Selasa, 15 Desember 2015




Latar belakang sebagai seorang arsitek memberi warna pada kreasi busana muslim rancangan desainer Surabaya ini. Selain warna yang tegas dan saling ‘bertabrakan’, unsur-unsur relief pada bangunan Mesir kadang menjadi salah satu inspirasinya. Karena itu, wanita bernama lengkap Lia Kusumaningdiah ini menyebut ciri desainnya adalah etnik glamor.

Lia mengawali terjun di dunia fashion sejak 2003 silam, beberapa saat selepas lulus dari jurusan Arsitektur Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS). Awalnya setamat kuliah ia sempat bekerja sebagai arsitek di sebuah perusahaan kontraktor. Tetapi sekitar dua tahun berjalan Lia merasa mulai bosan, karena pesanan gambar bangunan yang ia terima begitu-begitu saja. Ia menganggapnya kurang variatif. Lia pun kemudian keluar dari pekerjaan tersebut. Setelah itu mencoba alih profesi dengan mengambil kursus di bidang desain interior. Namun setelah mencoba menekuninya, ternyata ia merasa kurang cocok juga. Apalagi saat itu dirinya tengah hamil dan ada persoalan alergi debu. Sementara, kalau sedang ada pekerjaan, ia harus pergi ke sana-kemari untuk belanja bahan, dan tidak bisa menghindar dari debu.


Kemudian Lia berpikir, bagaimana caranya supaya ia bisa bekerja dari rumah. Jadi, selain menghasilkan ia juga tetap bisa mengurus keluarga dan profesi itu yang membuatnya enjoy. Lalu ia mencoba kursus desainer di Susan Budihardjo. Lia memang tiba-tiba tertarik pada dunia mode karena melihatnya terasa asyik. Pun sepertinya dunia mode juga punya sentuhan seni yang cukup kuat. Itu paling tidak bisa menyalurkan hasratnya setelah tidak menekuni dunia arsitek. Ternyata benar, belajar desain itu sangat menarik baginya. Ia juga diharuskan bisa menggambar bentuk tubuh manusia secara proporsional, sama seperti ketika di arsitek yang diwajibkan bisa membuat gambar bangunan secara proporsional. Saat mengikuti kursus itulah Lia kemudian tahu bahwa sebenarnya antara dunia fashion dengan arsitektur itu ada kesamaan.

Desain busana dan desain rumah atau bangunan itu sama-sama harus memiliki konsep atau tema. Contohnya, kalau membuat rumah desainnya harus jelas, apakah mau desain rumah mediterania, kolonial, modern, dan sebagainya. Karena, masing-masing bentuk rumah itu memiliki batasan yang jelas. Demikian pula dengan desain busana, juga harus bertema, tidak boleh sembarangan. Salah satu contoh, ketika Lia mengikuti Indonesia Fashion Week (IFW) tahun 2015. Saat itu ia mengusung konsep yang inspirasinya diambil dari rumah gadang.


Ada satu momen yang membuat Lia betul-betul mantap menekuni dunia desainer. Pada tahun 2006, salah satu majalah Islami yang terbit di Jakarta mengadakan lomba rancang busana muslim. Lia mencoba mengikuti lomba tersebut. Saat itu ia mengangkat tema suku Dayak sebagai inspirasi desainnya. Ternyata, tanpa diduga karyanya itu berhasil keluar sebagai juara pertama. Saat itu hadiahnya berangkat umrah. Lia pun senang sekali. Belum pernah mengikuti lomba, tapi sekali ikut langsung mendapat apresiasi begitu tinggi. Dari sanalah ia semakin mantap terjun ke dunia fashion. Apalagi, suaminya, Ahmad Afif, sangat mendukung. Dengan kemenangan itu, awak media di Jakarta lantas mengangkatnya menjadi bahan berita. Saat itulah namanya di dunia mode mulai dikenal masyarakat.

Sebenarnya, di awal kariernya Lia mendesain busana umum, bukan khusus busana muslim. Kalau pun ada busana muslim, biasanya desainnya bercampur dengan bordiran. Tetapi setelah keluar sebagai juara, ia memang langsung menapakkan diri ke busana muslim. Alasannya, yang pertama, baginya tentu itu sebagai bentuk syiar Islam. Kedua, ia ingin menunjukkan bahwa busana muslim itu tidak kuno atau itu-itu saja. Busana muslim bisa didesain menarik, modis, dan cantik juga. Lia ingin membuat orang yang semula tidak berbusana muslim, begitu melihat busana muslim yang ternyata juga bisa modis, akhirnya memutuskan untuk berbusana secara Islami.


Begitu terjun di dunia mode, Lia sudah mulai memproduksi secara massal, meski skalanya masih kecil. Baju-baju itu terutama untuk ia pakai sendiri dan untuk keluarga. Jadi, setelah membuat pola, kemudian ia mencari tukang jahit dan sebagainya. Tetapi, begitu mendapat sambutan positif dari masyarakat, ia kemudian mengambil seorang penjahit di rumah. Memang, pada awalnya, ia dan teman-teman dekatnya masuk ke komunitas arisan para ibu. Beruntung, di sana responsnya sangat bagus. Oleh karenanya, Lia menilai bahwa arisan para ibu itu sangat bagus asal kita bisa memanfaatkannya dengan baik. Saat ini ketika usahanya sudah semakin besar, sudah ada belasan pekerja yang tinggal di rumahnya.

Bila diamati, ciri khas karya-karya Lia begitu mencolok dan saling bertabrakan warna. Menurut Lia, itu adalah cerminan dari karakter pribadinya yang memang meledak-ledak. Selain itu, desain baju yang ia buat secara tidak langsung akan ia pakai juga. Karena kulitnya cenderung gelap, maka bila diberi warna soft pasti akan terlihat kusam. Tapi kalau ia memakai warna-warna yang tegas akan terlihat lebih segar. Selain itu, tema desainnya juga sering terinspirasi pada bangunan unik. Mungkin karena dasarnya seorang arsitek, sehingga ia begitu menyukai bangunan-bangunan yang punya nilai sejarah dan kebudayaan tinggi.


Misalnya, ketika ia mengikuti event ITW, JFW, IFF yang diadakan di Jakarta, ia mengambil tema detail Simavera. Ssimavera adalah hiasan pada pilar bangunan di Mesir. Di mata Lia, lekuk-lekuk Simavera itu indah sekali dan menjadi inspirasi. Untuk topi atau penutup kepala, ia terinspirasi penutup kepala yang digunakan Ratu Nefertiti (Ratu Keabadian Mesir). Demikian pula rumah Gadang Sumatera Barat yang memiliki garis vertikal dan horizontal yang tegas dan indah. Itu yang menjadi inspirasi busananya pada event JFW 2015. Dan bahan yang bisa mendukung tema yang ia usung adalah tenun NTT, di mana garis-garis yang memisahkan satu warna dengan warna lain terlihat tegas. Sementara pada event JFF, desain busana yang ia tampilkan bertema invinite phoenix. Di situ ia terinspirasi oleh suku Karen di Thailand. Para wanita suku Karen itu mengenakan gelang di lehernya. Filosofinya, semakin panjang gelang, akan semakin cantik pula wanita yang memakai.

Bila suku Karen memakai gelang berbahan logam, tentu tidak mungkin bagi Lia menghadirkan hal yang sama. Jadi ia mengakalinya dengan selang radiator mobil. Karena kalau menggunakan selang dari bahan plastik tidak bisa dicat keemasan sehingga memang harus dicari selang berbahan karet. Untuk 15 orang model yang memperagakan karyanya, Lia membutuhkan selang radiator sepanjang 200 meter. Gelang dari bahan selang itu dibuat oleh suaminya. Dengan desain yang ia ambil dari etnik daerah seperti inilah, Lia tidak merasa menjiplak karya orang lain.


Untuk bahan, karya Lia mayoritas menggunakan tenun. Ia memang penyuka tenun. Menurutnya, tenun dari NTT, Lombok, Bima itu sangat bagus sekali. Di ketiga daerah tersebut ia sudah punya pelanggan tetap yang memang secara kualitas sangat bagus. Dengan menggunakan tenun kita pun bisa sekaligus membantu meningkatkan penghasilan mereka. Jadi, apa pun temanya, Lia memang lebih banyak menyertakan tenun sebagai salah satu bagian desainnya. Untuk aksesori, ia buat sesukanya. Bahannya pun macam-macam. Bila saat sedang jalan ia melihat ada lempengan kuningan yang kira-kira dianggap bisa dikombinasi dengan manik-manik atau bahan lain, pasti ia beli.

Lia pun akan terus berusaha menghasilkan karya-karya baru terbaik. Ada satu hal yang membuatnya beruntung, yakni ketika ia bergabung dengan Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI). Di APPMI ini setiap tahun ia bisa mengikuti event-event nasional, mulai Indonesia Fashion Week, Jakarta Fashion Week, Jakarta Fashion & Food Festival, Surabaya Fashion Periode, Royal Plaza, Islamic Fashion Festival. Untuk satu event tersebut paling tidak ia harus mengeluarkan 10 sampai 15 model busana. Jadi, bila dalam setahun ia mengikuti 5 event besar, berarti ia harus mengeluarkan 50 sampai 75 model busana baru. Sebaliknya, kalau ia tidak mengikuti event tersebut, ia akan berkutat di model yang itu-itu saja. Begitu ada satu karyanya yang bagus dan disukai orang, ia pasti akan melakukan duplikasi. Sementara kalau mengikuti event, ia seperti dipaksa membuat sesuatu yang baru.


Di luar urusannya dengan dunia mode, Lia juga masih kerap melakukan aktivitas yang lain. Kadang ia suka diajak touring oleh suaminya dengan motor gede (moge). Walau capek, tapi baginya itu menyenangkan. Kadang tujuannya bisa sampai Jawa Barat. Dari keempat anaknya, Rere, Rara, Ruri, dan Reno, sepertinya hanya Rara yang punya bakat di bidang mode. Karena itulah, saat ini Lia mulai mengkaderkan anaknya dengan diikuti kursus menggambar. Ke depan, Lia akan terus mengembangkan usahanya ini. Sekarang, selain di Surabaya, busananya juga sudah ada di butik di Jakarta dan Makassar.

0 komentar:

Posting Komentar