Minggu, 05 Juli 2015




Mengejar passion di bidang fashion membuat Restu Anggraini menekuni bisnis busana muslim sejak lima tahun terakhir. Menurut ibu satu anak ini, rasanya seperti ada kepuasan batin ketika melihat orang lain memakai produk fashion yang ia buat. Sebelumnya Restu sempat bekerja di sebuah event management pada 2010 silam. Di sana ia bertugas mengurusi promosi produk. Bekerja di bidang kreatif itu Restu merasa enjoy. Tapi, ia bersama dua temannya yang sama-sama berhijab malah terpikir untuk berbisnis fashion untuk para perempuan muslim.

Dengan bermodal Rp 3 juta, bertiga mereka mendesain dress, outer, celana, rok. Jumlahnya tak lebih dari 10 buah untuk masing-masing jenis. Tapi, ketika diunggah di akun Facebook, responsnya sungguh di luar dugaan. Ada kepuasan batin di dirinya manakala baju karyanya disukai. Apalagi saat itu, pebisnis busana muslim belum banyak. Meski mengaku sulit menyatukan tiga selera fashion, tapi konsep busana muslim bergaya klasik yang mereka perkenalkan sukses memikat kaum hawa. Bisnis sampingan ini pun dijalani dengan suka hati, termasuk rajin mengikuti bazar di mal. Lagi-lagi meski minoritas, produk yang dijual Restu dan dua sahabatnya laris terjual. Dari situ Restu berpikir untuk serius menekuni bidang yang sebetulnya menjadi passion-nya ini. Ia pun merasa harus mengambil basic ilmu desain di seolah desain.


Periode tahun 2011-2012, produksi masih dilempar ke konveksi di Bandung. Namun, semakin banyaknya peminat, Restu pun akhirnya memindahkan lokasi produksi ke ibukota. Ia juga mendapat nasihat demi kelancaran usaha, jangan setengah-setengah mengurus perizinan dan mematenkan merek dagangnya ke Dirjen HAKI. Untuk melancarkan usahanya ini pula, ternyata Restu cukup banyak dibantu informasi soal penjahit. Ia mendapat informasi bahwa di Pemalang dan Pekalongan banyak penjahit yang bisa ia rekrut sebagai pegawai. Dan saat ini, urusan produksi menjadi lebih mudah karena antara penjahit itu satu sama lain saling mengenal pula dengan tukang pola dan lainnya. Restu yang memiliki brand RA by Restu Anggraini ini mendapat ide untuk mendesain dari majalah, website fashion, dan online store. Ia menerangkan konsep busana desainnya dengan smart casual yang cocok untuk bekerja dan sehari-hari. Selain itu ia juga menghadirkan brand ETU yang ditujukan untuk pakaian yang lebih formal. Namun desainnya tidak bertumpuk dan banyak renda, lantaran wanita yang berjilbab pasti sudah memakai pakaian yang berlapis. Jadi ia ingin menghadirkan siluet penampilan yang terlihat lebih minimalis.

Sayangnya, di saat bersamaan, dua teman Restu yang juga menjadikan bisnis ini sampingan terpaksa mundur. Mereka harus pindah kantor ke luar kota. Lantaran tinggal sendiri, Restu pun semakin leluasa menampilkan karakter selera fashion-nya yang menyukai warna monokrom yang netral dengan siluet simpel. Ia pun mulai membangun jaringan berbasis komunitas sebagai pangsa pasarnya. Saat itu baru muncul Hijabers Community. Restu juga mengajak beberapa brand hijab untuk membuka toko bareng di Muse 101 FX Plaza, Sudirman, Jakarta Selatan. Enaknya, menurut Restu, pemasaran dari mulut ke mulut jadi lebih mudah terjadi. Dengan cara cross customer, masing-masing brand bisa mengenalkan customer mereka pada brand lainnya.


Lainnya, ia juga tak lupa menguatkan penjualan melalui website dan sosial media. Terutama Instagram. Restu menilai orang Indonesia itu senang bila memiliki personal assistant untuk berbelanja. Sistem direct sell ini pun langsung menuai respon. Tipikal pembeli di sini adalah banyak bertanya di awal, setelah beli dan cocok, lalu pada pembelian selanjutnya tinggal sebut saja karena sudah merasa nyaman. Jadi lebih ada kedekatan emosional dengan customer. Lagipula pada saat sekarang, perempuan juga cenderung senang belanja online karena malas bepergian di Jakarta yang macet di mana-mana. Bila belanja secara online, hari ini pesan, besok barang sudah tiba. Meski begitu ada juga yang awalnya datang ke butik milik Restu di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Setelah menemukan baju yang pas dengan ukuran badannya, baru beralih belanja di website. Restu pun kemudian merekrut 6 pegawai untuk melayani customer yang ingin membeli baju-bajunya.

Dalam sebulan sekitar 500 potong pakaian terjual. Menurut Restu karena rata-rata koleksinya bisa dipadu padan, customer seringkali membeli 1 set baju yang terpajang di butiknya. Sebagai desainer, Restu juga mengenalkan karyanya lebih luas lagi. Salah satunya dalam Mercedes-Benz Fashion Week Tokyo 2015, 17 Maret 2015 lalu. Ia lolos seleksi dari sekian banyak desainer dan karyanya. Untuk mengenalkan karya desainer Indonesia ke pasar internasional tersebut, Restu menyiapkan 1,5 bulan untuk 12 koleksi busana muslim berlabel ETU yang ia tampilkan. Tak disangka di Tokyo ia mendapatkan respons positif untuk berkolaborasi dengan partner setempat. Koleksinya tampil di majalah mode di Jepang. Di majalah itu ada pemotretan khusus untuk halaman fashion spread. Lalu mereka minta diajari cara memakai fashion hijab. Selain tertarik dengan desain, Restu merasa bisa sekaligus syiar mengenalkan busana yang menutup aurat, yang bagi warga Jepang masih tampak asing. Pasalnya, warga di sana banyak juga yang ingin memakai meski mereka tidak berhijab.


Siapa mengira jika sukses yang Restu raih kini hanya bermodalkan Rp 3 juta pada 2010 silam. Restu menganggap usaha ini awalnya hanya iseng-iseng berhadiah, tidak menyangka akan berkembang seperti sekarang. Restu mengilustrasikan modalnya, yakni untuk membuat 1 potong blazer, menggunakan bahan 2 meter yang harga 1 meternya Rp 25.000. Lalu ditambah dengan ongkos produksi mencakup penjahit hingga finishing Rp 65.000. Jadi total yang dikeluarkan Rp 115.000. Dari jumlah tersebut kemudian ada margin untuk keuntungan sekian persen. Semakin massal produksinya, harga pun bisa ditekan. Bila membuatnya di konveksi, minimal sebanyak 3 lusin. Jadi menurut Restu, semuanya tergantung kekuatan finansial masing-masing.

Semua itu Restu pelajari selama belajar di sekolah mode. Lambat laun ia pun semakin percaya diri untuk lebih produktif. Baginya yang terpenting adalah usahanya berjalan dulu. Tidak perlu takut atau dipusingkan dengan keuntungan. Toh, ia pun memulai usahanya tanpa toko. Dan kini Restu juga tidak takut bersaing menghadapi kompetitor sejenis. Justru Restu menganggapnya sebagai inspirasi. Ia yakin rezeki sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Prinsipnya mengalir saja dan jangan pernah berhenti dari dunia fashion. Berhenti sebentar aja, bisa banyak sekali yang tertinggal. Jadi, terus jalani saja karena pasti ada peluang dan tetap bisa berkreasi untuk mengatasi hambatan. Restu bersyukur mendapat support 100 persen dari suami dan orangtuanya. Ia percaya, ketika bakat itu bisa menghasilkan sesuatu, pasti akan lebih berarti untuk dijalani.

Restu pun selalu bersemangat karena di belakangnya banyak karyawan yang bergantung padanya. Dan ke depan ia ingin target 1000 potong pakaian per bulan terus berjalan lancar, serta brand yang ia miliki bisa berkembang seperti retail brand luar negeri yang masuk ke Indonesia, semisal Zara. Strategi yang dilakukan brand luar tersebut menjadi tantangan buat Resti untuk dapat melakukannya juga. Kini Resti juga ber-partner dengan e-commerce Zalora untuk koleksi khususnya dan terlibat project dengan department store Galleries Lafayette di Pacific Place, Jakarta. Di sana deadline-nya sangat luar biasa, tapi begitu Restu dapat menyelesaikan semuanya perasaannya sangat lega. Dan ia pun kembali tertantang dan terpacu untuk membuat project berikutnya. Dari usaha yang dilakukan Restu ini kita jadi bisa menarik kesimpulan, bahwa dari satu langkah kecil pun akan bisa menjadi langkah yang besar dan berjalan maju. Apalagi saat ini zaman serba digital, sangat mudah dalam memasarkan produk yang kita hasilkan.

0 komentar:

Posting Komentar