bangga, gatot dan tiwul buatan Yu Tum juga disukai pemimpin negeri ini. Di masa
Presiden Soeharto, ibunya sering diminta menyajikan tiwul untuk beliau. Baik
saat Pak Harto berkunjung ke Gunung Kidul maupun ketika berada di istana Gedung
Agung, Yogyakarta. Presiden ke 2 RI itu ternyata memang penyuka tiwul. Selain
itu Raja Ngayogyakarta Hadiningrat yang juga gubernur DIY Ngarsadalem Sultan HB
X, juga menyukai Tiwul Yu Tum. Bila Pak Sultan ada acara di Gunung Kidul, ia
sering diminta untuk menyajikan tiwul.
Bahkan kini Ratmi kerap diminta Disperindag untuk melatih pembuatan
tiwul di beberapa tempat.
Beberapa bulan
belakangan, Dinas Pariwisata Gunung Kidul juga mengajak Ratmi terlibat dalam
berbagai kegiatan. Ke depan Tiwul Yu Tum masih ingin mengembangkan produk tiwul
instan, karena banyak peminatnya. Apalagi saat muism libur. Ratmi pun kini juga
berjualan tiwul instan secara online. Kini Ratmi juga telah memiliki dua cabang
toko lagi di Jl. Siyono dan kios di Pantai Baron. Tiwul Yu Tum benar-benar
sudah naik kelas.
Contact Us
PusatJl. Pramuka No.36 Wonosari Gunungkidul 55812 Yk Ph 0274 7889300 – 081 328 741792
Cabang I
Jl Wonosari – Yogya Km 3.5 Siyono Tengah Yk Ph 0274 300 1164
Cabang II
Jl Baron Km. 04 Dunggubah Duwet Wonosari Gunungkidul Yk (depan balai Desa duwet)
Phone 081228188595
pengen nyoba Gatot khas gunung kidul, pasti rasanya enak banget..
BalasHapusCvtugu
k bisa minta resepnya k,,pengen banget buat sendriri..
BalasHapusDktour Jogja
tepungnya hrg brp y?
BalasHapustiwul instanya berapaan ya?
BalasHapus