Latar belakang sebagai seorang arsitek memberi warna pada kreasi busana muslim rancangan desainer Surabaya ini. Selain warna yang tegas dan saling ‘bertabrakan’, unsur-unsur relief pada bangunan Mesir kadang menjadi salah satu inspirasinya. Karena itu, wanita bernama lengkap Lia Kusumaningdiah ini menyebut ciri desainnya adalah etnik glamor.
Lia mengawali
terjun di dunia fashion sejak 2003 silam, beberapa saat selepas lulus dari
jurusan Arsitektur Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS). Awalnya
setamat kuliah ia sempat bekerja sebagai arsitek di sebuah perusahaan kontraktor.
Tetapi sekitar dua tahun berjalan Lia merasa mulai bosan, karena pesanan gambar
bangunan yang ia terima begitu-begitu saja. Ia menganggapnya kurang variatif.
Lia pun kemudian keluar dari pekerjaan tersebut. Setelah itu mencoba alih
profesi dengan mengambil kursus di bidang desain interior. Namun setelah
mencoba menekuninya, ternyata ia merasa kurang cocok juga. Apalagi saat itu
dirinya tengah hamil dan ada persoalan alergi debu. Sementara, kalau sedang ada
pekerjaan, ia harus pergi ke sana-kemari untuk belanja bahan, dan tidak bisa
menghindar dari debu.
Kemudian Lia
berpikir, bagaimana caranya supaya ia bisa bekerja dari rumah. Jadi, selain
menghasilkan ia juga tetap bisa mengurus keluarga dan profesi itu yang
membuatnya enjoy. Lalu ia mencoba kursus desainer di Susan Budihardjo. Lia
memang tiba-tiba tertarik pada dunia mode karena melihatnya terasa asyik. Pun
sepertinya dunia mode juga punya sentuhan seni yang cukup kuat. Itu paling
tidak bisa menyalurkan hasratnya setelah tidak menekuni dunia arsitek. Ternyata
benar, belajar desain itu sangat menarik baginya. Ia juga diharuskan bisa
menggambar bentuk tubuh manusia secara proporsional, sama seperti ketika di
arsitek yang diwajibkan bisa membuat gambar bangunan secara proporsional. Saat
mengikuti kursus itulah Lia kemudian tahu bahwa sebenarnya antara dunia fashion dengan arsitektur itu ada
kesamaan.
Desain busana
dan desain rumah atau bangunan itu sama-sama harus memiliki konsep atau tema.
Contohnya, kalau membuat rumah desainnya harus jelas, apakah mau desain rumah
mediterania, kolonial, modern, dan sebagainya. Karena, masing-masing bentuk
rumah itu memiliki batasan yang jelas. Demikian pula dengan desain busana, juga
harus bertema, tidak boleh sembarangan. Salah satu contoh, ketika Lia mengikuti
Indonesia Fashion Week (IFW) tahun 2015. Saat itu ia mengusung konsep yang
inspirasinya diambil dari rumah gadang.
Ada satu momen
yang membuat Lia betul-betul mantap menekuni dunia desainer. Pada tahun 2006,
salah satu majalah Islami yang terbit di Jakarta mengadakan lomba rancang
busana muslim. Lia mencoba mengikuti lomba tersebut. Saat itu ia mengangkat
tema suku Dayak sebagai inspirasi desainnya. Ternyata, tanpa diduga karyanya
itu berhasil keluar sebagai juara pertama. Saat itu hadiahnya berangkat umrah.
Lia pun senang sekali. Belum pernah mengikuti lomba, tapi sekali ikut langsung
mendapat apresiasi begitu tinggi. Dari sanalah ia semakin mantap terjun ke
dunia fashion. Apalagi, suaminya,
Ahmad Afif, sangat mendukung. Dengan kemenangan itu, awak media di Jakarta
lantas mengangkatnya menjadi bahan berita. Saat itulah namanya di dunia mode
mulai dikenal masyarakat.
Sebenarnya, di
awal kariernya Lia mendesain busana umum, bukan khusus busana muslim. Kalau pun
ada busana muslim, biasanya desainnya bercampur dengan bordiran. Tetapi setelah
keluar sebagai juara, ia memang langsung menapakkan diri ke busana muslim.
Alasannya, yang pertama, baginya tentu itu sebagai bentuk syiar Islam. Kedua,
ia ingin menunjukkan bahwa busana muslim itu tidak kuno atau itu-itu saja. Busana
muslim bisa didesain menarik, modis, dan cantik juga. Lia ingin membuat orang
yang semula tidak berbusana muslim, begitu melihat busana muslim yang ternyata
juga bisa modis, akhirnya memutuskan untuk berbusana secara Islami.
Begitu terjun
di dunia mode, Lia sudah mulai memproduksi secara massal, meski skalanya masih
kecil. Baju-baju itu terutama untuk ia pakai sendiri dan untuk keluarga. Jadi,
setelah membuat pola, kemudian ia mencari tukang jahit dan sebagainya. Tetapi,
begitu mendapat sambutan positif dari masyarakat, ia kemudian mengambil seorang
penjahit di rumah. Memang, pada awalnya, ia dan teman-teman dekatnya masuk ke
komunitas arisan para ibu. Beruntung, di sana responsnya sangat bagus. Oleh
karenanya, Lia menilai bahwa arisan para ibu itu sangat bagus asal kita bisa
memanfaatkannya dengan baik. Saat ini ketika usahanya sudah semakin besar,
sudah ada belasan pekerja yang tinggal di rumahnya.
Bila diamati,
ciri khas karya-karya Lia begitu mencolok dan saling bertabrakan warna. Menurut
Lia, itu adalah cerminan dari karakter pribadinya yang memang meledak-ledak.
Selain itu, desain baju yang ia buat secara tidak langsung akan ia pakai juga.
Karena kulitnya cenderung gelap, maka bila diberi warna soft pasti akan terlihat kusam. Tapi kalau ia memakai warna-warna
yang tegas akan terlihat lebih segar. Selain itu, tema desainnya juga sering
terinspirasi pada bangunan unik. Mungkin karena dasarnya seorang arsitek,
sehingga ia begitu menyukai bangunan-bangunan yang punya nilai sejarah dan
kebudayaan tinggi.
Misalnya,
ketika ia mengikuti event ITW, JFW, IFF yang diadakan di Jakarta, ia mengambil
tema detail Simavera. Ssimavera adalah hiasan pada pilar bangunan di Mesir. Di
mata Lia, lekuk-lekuk Simavera itu indah sekali dan menjadi inspirasi. Untuk
topi atau penutup kepala, ia terinspirasi penutup kepala yang digunakan Ratu
Nefertiti (Ratu Keabadian Mesir). Demikian pula rumah Gadang Sumatera Barat
yang memiliki garis vertikal dan horizontal yang tegas dan indah. Itu yang
menjadi inspirasi busananya pada event JFW 2015. Dan bahan yang bisa mendukung
tema yang ia usung adalah tenun NTT, di mana garis-garis yang memisahkan satu
warna dengan warna lain terlihat tegas. Sementara pada event JFF, desain busana
yang ia tampilkan bertema invinite phoenix. Di situ ia terinspirasi oleh suku
Karen di Thailand. Para wanita suku Karen itu mengenakan gelang di lehernya.
Filosofinya, semakin panjang gelang, akan semakin cantik pula wanita yang
memakai.
Bila suku
Karen memakai gelang berbahan logam, tentu tidak mungkin bagi Lia menghadirkan
hal yang sama. Jadi ia mengakalinya dengan selang radiator mobil. Karena kalau
menggunakan selang dari bahan plastik tidak bisa dicat keemasan sehingga memang
harus dicari selang berbahan karet. Untuk 15 orang model yang memperagakan
karyanya, Lia membutuhkan selang radiator sepanjang 200 meter. Gelang dari
bahan selang itu dibuat oleh suaminya. Dengan desain yang ia ambil dari etnik
daerah seperti inilah, Lia tidak merasa menjiplak karya orang lain.
Untuk bahan,
karya Lia mayoritas menggunakan tenun. Ia memang penyuka tenun. Menurutnya,
tenun dari NTT, Lombok, Bima itu sangat bagus sekali. Di ketiga daerah tersebut
ia sudah punya pelanggan tetap yang memang secara kualitas sangat bagus. Dengan
menggunakan tenun kita pun bisa sekaligus membantu meningkatkan penghasilan
mereka. Jadi, apa pun temanya, Lia memang lebih banyak menyertakan tenun
sebagai salah satu bagian desainnya. Untuk aksesori, ia buat sesukanya.
Bahannya pun macam-macam. Bila saat sedang jalan ia melihat ada lempengan
kuningan yang kira-kira dianggap bisa dikombinasi dengan manik-manik atau bahan
lain, pasti ia beli.
Lia pun akan
terus berusaha menghasilkan karya-karya baru terbaik. Ada satu hal yang
membuatnya beruntung, yakni ketika ia bergabung dengan Asosiasi Perancang
Pengusaha Mode Indonesia (APPMI). Di APPMI ini setiap tahun ia bisa mengikuti event-event nasional, mulai Indonesia
Fashion Week, Jakarta Fashion Week, Jakarta Fashion & Food Festival,
Surabaya Fashion Periode, Royal Plaza, Islamic Fashion Festival. Untuk satu event tersebut paling tidak ia harus
mengeluarkan 10 sampai 15 model busana. Jadi, bila dalam setahun ia mengikuti 5
event besar, berarti ia harus
mengeluarkan 50 sampai 75 model busana baru. Sebaliknya, kalau ia tidak
mengikuti event tersebut, ia akan
berkutat di model yang itu-itu saja. Begitu ada satu karyanya yang bagus dan
disukai orang, ia pasti akan melakukan duplikasi. Sementara kalau mengikuti event, ia seperti dipaksa membuat
sesuatu yang baru.
Di luar
urusannya dengan dunia mode, Lia juga masih kerap melakukan aktivitas yang
lain. Kadang ia suka diajak touring
oleh suaminya dengan motor gede (moge). Walau capek, tapi baginya itu
menyenangkan. Kadang tujuannya bisa sampai Jawa Barat. Dari keempat anaknya,
Rere, Rara, Ruri, dan Reno, sepertinya hanya Rara yang punya bakat di bidang
mode. Karena itulah, saat ini Lia mulai mengkaderkan anaknya dengan diikuti
kursus menggambar. Ke depan, Lia akan terus mengembangkan usahanya ini.
Sekarang, selain di Surabaya, busananya juga sudah ada di butik di Jakarta dan Makassar.
0 komentar:
Posting Komentar
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.