Selasa, 29 September 2015




Selain dikenal sebagai Kota Kretek, Kudus juga tenar sebagai salah satu sentra bordir. Geliat kreasi guratan benang di atas kain untuk mempermanis busana itu, begitu terasa ketika memasuki Desa Padurenan, Kecamatan Gebok. Di sana, ratusan perempuan pengrajin menciptakan kreasi bordir, yang hasilnya tersebar ke berbagai kota. Salah satu pengrajin yang berhasil adalah Hj. Sri Murniah. Menurut ibu enam anak yang hanya tamat SD ini, ia sudah menekuni bordir sejak masih remaja, atau saat usianya belum genap 17 tahun. Kala itu ia bekerja pada seorang pengrajin di desanya. Sambil bekerja, ia banyak belajar mulai dari bagaimana membuat teknik bordir sampai membuat beragam pola dan motif. Lama-kelamaan, Sri pun berniat untuk mengelola usaha sendiri. Awalnya, ia mengambil 2-3 kain lalu membuat bordir sendiri. Kemudian, hasil karyanya itu ia titipkan pada orang yang berjualan di pasar. Ternyata laku, dan membuatnya tambah semangat.

Keinginan membuka usaha sendiri semakin kuat setelah pemilik usaha Fadillah Embroidery ini menikah dengan Maskan, seorang penjahit. Dibantu seorang karyawan, Sri membuat bordir yang diaplikasikan ke kerudung. Hasilnya, masih ia titipkan ke orang lain. Setelah mempunyai satu anak, barulah Sri ingin memasarkan sendiri kerudung karyanya. Tak kenal lelah, Sri berkeliling ke beberapa pasar di sekitar Kudus, bahkan sampai ke luar kota seperti Demak dan Jepara. Ia tak risau meski semula karyanya kerap dilecehkan pedagang pasar. Ia berkeyakinan, bahwa konsumen lah yang menjadi juri paling adil. Kalau karyanya memang bagus, pasti akan laku. Kenyataannya memang begitu, kerudung bordir buatannya termasuk laris.


Pembeli senang dengan bordir bercorak motif bunga dengan jalinan benang yang rapat itu. Istilahnya, ciri bordir yang dihasilkan Sri itu disebut mentes. Belakangan, malah banyak pedagang pasar yang ingin menjualkan bordir karya Sri. Agar tak mengecewakan konsumen, Sri terus memperbaiki kualitas karyanya. Ia juga tak letih menawarkan karyanya ke berbagai kota lain. Secara berkala, ia memasok kerudung bordir ke pasar-pasar, salah satunya ke Pasar Kliwon, Kudus. Tak hanya kerudung, ia juga membuat corak bordir di kebaya. Sri begitu menikmati saat membuat beragam corak baru. Ia menimba ilmu dengan membaca majalah dan sering pula dapat masukan dari pembelinya.

Soal mode, Sri memang tak mau ketinggalan. Inspirasi ide bisa muncul dengan mengamati corak bordir karya pengrajin lain. Tapi, ia tidak menjiplak mentah-mentah. Ia hanya mengambil idenya, kemudian mengembangkan dengan gaya sendiri. Termasuk pula, ia mengunjungi sentral bordir di Tasikmalaya. Dari hasil pengamatannya, bordir Kudus memang punya ciri khas tersendiri. Berkat ketekunannya, usaha Sri pun makin berkembang. Area jualannya semakin luas. Karyanya berhasil masuk ke pasar Solo. Ia mengaku, Solo termasuk pasar bordirnya yang terbesar. Karyanya banyak dijual di toko-toko Solo, termasuk di Pasar Klewer. Memang ada sedikit imbasnya ketika pasar itu terbakar. Namun, sekarang sudah mulai pulih lagi. Sampai sekarang, setidaknya seminggu sekali ia mengantarkan dagangan ke Solo.

Kreasi bordir Sri makin bertambah. Ia juga membuat baju koko, gamis, mukena, dan beragam produk lain. Dibantu 30 karyawan yang sebagian bekerja di rumah masing-masing, ia terus berkreasi. Untuk memenuhi kebutuhan pasar, Sri tak hanya membuat karya dengan mesin jahit biasa yang oleh pengrajin setempat disebut bordir icik. Ia juga melangkah ke bordir komputer. Jejaknya makin mantap ketika tahun 1995 mulai membuka show room di rumahnya yang termasuk megah di desanya. Mulai dari pejabat daerah sampai desainer kenamaan Jakarta pernah singgah di rumahnya. Sri juga merasa bahagia, kini makin banyak warga desanya yang berkecimpung di industri bordir.


Sri mengaku untuk mempromosikan usahanya, ia kerap mengikuti pameran. Salah satunya pameran di Semarang. Ia membuat kebaya bordir untuk berbagai kalangan, dengan harga jual mulai Rp 90.000 sampai Rp 400.000. Kebaya bordir buatannya ini pun termasuk laris. Selain itu, usaha Sri juga kerap menjadi tempat magang siswa SMK. Ia memang terbuka menerima siapa saja yang mau belajar di tempatnya. Ada pula mahasiswa yang membuat skripsi dengan meneliti usahanya. Sri mengaku, bordir telah membuat hidupnya sejahtera. Memulai usaha bersama suami dari modal dengkul, kini ia berhasil membangun rumah, menunaikan ibadah haji, dan menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang tinggi. Sekarang, anak-anaknya juga sudah mulai ikut meneruskan usahanya.

Selain Sri, ada pula Amirawati, yang juga memiliki usaha bordir di Desa Padurenan, Kudus. Di rumahnya, ibu dua anak ini membuka toko bordir yang belum diberi nama. Usahanya memang tidak sebesar Fadillah Embroidery. Meski begitu, dagangannya termasuk lengkap. Mulai dari kerudung, kebaya, baju koko, dan mukena. Sebagian ia buat sendiri, sebagiannya lagi merupakan produk karya teman pengrajin. Amirawati, yang anak seorang penjahit ini mengisakan, bordir sudah tak asing baginya. Ia mengenalnya sejak remaja. Saat itu, sambil sekolah ia nyambi kerja dengan membuat bordir di rumah.

Hapir senada dengan pengalaman Sri Murniah, Wati akhirnya juga mencoba usaha sendiri. Sambil memproduksi kerudung dan kebaya, ia menitipkan kreasinya ke pasar-pasar sejak tahun 1986. Ternyata rerspons masyarakat bagus. Sekitar tiga tahun Wati rajin berkeliling pasar. Usahanya ini sempat terhenti saat ia menikah, dan merawat anak-anaknya yang masih kecil. Ia baru kembali menekuni usahanya tahun 2003. Kembali ia memproduksi kerudung dan kebaya bordir dan membawanya ke luar kota. Sekarang produknya makin beragam. Tapi yang paling laku adalah kebaya dan jilbab. Ia menjual kebaya mulai dari harga Rp 125.000-Rp 350.000. Harganya tergantung kualitas bahan dan tingkat kerumitan bordirnya. Wati yang usahanya dibantu 7 karyawan ini juga kerap mengikuti pameran.

Berkat mengikuti pameran itu pula, kebaya karyanya dikenal sampai luar kota. Uniknya, kebanyakan memang pelanggannya dari luar kota. Warga sekitar justru jarang yang berbelanja ke tokonya. Dalam sebulan, produknya bisa laku ratusan item. Hasilnya cukup lumayan untuk keperluan hidup sehari-hari. Penjualan akan semakin ramai bila menjelang Lebaran, karena saat itu banyak yang mencari kerudung. Dan untuk memenuhi permintaan pasar itu,  ia dan karyawannya pun harus bekerja lembur, bahkan sudah mulai mencicil membuat kerudung dan kebaya sejak sebelum bulan puasa.


Bordir Desa Padurenan, Kudus pun ternyata tak hanya milik kaum perempuan saja. Prospek usaha yang sedemikian menjanjikan ini, juga telah menarik minat Izan An Nimi untuk turut menekuninya. Izan termasuk generasi muda yang menekuni bordir. Setelah meraih gelar sarjana pendidikan di tahun 2011, Izan mulai menekuni usahanya. Berbeda dengan pengrajin lain, ia lebih fokus ke usaha bordir komputer. Desainnya dibuat di komputer dan pengerjaan sepenuhnya juga menggunakan mesin. Hanya perlu 1-2 orang saja untuk mengoperasionalkan mesin. Pengerjaannya memang jauh lebih cepat. Satu mesin bisa setara dengan 40 pengrajin yang membuat dengan mesin biasa. Tapi, tentu hasilnya beda. Izan menggunakan mesin memang untuk mengejar target produksi. Sebagai anak muda yang melek teknologi, untuk memasarkan produknya, Izan memanfaatkan media sosial, termasuk pula membuat website. Hasilnya, ia kerap mendapat order dari luar kota. Secara rutin ia menerima pesanan, bahkan sampai Sumatera, Kalimantan, Papua, dan tentu saja Jawa-Bali.

Salah satu andalan Izan adalah membuat bordir untuk logo. Ia menerima pesanan dari berbagai dinas, termasuk sekolah-sekolah. Belakangan, memang lagi tren logo seragam sekolah yang dibordir. Selain itu, Izan juga membuat beragam produk lainnya seperti kerudung dan mukena. Ia mengaku omzet usahanya bisa mencapai Rp 30 juta per bulan.  Izan yang orangtuanya petani ini mengatakan, bordir memang sudah menjadi nafas bagi desanya. Banyak warga yang hidup dari bordir. Bayangkan saja, saat ini ada 117 pengusaha UKM di desanya yang bergabung dalam Koperasi Padurenan Jaya. Itu pun belum mencakup semua pengrajin yang ada, karena bila ditotalkan seluruhnya, bisa ada 200-an pengrajin. Di koperasi itu, Izan termasuk salah satu pengurusnya. Selain menghidupi warga desanya, rezeki bordir pun juga ikut merembet ke desa-desa tetangga. Banyak karyawan usaha bordir yang berasal dari desa tetangga. Biasanya, mereka mengerjakan di rumah masing-masing.


Izan pun yakin, usaha bordir di desanya ini tidak ada matinya. Penjualan tidak pernah surut. Dari tahun ke tahun malah meningkat. Salah satu strategi yang dilakukan adalah dengan mengikuti pameran. Saat mengikuti pameran itu produk pasti laris. Ia mencontohkan, saat mengikuti pameran selama lima hari di Semarang, ia bisa mengantongi Rp 25 juta. Baik Izan, Sri Murniah, Amirawati dan pengrajin lain di desa Padurenan, berkeyakinan bila bordir desanya akan terus berkembang sampai jauh, menembus ke kota-kota lain. Kini Desa Padurenan tengah dirintis menjadi desa wisata berkat binaan dari Bank Indonesia. Di kantor Koperasi Padurenan Jaya, nampak maket perencanaan menuju desa wisata itu, yang diharapkan bisa benar-benar terlaksana.

0 komentar:

Posting Komentar