Senin, 17 November 2014




Berkat kecintaan dan dedikasi tak putus, dua makanan dari bahan singkong ini naik kelas menjadi jajanan khas yang sangat digemari. Apa rahasianya ?

Suasana pusat jajanan duo tiwul dan gatot yang berlokasi di Jl. Pramuka, Wonosari, Gunung Kidul, DIY, setiap hari selalu terlihat ramai. Banyak warga yang berburu dua jenis makanan yang sekian lama menjadi makanan pokok warga Gunung Kidul itu untuk oleh-oleh. Di lantai dua, tampak pengunjung menikmati gatot tiwul. Begitulah suasana kios Yu Tum, nama legendaris di bidang gatot dan tiwul. Rupanya, gatot dan tiwul sudah bermetamorfosa dari makanan yang identik dengan kelas bawah menjadi jajanan berkelas. Tiwul juga sudah mendapat sentuhan dengan berbagai varian rasa seperti nangka dan cokelat. Bahkan kini di kios Yu Tum juga disediakan tiwul dengan toping keju.

Menurut Ratminingsih, sang pengeloka usaha kios gatot tiwul Yu Tum, seiring makin banyaknya wisatawan yang mengunjungi tempat wisata pantai dan Gunung Pindul, penjualan gatot dan tiwul juga meningkat. Pembeli terus berdatangan. Bila dihitung, dalam satu bulan ia bisa membutuhkan bahan baku tiwul dan gatot sebanyak 2 ton sampai 2,5 ton tepung gaplek. Sementara bila menjelang liburan bisa 3,5 ton. Rata-rata per hari ia membutuhkan 1 kuintal gaplek dan 1 kuintal tepung singkong. Dan pada akhir pekan bertambah menjadi 1,5 kuintal. Gatot sendiri terbuat dari irisan gaplek yang dikukus bersama air gula merah dan disantap dengan kelapa parut. Sementara tiwul rasa asli terbuat dari tepung singkong yang dikukus, lalu ditambahkan gula merah. Juga disajikan dengan campuran kelapa parut dan garam.



Ratmi mengisahkan, pada masanya gatot dan tiwul adalah makanan sehari-hari masyarakat Gunung Kidul yang dikenal berlahan tandus. Seiring makin makmurnya masyarakat, kemudian beralihlah mereka mengkonsumsi beras. Gatot dan tiwul hanya menjadi makanan tambahan atau selingan. Namun, ibunda Ratmi yang bernama Tumirah, dan akrab disapa Yu Tum, tetap gigih berjualan gatot dan tiwul. Ia menjajakannya keliling desa dan masuk kantor-kantor pemerintahan. Akhirnya, nama Yu Tum pun dikenal masyarakat, termasuk pegawai instansi pemerintahan.

Seiring usia yang semakin menua, akhir tahun 2000-an Yu Tum tak lagi berkeliling. Kala itu, ia berjualan di rumah kontrakan di kawasan Jl. Pramuka. Rupanya penggemar gatot dan tiwul terus memburu. Lalu di tahun 2003, Ratmi, yang merupakan anak ke 5 pasangan Tumirah dan Warso Suwito, memutuskan berhenti bekerja dari pabrik di Bekasi, untuk menggantikan ibunya berjualan tiwul karena kasihan melihat ibunya yang sudah berkurang kekuatannya. Dengan tenaganya yang masih fresh, Ratmi bersama suaminya, Slamet, bahu membahu menjajakan gatot tiwul. Waktu itu, harga sebungkus tiwul masih Rp 1000. Ratmi berjualan di warung, sementara suaminya sempat berjualan di Pasar Beringharjo, namun kemudian memilih berjualan keliling dari kantor ke kantor.

Dibantu dua karyawan, Ratmi dan Slamet yang asal Sokaraja, Jawa Tengah, terus bertahan dengan dagangannya. Keduanya harus bertarung melawan zaman, dimana makanan instan terus menggempur jajanan tradisional. Beruntung, masyarakat masih terus menyukai gatot tiwul, sehingga dagangan mereka bisa bertahan. Tahun 2005, mereka meminjam rumah milik kakak Ratmi yang ada di samping warung kontrakan untuk memperluas warung tiwulnya. Mereka juga sudah bisa menambah dua karyawan lagi untuk melayani pembeli yang kebanyakan pegawai kantor.

 
Ratmi dan Slamet mendapatkan angin segar ketika mendapat pelatihan manajemen dagang dan cara mengembangkan produk dari Disperindag tingkat provinsi. Selain itu mereka juga diajak mengikuti pameran, serta dilatih teknis pembuatan tiwul yang baik. Bahkan dibantu juga untuk penyediaan alat-alatnya. Mereka mengaku, dengan senang hati menerima pembinaan dari Pemda DIY termasuk BPOM hingga mendapat sertifikasi halal dari MUI. Dari ajang pelatihan itulah, timbul ide untuk memberi sesuatu yang baru pada dagangannya agar bisa berkembang. Mereka membuat varian rasa tiwul dengan mencampurkan buah nangka segar atau membubuhi meises ke dalam tiwul saat masih panas. Jadilah, tiwul rasa nangka dan cokelat. Ternyata pembeli banyak yang suka. Bahkan kemudian wisatawan juga ada yang minta dikasih toping keju.



Ketekunan dan konsistensi Ratmi dan Slamet berdagang tiwul berbuah manis. Mereka mampu mengubah warungnya menjadi toko pusat oleh-oleh khas Gunung Kidul. Selain sajian utama gatot dan tiwul, mereka juga menyediakan aneka jajanan berbahan singkong. Sebagian dagangan itu merupakan kerja sama dengan pengrajin makanan kecil warga setempat. Bukan itu saja, mereka pun akhirnya mampu membeli rumah sang kakak yang sempat dipinjamnya. Kini, selain menjadi tempat produksi, di lantai atas dibuat area resto gatot-tiwul. Jadi, tamu-tamu yang datang kini bisa menyantap gatot tiwul yang masih hangat di situ. Per porsinya mereka memasang harga Rp 15.000. Kebanyakan tamu yang datang adalah rombongan keluarga dengan mobil pribadi. Ada juga rombongan wisatawan yang baru pulang berwisata. Bahkan ada yang minta dibungkus untuk dibawa pulang.

Kreasi lainnya, Ratmi dan Slamet membuat tiwul dan gatot yang dikeringkan dengan kemasan menarik. Mereka menyebutnya tiwul dan gatot instan. Per kemasan isi setengah kilo harganya Rp 18.000. Di bagian kemasan tertulis cara memasak dan penyajiannya. Kendati demikian, Ratmi tak keberatan juga menerima titipan produk serupa dari pabrik tiwul instan milik perusahaan berskala besar yang ada di Gunung Kidul. Atas ketekunan memihak jajanan khas rakyat Gunung Kidul, Tiwul Yu Tum pada tahun 2013 mendapatkan penghargaan dari Pemda DIY. Bagi Ratmi, sepanjang masyarakat masih mau makan tiwul, itu sudah menjadi penghargaan yang berarti bagi usahanya.



Menurut Ratmi, ibunda tercinta sempat melihat perkembangan usahanya hingga tahun 2013. Kini Tumirah sudah meninggal pada 7 Desember 2013 dalam usia 76 tahun. Ketika masih hidup, ibunya sempat menyatakan senang usahanya bisa berkembang di tangan Ratmi dan suami. Bahkan sempat berpesan kepada Ratmi agar berhati-hati dalam mengembangkan usaha. Untuk melengkapi tokonya, Slamet juga membuat getuk goreng Sokaraja seperti tempat asalnya. Bedanya, getuk ini lebih krispi dan tidak terlalu manis. Dijual per besek, isi 0,5 kilo seharga Rp 13.000. Dan ternyata peminat getuk jenis ini pun semakin bertambah dari hari ke hari.



Ratmi pantas bangga, gatot dan tiwul buatan Yu Tum juga disukai pemimpin negeri ini. Di masa Presiden Soeharto, ibunya sering diminta menyajikan tiwul untuk beliau. Baik saat Pak Harto berkunjung ke Gunung Kidul maupun ketika berada di istana Gedung Agung, Yogyakarta. Presiden ke 2 RI itu ternyata memang penyuka tiwul. Selain itu Raja Ngayogyakarta Hadiningrat yang juga gubernur DIY Ngarsadalem Sultan HB X, juga menyukai Tiwul Yu Tum. Bila Pak Sultan ada acara di Gunung Kidul, ia sering diminta untuk menyajikan tiwul.  Bahkan kini Ratmi kerap diminta Disperindag untuk melatih pembuatan tiwul di beberapa tempat.

Beberapa bulan belakangan, Dinas Pariwisata Gunung Kidul juga mengajak Ratmi terlibat dalam berbagai kegiatan. Ke depan Tiwul Yu Tum masih ingin mengembangkan produk tiwul instan, karena banyak peminatnya. Apalagi saat muism libur. Ratmi pun kini juga berjualan tiwul instan secara online. Kini Ratmi juga telah memiliki dua cabang toko lagi di Jl. Siyono dan kios di Pantai Baron. Tiwul Yu Tum benar-benar sudah naik kelas.


Contact Us

Pusat
Jl. Pramuka No.36 Wonosari Gunungkidul 55812 Yk Ph 0274 7889300 – 081 328 741792

Cabang I
Jl Wonosari – Yogya Km 3.5 Siyono Tengah Yk Ph 0274 300 1164


Cabang II

Jl Baron Km. 04 Dunggubah Duwet Wonosari Gunungkidul Yk (depan balai Desa duwet)
Phone 081228188595



4 komentar: