DEYANTORO, Kisah Sukses Warga Negara Indonesia Di Taiwan.

Berkat kejeliannya menangkap peluang usaha di sekelilingnya, pria kelahiran Surabaya, 4 Desember 1976 ini meraih sukses di negeri seberang. Selain terus mengembangkan usahanya, ayah dua anak yang kerap disapa Dede ini juga menekuni profesi lain yang terus berkembang.

Perjalanan usaha Dede dimulai setelah lulus kuliah S1. Ketika itu ia memutuskan untuk hijrah ke Taiwan, tepatnya pada 29 Agustus 2000 untuk menempuh pendidikan bahasa Mandarin pada Mandarin Training Centre-National Taiwan Normal University, Taipei City. Untuk bisa survive selama tinggal di sana Dede juga bekerja part time, agar tidak selalu mengandalkan bantuan finansial keluarga. Beruntung karena telah membekali diri dengan les Bahasa Mandarin di Surabaya selama kurang lebih setahun, maka di sana ia tak begitu menemui kendala yang berarti dalam hal percakapan Mandarin yang sifatnya basic. Ditambah kemampuan bahasa Inggris yang lumayan, maka tidak terlalu sulit baginya untuk beradaptasi selama tinggal di Taipei. Yang dirasakannya ketika awal-awal tiba di sana justru perasaan gembira karena bisa terlibat langsung dalam pergaulan internasional lintas budaya.

Jumlah Warga Negara Indonesia di Taiwan sendiri cukup banyak, hampir 300 ribu jiwa. Namun sayangnya, di sana untuk mendapat produk-produk asal Indonesia itu masih cukup sulit dan tidak ada di setiap kota. Karena lahir dan besar di Indonesia, tentu saja membuat para WNI yang tinggal di sana masih sering merasa kangen dengan makanan-makanan yang biasa ditemui di Indonesia. Hampir setiap akhir pekan, Dede dan ribuan WNI lain beramai-ramai menuju kota Taoyuan menggunakan kereta api untuk mendapatkan beragam produk asal Indonesia. Di sinilah Dede menangkap peluang bisnis. Ia ingin membuka toko sendiri yang menjual produk Indonesia. Lalu bersama seorang kenalannya yang asal Taiwan, Mr Lai, Dede mencoba mewujudkan idenya itu. Untuk modal ia terpaksa meminta dukungan finansial dari keluarga. Sementara Mr. Lai yang mengurus semua perizinan usaha dan sebagainya. Akhirnya keluarlah visa bisnis setelah menunggu kurang lebih 3 bulan.

Tanggal 16 Juni 2003, Dede mulai membuka usaha tokonya yang diberi nama Indojaya di lantai 2 Stasiun Kereta Taipei. Bisa dibilang, itu adalah toko Indonesia pertama di Taipei. Maka saat tokonya baru dibuka, langsung diserbu pembeli. Sebelumnya, Dede telah melakukan promosi dengan cara menyebarkan brosur di stasiun dan masjid yang ada di sekitar Taipei. Ia juga menyebarkan brosur dengan cara mengikuti truk sampah yang keliling Taipei. Ia berpikir, ada banyak teman-teman TKI yang bekerja di rumah tangga dan hanya keluar rumah pada jam-jam tertentu. Salah satunya saat membuang sampah. Jadi, ketika truk sampah itu lewat, pasti akan ada teman-teman TKI yang datang untuk membuang sampah. Namun sayangnya, ketika usahanya itu telah berjalan baik, Dede terpaksa harus menutup toko itu. Alasannya, karena beberapa tahun kemudian semakin banyak orang Indonesia yang membuka toko serupa, dan persaingannya semakin sengit. Akibatnya, margin keuntungan pun semakin tipis. Maka, Dede pun memutuskan beralih ke bidang usaha lain.

Ketika itu ia memilih membuat majalah, karena merasa lebih menjanjikan dari segi profit. Padahal awalnya, Dede mengaku termasuk benci dengan yang namanya usaha di bidang jurnalistik. Saat kuliat S2 di Taipei, seorang teman menyampaikan pepatah yang mengatakan, “bila kamu ingin mencelakai sahabatmu, suruhlah dia membuat usaha atau bekerja di bidang media massa.” Karena bekerja di bidang jurnalistik, relatif tak mengenal waktu dan sangat melelahkan. Dede pun waktu itu menyetujui pepatah tersebut. Tapi di lain sisi, ada sahabatnya yang bernama Samsul T, yang selalu menyarankannya untuk menggeluti usaha di bidang jurnalistik. Entah kenapa, sahabatnya itu merasa Dede sangat cocok bekerja di dunia jurnalistik. Walau awalnya sempat cuek dengan tawaran itu, tapi sahabatnya tetap tak henti-hentinya memberi nasihat dan anjuran agar ia masuk dunia jurnalistik.

Hingga suatu ketika, datang seorang pemuda Taiwan ke tokonya. Ia dan pemuda itu sempat saling ngobrol berbagai hal hingga merembet ke masalah belum adanya media massa dari dan untuk orang Indonesia di Taiwan. Padahal di sana saat itu sudah ada media massa Vietnam, Filipina, dan Thailand. Pemuda itu mengatakan, rasanya wajar tidak ada media massa Indonesia di Taiwan, karena otak masyarakat Indonesia di Taiwan itu bodoh semua. Tentu saja pernyataan itu menyakitkannya, meski dalam hati membenarkan juga. Karena ucapan itulah, ia jadi termotivasi untuk menerbitkan majalah. Ia menamakannya Majalah Indonesia Taiwan yang disingkat menjadi INTAI. INTAI adalah media massa berbahasa Indonesia pertama di Taiwan yang terbit sejak Oktober 2006.

Sebelum menerbitkan majalah, Dede sebetulnya juga sudah menerbitkan novel yang berjudul Aku Terjebak di Taipei City, pada Agustus 2006. Latar belakang munculnya buku itu pun karena ia ingin memberikan sumbangsih pada dunia sastra Indonesia dengan tema alternatif. Yakni kisah berlatar nasionalisme dari sudut pandang seorang Indonesia-Tionghoa. Novel itu diterbitkan Penerbit Ombak di Yogyakarta sebanyak 3000 buku. Tanggapan atas buku itu pun cukup bagus, karena kebetulan juga menjadi novel Indonesia pertama yang ada di Taiwan. Lalu, disusul novel berikutnya yang berjudul Nikmatnya Selingkuh Formosa (2010). Novel kedua ini berangkat dari kegelisahannya setelah melihat dan mendengar banyak cerita perselingkuhan yang terjadi, terutama yang terkait dengan masyarakat Indonesia di Taiwan. Ia mengemas novel itu dengan gaya bahasa yang ringan dan cukup banyak unsur humornya.

Karena penjualan novel kedua ini di Taiwan mencapai belasan ribu buku, Dede kemudian merencanakan untuk menuangkannya dalam sebuah film. Gayung pun bersambut. Meski harus sabar menanti beberapa tahun, akhirnya Bidar Batavia Film berminat memfilmkannya dan mengubah judulnya menjadi Diaspora Cinta di Taipei. Film ini didukung oleh aktor dan aktris professional seperti Jonathan Frizzy, Jill Gladys, dan lain-lain. Namun tentunya, dalam membuat film itu ada beberapa hambatan yang harus ia temui. Yang paling berat adalah soal perizinan syuting di Taiwan, mengingat film tersebut adalah film nasional pertama yang hampir semua syutingnya dilakukan di Taiwan. Selain itu juga ada kendala bahasa dan waktu. Selebihnya, tidak ada hambatan yang berarti sehingga proses syuting pun relatif lancar. Ditambah lokasi syuting di Jakarta dan gunung Bromo, total proses syuting memakan waktu sekitar sebulan. Film yang juga ia produseri itu telah diputar di bioskop Indonesia pada awal Juli 2014 lalu.

Keinginan untuk membuat buku sendiri muncul setelah Dede lulus MBA dari University of Detroit Mercy, Michigan State, Amerika Serikat, dan Fu Jen Catholic University, New Taipei City di bulan Mei 2006. Awalnya ia hanya ingin menuliskan kisah hidupnya dalam sebuah novel. Namun siapa sangka sekarang ia sudah berhasil menulis 3 novel. Bahkan untuk novel Nikmatnya Selingkuh Formosa sudah ada versi Mandarinnya sejak 2011. Ke depannya, Dede pun masih ingin membuat novel lagi dengan tema yang berbeda dan lebih menantang.

Untuk buku pertamanya yang bertema nasionalisme, mungkin itu dilatar belakangi oleh statusnya sebagai WNI Tionghoa. Oleh sebagian orang, WNI Tionghoa terkadang diragukan nasionalismenya. Dan setiap kali ada teman atau kenalan yang menyinggung dirinya terkait statusnya yang ‘bermata sipit’, membuat Dede makin tertantang untuk membuktikan bahwa perkiraan itu tak benar. Ketika berada di Taiwan, Dede justru merasa jiwa patriotiknya semakin terpupuk. Karena orang Taiwan maupun orang asing lain, menganggap WNI Tionghoa tetap sebagai warga negara Indonesia, tanpa melihat latar belakang perbedaan suku, agama, ras, dan sebagainya. Jadi, apa pun yang dilakukannya di Taiwan, baik itu positif dan negatif selalu dikaitkan dengan nama Indonesia. Inilah yang kemudian membuat para WNI Tionghoa di sana semakin kompak. Bahkan, ketika ia mengambil S1 di Surabaya, Dede memilih kampus Universitas Pembangunan Nasional yang banyak WNI non-Tionghoanya.

Alasannya, karena sudah sejak TK hingga SMA hampir semua temannya berasal dari etnis Tionghoa. Meski saat mendaftar di kampus itu ada penolakan dari keluarga, teman, baik yang etnis Tionghoa maupun non-Tionghoa, ia tetap nekat. Mereka khawatir ada ancaman atau diskriminasi dalam pergaulan. Tapi jusru semakin ditolak, Dede semakin tetantang untuk membuktikan bawa ia bisa eksis dalam pergaulan lintas SARA di kampus. Memang awalnya ada sedikit hambatan pada semester pertama, tapi tetap tak mematahkan semangatnya untuk tetap berbaur sebagai sesama WNI. Hasilnya, justru dirinya bisa berteman dengan semua orang. Bahkan hingga kini ia memiliki beberapa teman baik di kampus, dan bersama-sama membuat kelompok Indonesia mini dengan sebutan Pelangi.

Saat ini selain sibuk mengurusi majalah INTAI, dan rencana pembukaan kembali toko Indojaya, Dede juga ikut terjun berbisnis traveling Worldventures. Berkat dukungan dari Kantor Dagang dan Ekonomi Indoensia (KDEI) Taipei, selaku satu-satunya perwakilan Pemerintah Indonesia di Taiwan, Dede akhirnya terpilih menjadi Ketua Asosiasi Pengusaha Toko Indonesia di Taiwan (APIT) sejak 2008. Selain itu Dede juga menerima beberapa jabatan lain, seperti Bendahara Panitia Natal KDEI sejak 2011, Anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Taipei tahun 2008/2009 dan 2013/2014, Ketua Indonesia Diaspora Network (IDN), Taiwan, Januari 2013. Terakhir Dede juga ditunjuk sebagai Vice President di IDN Global untuk kawasan Asia Timur.

Berbicara mengenai kisah cintanya dengan sang istri, Dede menjelaskan bahwa istrinya adalah sepupu dari salah satu partner usahanya, yang kebetulan juga sedang belajar bahasa Mandarin di Taiwan. Mereka kemudian menikah pada tanggal 14 Desember 2007 dan kini dikaruniai 1 putri dan 1 putra. Untuk masalah pendidikan bagi anak-anaknya, Dede mencoba menerapkannya dengan hal-hal yang sederhana dulu, yakni dengan membiasakan penggunaan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi di rumah maupun dengan teman WNI di luar. Sejak dini mereka sudah diperkenalkan bahwa keluarganya adalah orang Indonesia, bukan orang Taiwan. Bahkan anak sulungnya pun juga ia ikutkan les tari pendet di KDEI Taiwan. Mereka juga senang mencoba berbagai kuliner Indonesia, serta wajib berlibur ke Indonesia minimal setahun sekali. Di waktu libur, Dede senang melakukan hobinya traveling keliling dunia. Targetnya setidaknya ada 1 negara baru yang wajib ia kunjungi tiap tahun. Menurut Dede, dengan keliling dunia, tentu ia bisa membuka wawasan agar makin bijak dalam menjalani hidup.