Mengejar passion di bidang fashion membuat Restu Anggraini menekuni bisnis busana muslim sejak lima tahun terakhir. Menurut ibu satu anak ini, rasanya seperti ada kepuasan batin ketika melihat orang lain memakai produk fashion yang ia buat. Sebelumnya Restu sempat bekerja di sebuah event management pada 2010 silam. Di sana ia bertugas mengurusi promosi produk. Bekerja di bidang kreatif itu Restu merasa enjoy. Tapi, ia bersama dua temannya yang sama-sama berhijab malah terpikir untuk berbisnis fashion untuk para perempuan muslim.
Dengan bermodal
Rp 3 juta, bertiga mereka mendesain dress,
outer, celana, rok. Jumlahnya tak
lebih dari 10 buah untuk masing-masing jenis. Tapi, ketika diunggah di akun
Facebook, responsnya sungguh di luar dugaan. Ada kepuasan batin di dirinya
manakala baju karyanya disukai. Apalagi saat itu, pebisnis busana muslim belum
banyak. Meski mengaku sulit menyatukan tiga selera fashion, tapi konsep busana muslim bergaya klasik yang mereka
perkenalkan sukses memikat kaum hawa. Bisnis sampingan ini pun dijalani dengan
suka hati, termasuk rajin mengikuti bazar di mal. Lagi-lagi meski minoritas,
produk yang dijual Restu dan dua sahabatnya laris terjual. Dari situ Restu
berpikir untuk serius menekuni bidang yang sebetulnya menjadi passion-nya ini. Ia pun merasa harus
mengambil basic ilmu desain di seolah
desain.
Periode tahun
2011-2012, produksi masih dilempar ke konveksi di Bandung. Namun, semakin
banyaknya peminat, Restu pun akhirnya memindahkan lokasi produksi ke ibukota.
Ia juga mendapat nasihat demi kelancaran usaha, jangan setengah-setengah
mengurus perizinan dan mematenkan merek dagangnya ke Dirjen HAKI. Untuk melancarkan
usahanya ini pula, ternyata Restu cukup banyak dibantu informasi soal penjahit.
Ia mendapat informasi bahwa di Pemalang dan Pekalongan banyak penjahit yang
bisa ia rekrut sebagai pegawai. Dan saat ini, urusan produksi menjadi lebih
mudah karena antara penjahit itu satu sama lain saling mengenal pula dengan
tukang pola dan lainnya. Restu yang memiliki brand RA by Restu Anggraini ini
mendapat ide untuk mendesain dari majalah, website
fashion, dan online store. Ia
menerangkan konsep busana desainnya dengan smart
casual yang cocok untuk bekerja dan sehari-hari. Selain itu ia juga
menghadirkan brand ETU yang ditujukan untuk pakaian yang lebih formal. Namun
desainnya tidak bertumpuk dan banyak renda, lantaran wanita yang berjilbab
pasti sudah memakai pakaian yang berlapis. Jadi ia ingin menghadirkan siluet
penampilan yang terlihat lebih minimalis.
Sayangnya, di
saat bersamaan, dua teman Restu yang juga menjadikan bisnis ini sampingan
terpaksa mundur. Mereka harus pindah kantor ke luar kota. Lantaran tinggal
sendiri, Restu pun semakin leluasa menampilkan karakter selera fashion-nya yang menyukai warna monokrom
yang netral dengan siluet simpel. Ia pun mulai membangun jaringan berbasis
komunitas sebagai pangsa pasarnya. Saat itu baru muncul Hijabers Community.
Restu juga mengajak beberapa brand hijab
untuk membuka toko bareng di Muse 101 FX Plaza, Sudirman, Jakarta Selatan.
Enaknya, menurut Restu, pemasaran dari mulut ke mulut jadi lebih mudah terjadi.
Dengan cara cross customer, masing-masing
brand bisa mengenalkan customer mereka pada brand lainnya.
Lainnya, ia
juga tak lupa menguatkan penjualan melalui website
dan sosial media. Terutama Instagram. Restu menilai orang Indonesia itu
senang bila memiliki personal assistant
untuk berbelanja. Sistem direct sell
ini pun langsung menuai respon. Tipikal pembeli di sini adalah banyak bertanya
di awal, setelah beli dan cocok, lalu pada pembelian selanjutnya tinggal sebut
saja karena sudah merasa nyaman. Jadi lebih ada kedekatan emosional dengan customer. Lagipula pada saat sekarang,
perempuan juga cenderung senang belanja online
karena malas bepergian di Jakarta yang macet di mana-mana. Bila belanja secara online, hari ini pesan, besok barang
sudah tiba. Meski begitu ada juga yang awalnya datang ke butik milik Restu di
bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Setelah menemukan baju yang pas dengan ukuran
badannya, baru beralih belanja di website.
Restu pun kemudian merekrut 6 pegawai untuk melayani customer yang ingin membeli baju-bajunya.
Dalam sebulan
sekitar 500 potong pakaian terjual. Menurut Restu karena rata-rata koleksinya
bisa dipadu padan, customer
seringkali membeli 1 set baju yang terpajang di butiknya. Sebagai desainer,
Restu juga mengenalkan karyanya lebih luas lagi. Salah satunya dalam
Mercedes-Benz Fashion Week Tokyo 2015, 17 Maret 2015 lalu. Ia lolos seleksi
dari sekian banyak desainer dan karyanya. Untuk mengenalkan karya desainer
Indonesia ke pasar internasional tersebut, Restu menyiapkan 1,5 bulan untuk 12
koleksi busana muslim berlabel ETU yang ia tampilkan. Tak disangka di Tokyo ia
mendapatkan respons positif untuk berkolaborasi dengan partner setempat. Koleksinya tampil di majalah mode di Jepang. Di majalah
itu ada pemotretan khusus untuk halaman fashion
spread. Lalu mereka minta diajari cara memakai fashion hijab. Selain tertarik dengan desain, Restu merasa bisa
sekaligus syiar mengenalkan busana yang menutup aurat, yang bagi warga Jepang
masih tampak asing. Pasalnya, warga di sana banyak juga yang ingin memakai
meski mereka tidak berhijab.
Siapa mengira
jika sukses yang Restu raih kini hanya bermodalkan Rp 3 juta pada 2010 silam.
Restu menganggap usaha ini awalnya hanya iseng-iseng berhadiah, tidak menyangka
akan berkembang seperti sekarang. Restu mengilustrasikan modalnya, yakni untuk
membuat 1 potong blazer, menggunakan bahan 2 meter yang harga 1 meternya Rp
25.000. Lalu ditambah dengan ongkos produksi mencakup penjahit hingga finishing Rp 65.000. Jadi total yang
dikeluarkan Rp 115.000. Dari jumlah tersebut kemudian ada margin untuk keuntungan sekian persen. Semakin massal produksinya,
harga pun bisa ditekan. Bila membuatnya di konveksi, minimal sebanyak 3 lusin. Jadi
menurut Restu, semuanya tergantung kekuatan finansial masing-masing.
Semua itu
Restu pelajari selama belajar di sekolah mode. Lambat laun ia pun semakin
percaya diri untuk lebih produktif. Baginya yang terpenting adalah usahanya
berjalan dulu. Tidak perlu takut atau dipusingkan dengan keuntungan. Toh, ia
pun memulai usahanya tanpa toko. Dan kini Restu juga tidak takut bersaing
menghadapi kompetitor sejenis. Justru Restu menganggapnya sebagai inspirasi. Ia
yakin rezeki sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Prinsipnya mengalir saja dan
jangan pernah berhenti dari dunia fashion.
Berhenti sebentar aja, bisa banyak sekali yang tertinggal. Jadi, terus jalani
saja karena pasti ada peluang dan tetap bisa berkreasi untuk mengatasi
hambatan. Restu bersyukur mendapat support
100 persen dari suami dan orangtuanya. Ia percaya, ketika bakat itu bisa
menghasilkan sesuatu, pasti akan lebih berarti untuk dijalani.
Restu pun
selalu bersemangat karena di belakangnya banyak karyawan yang bergantung
padanya. Dan ke depan ia ingin target 1000 potong pakaian per bulan terus
berjalan lancar, serta brand yang ia
miliki bisa berkembang seperti retail
brand luar negeri yang masuk ke Indonesia, semisal Zara. Strategi yang
dilakukan brand luar tersebut menjadi
tantangan buat Resti untuk dapat melakukannya juga. Kini Resti juga ber-partner
dengan e-commerce Zalora untuk
koleksi khususnya dan terlibat project
dengan department store Galleries
Lafayette di Pacific Place, Jakarta. Di sana deadline-nya sangat luar biasa, tapi begitu Restu dapat
menyelesaikan semuanya perasaannya sangat lega. Dan ia pun kembali tertantang dan
terpacu untuk membuat project berikutnya.
Dari usaha yang dilakukan Restu ini kita jadi bisa menarik kesimpulan, bahwa
dari satu langkah kecil pun akan bisa menjadi langkah yang besar dan berjalan maju.
Apalagi saat ini zaman serba digital, sangat mudah dalam memasarkan produk yang
kita hasilkan.
0 komentar:
Posting Komentar