Yogyakarta menyimpan banyak tempat bersejarah yang ramai di kunjungi pelancong, seperti keraton. Selain itu, sebagai kota budaya, wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) juga menyimpan kekayaan kuliner yang berkaitan dengan tradisi masyarakat. Salah satunya terlihat di Desa Guwosari, Pajangan, Bantul, yang hingga kini masih melestarikan kenduri pada setiap malam ke 21 di bulan Ramadhan. Menurut Supriyadi, salah satu warga desa, tradisi ini sudah ratusan tahun dilakukan secara turun temurun. Tradisi kenduri ini membagikan berkat nasi gurih (warga setempat menyebutnya nasi wuduk) plus suwiran lauk ingkung ayam areh yang terbuat dari santan kelapa.
Pada malam
selikuran (selikur artinya 21), biasanya warga desa berkumpul di rumah Pak Dukuh
(kepala desa). Masing-masing membawa berkat nasi dari rumah. Sementara itu Pak
Dukuh akan membuat nasi wuduk atau nasi gurih dengan lauk ingkung. Setelah didoakan
oleh pemimpin agama, nasi wuduk kemudian dibagikan sedikit-sedikit kepada
warga, sementara nasi yang dibawa dari rumah dibawa pulang kembali. Hari-hari
bersejarah yang hanya terjadi setahun sekali itu selalu mengingatkan Supriyadi
kepada almarhumah ibundanya, Ny. Suratinah, yang seorang guru madrasah. Sewaktu
ia kecil, ibunya selalu membuat nasi wuduk dan ingkung ayam saat berziarah ke
makam.
Ingkung ayam dengan rasa istimewa itu juga selalu mewarnai ritual hari-hari bersejarah seseorang mulai dari kelahiran hingga pernikahan dalam budaya Jawa. Namun, seiring perkembangan zaman, tradisi membuat kenduri plus ingkung semakin ditinggalkan. Orang lebih suka membagi kue atau sembako yang lebih praktis. Menurut Supriyadi, hal ini lambat laun bisa menggerus tradisi membagi bancakan/kenduri. Dari sinilah, terbetik di benak ayah 3 anak ini untuk mengangkat kembali kuliner tradisional ingkung ayam. Dengan niat ingin melestarikan kuliner ritual bersejarah itu, Supriyadi yang sebelumnya sukses berbisnis ikan wader (semacam baby fish) membuka rumah makan ingkung ayam kampung di rumahnya. Ia membuka rumah makan itu pada Juni 2013, setelah berhasil keluar sebagai pelaku UMKM terbaik ke-2 tingkat nasional.
Sepulang dari mengikuti pameran produk wader di Thailand dan Malaysia, ia memang sudah mantap untuk membuka usaha rumah makan di rumahnya sendiri. Ia memakai nama rumah makan Mbak Cempluk, yang merupakan nama panggilan ibunya sewaktu kecil. Sebelumnya ia punya lima kandidat nama rumah makan, tetapi semuanya terdengar kurang familiar di telinga. Hingga kemudian ia mendapatkan nama kecil ibunya dari kakak perempuan si ibu. Lokasi rumah Supriyadi sebenarnya tidak begitu strategis. Masuk ke dalam dusun dan di pinggir sawah. Supriyadi saat itu memang tidak sanggup menyewa tempat di pinggir jalan raya yang amat mahal. Tapi siapa sangka, lokasi yang tergolong di ‘pedalaman’ itu tak menyurutkan minat pembeli memburu ingkung ayam Mbah Cempluk. Setiap hari, khususnya weekend dan hari libur nasional, tamu yang datang tak pernah berhenti, hingga jalan pedesaan dekat rumahnya dipenuhi mobil berderet.
Tak hanya makan ditempat, pembeli pun bisa memesan untuk dibawa pulang. Perkantoran dan masyarakat yang hendak mengadakan acara syukuran sering memesan ingkung kepadanya. Lantas, apa kuncinya hingga ingkung ayam kampungnya diburu ? Supriyadi selalu mengutamakan rasa dan pelayanan yang baik. Soal rasa, ia memang tidak main-main. Sebelum rumah makannya dibuka, Supriyadi mendatangkan tiga koki khusus pembuat ingkung tradisional yang biasa memasak ingkung di desanya. Dari ketiga koki itu, ia hanya memilih satu. Namun dua yang lainnya tetap ia pekerjakan. Untuk pelayanan, Supriyadi belajar dari berbagai rumah makan yang pernah ia datangi. Ia mengambil yang positifnya saja perihal bagaimana melayani tamu. Ia sama sekali tidak memakai konsultan.
Untuk manajemen usaha, pria lulusan SMA ini mempekerjakan minimal 15 orang dengan keahlian masing-masing. Ada satu karyawan khusus penerima tamu yang akan mencatat menu yang diinginkan tamu. Kunci untuk mendatangkan pembeli dimulai dengan mengundang tamu-tamu dari perkantoran dan koleganya. Satu undangan berlaku lima orang. Setelah pembukaan, ia memberi diskon 50 persen. Dari sanalah promosi kemudian berjalan lewat mulut ke mulut. Ditambah lagi, Supriyadi juga membuat website. Dengan bermodal Rp 60 juta, kini per hari Supriyadi bisa menjual 50 hingga 60 ingkung gurih. Selain itu ia juga menjual ingkung goreng dan bakar, dan melengkapinya pula dengan 10 menu andalan lainnya, yakni berupa aneka olahan ikan.
Untuk bisa mencicipi ingkung di waktu weekend, calon pembeli biasanya telepon atau kirim SMS lebih dulu, agar saat datang tidak menunggu kelamaan. Cara seperti itu juga agar jangan sampai ada pelanggan yang sudah jauh datang dari luar kota, tapi ketika tiba di tempat sudah kehabisan. Harga ingkung ayam sendiri bisa berubah setiap saat. Tergantung besarnya ayam yang tersedia. Kalau ayam kecil harganya Rp 90.000. Tapi kalau mendapat ayam besar, harganya bisa Rp 125.000. Untuk mencapai Desa Guwosari, dari kota Yogyakarta pembeli bisa menuju arah Kabupaten Bantul. Sampai di Masjid Agung belok ke kanan, kemudian lurus terus dan memasuki jalan desa. Rumah Makan Mbah Cempluk pun mudah ditemukan. Hanya saja sekarang, tamu dari kota Yogyakarta tidak perlu jauh-jauh datang ke desa. Pada pertengahan 2014, Supriyadi telah membuka dua cabang rumah makannya. Satu di kawasan Jl. Kabupaten, Kabupaten Sleman (tak jauh dari Kantor Pemkab Sleman) dan satu lagi di Jalan Kaliurang Km 16, Sleman.
Rumah Makan Ingkung Mbah Cempluk di Jalan Kaliurang dibuka beberapa hari menjelang Lebaran 2014, bertepatan dengan puncak arus mudik. Meskipun saat itu belum 100 persen selesai pembangunannya, tapi sudah kebanjiran pembeli. Target Supri ke depannya adalah memiliki banyak cabang Rumah Makan Mbak Cempluk, agar bisa membantu pemerintah membuka lapangan pekerjaan. Pula dari sisi agama, artinya juga bisa membagi rezeki.
Kesuksesan Supri berjualan ingkung, mau tak mau diikuti beberapa pebisnis lain yang menjual dagangan serupa di kawasan Bantul. Namun Supri sama sekali tidak mempermasalahkan. Sementara itu bisnis wader yang pernah menjadi andalannya, kini dikelola istrinya, Ratmiati, dan dibantu tiga karyawan. Setiap harinya ia mengolah 100 kilogram wader. Perintis bisnis wader ini sebenarnya adalah si ibu mertua. Supri hanya membantu memasarkan dan mengembangkannya. Oleh karena itu, di Rumah Makan Mbah Cempluk pun juga terdapat menu wader sambal hijau.
0 komentar:
Posting Komentar