Berawal memenangi suatu kompetisi, duo sahabat Maretta Astri Nirmanda dan Ivan Kurniawan akhirnya menekuni bisnis batik denim. Mengusung bendera Lazuli Sarae, mereka sukses memberikan inovasi dan terobosan pada pasar batik denim. Kini, produknya tak hanya laku di pasar lokal, namun sudah mulai merambah hingga ke mancanegara.
Awal terjun
berbisnis batik bermula ketika Ivan membaca informasi ada kompetisi yang dibuat
oleh Kementrian Perdagangan tentang Lomba Rencana Bisnis Kreatif 2010. Ia pun
tertarik, lalu mengajak Retta untuk ikut lomba tersebut. Retta pun menyanggupi.
Setelah diskusi Retta lalu mengusulkan untuk menggunakan tugas akhir rekan
kampusnya yang bernama Gilang yang kemudian disepakati menjadi dasar ide bisnis
mereka. Rencana bisnis yang mereka ajukan saat itu berjudul “Eksplorasi Reka
Batik Pada Material Denim”. Beruntung, mereka berhasil menang menjadi juara 2 dan mendapatkan hadiah
uang sebesar Rp 10 juta.
Setelah
berhasil memenangi kompetisi itu, mereka tidak ingin hanya sekedar teori saja
tapi langsung mengaplikasikannya dalam bentuk bisnis yang nyata. Ternyata,
untuk mewujudkannya tidak mudah. Mereka sempat melakukan riset produk yang
cukup memakan waktu dan juga biaya. Apalagi saat tes pasar, awalnya tidak ada
yang membeli. Lalu untuk memudahkan semuanya, mereka sepakat mendirikan CV
Lazuli Sarae dengan tambahan modal. Ivan mengingat, waktu itu modal awal yang
dikeluarkan untuk biaya riset sampai dengan produksi menghabiskan sekitar Rp 60
jutaan. Itu pun juga tidak berasal dari kantong mereka pribadi tapi juga sempat
mengajak teman-teman yg lain untuk ikut berinvestasi. Tak hanya modal yang
menjadi permasalahan, tapi juga soal pengalaman untuk berbisnis karena tak satu
pun dari mereka yang mempunyai background
bisnis. Retta adalah lulusan Kriya Tekstil ITB sedangkan Ivan sendiri mengambil
jurusan Tehnik Informatika. Namun semuanya menjadi pengalaman berharga bagi
keduanya. Proses trial & error
terus mereka lakukan agar bisa menjadi evaluasi. Menurut mereka, saat itu
adalah masa-masa yang penuh tantangan.
Di antara
tantangan yang mereka hadapi, antara lain banyak vendor yang tidak mau menerima pembuatan sample. Padahal, mereka berani membayar lebih tinggi. Mereka pun
terus melakukan promosi. Saat promosi menggunakan jejaring sosial, mereka
mengajak teman-teman sendiri sebagai model, bahkan tak jarang mereka pun juga
ikut menjadi modelnya. Saat mengikuti bazar, ternyata produk mereka juga tidak
banyak yang laku. Strategi bisnis yang mereka lakukan saat itu memang masih
banyak yang perlu dievaluasi. Kala itu, semua bazar yang mereka ikuti tidak
dipilah terlebih dahulu, bentuk kartu nama juga kurang menarik, display untuk bazar pun masih meminjam.
Selain itu, saat produksi mereka mengandalkan personal order yang terbilang lama, bisa sampai sebulan selesainya.
Meski
menyadari apa yang mereka lakukan banyak yang salah, tapi semuanya menjadi lesson learned bagi mereka. Semua
pengalaman itu membuat mereka berbenah. Untungnya saat itu mereka juga ikut gerakan
wirausaha nasional. Mereka pun memanfatkan mentoring
dari para ahli yang ada di situ. Setelah itu mereka serius membuat katalog
produk dan clothing line dengan
bendera Lazuli Sarae serta mendirikan CV Sarae di tahun 2011. Mereka sepakat
menggunakan brand Lazuli Sarae.
Lazuli diambil dari kata lazhward,
bahasa Persia yang artinya biru. Sementara sarae
dalam bahasa Sunda tempat mereka berasal yang artinya adalah bagus. Ketika
digabungkan, nama itu pun bisa diterima universal karena tujuan mereka memang
ingin go international. Namun, untuk
mengawalinya mereka hanya ingin bisa diterima di pasar global dulu, sekaligus
ingin mempopulerkan batik dengan denim di kalangan anak muda.
Setelah
melihat perkembangannya semakin baik, Ivan pun memutuskan untuk keluar dari
pekerjaannya dan mulai makin serius menekuni bisnis ini. Ia berniat untuk fokus
menjalankan Lazuli Sarae secara total, tidak hanya sebagai part time saat weekend
saja. Demikian juga pada Retta. Sejak awal melihat perkembangan bisnis ini, ia
juga ingin fokus menjalankan Lazuli Sarae. Namun sayangnya saat itu ia masih
terikat proyek dengan kantornya. Jadi pada waktu itu ia masih harus bekerja dan
berbisnis dalam waktu bersamaan dan harus merelakan bolak-balik Jakarta-Bandung
setiap minggu. Tentu saja semua pikiran, waktu dan tenaga pun habis terkuras.
Retta yang pada akhirnya juga ikut resign
dari kantornya pun menceritakan, keputusan untuk keluar dari pekerjaannya
juga cukup berat karena ia harus bisa meyakinkan kedua orang tuanya bahwa
pilihannya untuk membesarkan Lazuli Sarae adalah tepat.
Ivan pun juga
mengalami masalah yang sama. Awalnya kedua orangtuanya juga kurang mendukung
dengan keputsannya untuk resign. Ia
sadar, setiap orangtua tentu ingin anaknya bisa mendapatkan pekerjaan yang
bagus. Akan tetapi, dengan seringnya mengajak komunikasi dan juga setelah
mereka melihat sendiri kerja keras Ivan dan hasilnya, orangtuanya pun
mendukung. Bahkan saat ini dukungan mereka sudah 100 %, termasuk mau ikut
mempromosikan Lazuli Sarae ke semua orang. Baik Ivan maupun Retta, sama-sama
bersyukur, semua yang mereka lakukan tidak sia-sia. Seiring dengan waktu,
mereka pun semakin merasakan kemajuan yang cukup berarti. Mereka berhasil
menunjukkan pada orangtua bahwa dengan berwirausaha mereka pun bisa maju.
Meskipun banyak yang mengatakan bahwa tidak mudah membangun usaha, tapi dengan
tekad yang kuat, akhirnya semuanya bisa mereka lakukan.
Pada bulan
April 2011, Lazuli Sarae mendapatkan undangan dari Departemen Perdagangan untuk
ikut dalam pameran Inacraft 2011. Mereka tidak menyangka pameran ini punya
andil besar karena bisa membuat mereka mampu membaca keinginan pasar. Ternyata
segmen Lazuli Sarae untuk anak muda dengan harga yang cukup mahal memang bisa
dilirik oleh pasar. Dari Inacraft pula, akhirnya mereka semakin termotivasi dan
semangat untuk terus memberikan inovasi. Apalagi produk mereka juga sangat
laku. Dalam lima hari mengikuti pameran, omzetnya bisa mencapai Rp 20 juta. Itu
merupakan pengalaman yang tidak terlupakan.
Dalam industri
kreatif inovasi memang harus terus dilakukan. Sejak awal target Lazuli Sarae
memang untuk segmen muda dan menengah ke atas. Namun setelah semakin luas
membaca pasar, ada beberapa permintaan datang untuk produk Lazuli Sarae dengan
harga yang lebih murah. Dari permintaan tersebut, hadirlah Biondy by Sarae. Dan
ternyata produk dengan konsep yang lebih sederhana dan lebih terjangkau
harganya ini, juga mulai diminati. Selain itu, maraknya tren busana muslim juga
menjadi peluang tersendiri. Mereka pun tidak ingin ketinggalan momen tersebut.
Sejak 2013 lalu, hadir juga koleksi busana muslim dari Lazuli Sarae. Inovasi
lain yang mereka lakukan juga adalah dengan mendiversifikasi produk. Bila dulu
hanya ada atasan pria dan wanita, sekarang variasinya mulai dari kemeja, dress, blazer, jaket, dan celana pendek.
Tas dan juga aksesori pun juga sudah mulai dibuat yang ternyata juga direspons
baik oleh pelanggan.
Adapun yang
menjadi kelebihan Lazuli Sarae adalah, produk yang dibuat memiliki nilai-nilai
filosofi dalam seluruh rancangan desain. Jadi, konsepnya komprehensif. Mulai
dari pemilihan bahan dan material sampai motif batik juga mereka kreasikan
sendiri hingga menjadi benar-benar ciri khas Lazuli Sarae, yakni batik on denim yang berkualitas.
Beberapa motif batik seperti parang juga ikut dikreasikan. Maka mereka menjamin
bahwa produk yang mereka hasilkan tidak asal jadi. Kelebihan lain, selain dari
produk yang dihasilkan, mereka juga memiliki beberapa kampanye yang sering
dilakukan di media sosial. Mereka terus mensosialisasikan batik kepada generasi
muda. Seperti tagline Lazuli Sarae, local value modern spirit, yang artinya
nilai kearifan lokal yang dimiliki batik lewat denim yang akrab dengan anak
muda bisa menjadi semangat baru untuk para generasi muda.
Untuk
pembagian tugas, mereka bagi sesuai dengan keahlian dan kemampuan masing-masing
sehingga semuanya jadi maksimal. Ivan mengurusi bagian eksternal mulai dari marketing, sales, dan administrasi termasuk konten-konten yang ada di website dan sosial media. Sementara
Retta yang kebetulan lulusan Kriya Tekstil, sibuk di bagian internal yang
mengurusi bidang kreatif, desain sampai produksi. Tapi itu bukan menjadi
patokan karena mereka juga saling membantu dan menyemangati satu sama lain.
Setelah
memulai promosi dalam ranah online,
seperti website dan media sosial,
serta mengikuti berbagai pameran, dari situlah mereka bertemu dengan
calon-calon customer dan juga para
mitra yang kemudian menjadi reseller
ataupun jalan buat mereka untuk masuk ke consignment
store. Saat ini consignment store yang menjadi channel penjualan Lazuli Sarae adalah Alun-Alun Indonesia, Pendopo
Rumah Batik & Kerajinan di Living World Alam Sutera, Sarinah Thamrin dan
Pejaten Village. Sedangkan untuk online
juga bisa didapatkan di Zalora, Rakuten dan Hijup.com.
Lewat Lazuli
Sarae pulalah mereka berhasil memenangkan 3rd Place Honda Youth Startup Icon,
Winner Shell LiveWIRE Business Startup Award, 100 Youth Women Netizen
Berpengaruh di Indonesia versi majalah Marketers, Wanita Wirasuaha Femina,
Mandiri Most Potential Entrepreneur dan Outstanding Designer at Indonesia
Creative Week.
Rencana ke
depannya mereka akan terus mengembangkan dan membuat inovasi pada produk yang
telah mereka hasilkan ini. Selain itu, mereka juga ingin memperluas channel penjualan, tidak hanya lokal,
regional, tapi akan mengusahakan juga agar bisa diterima di pasar
Internasional. Seperti motto yang terus menyemangati mereka dalam berbisnis
yaitu In business and life, chalenges and
obstacles will never end, keep on trying, praying and believing that there is
always ways to solve that. Jadi, apa pun nanti tantangan dan hambatan yang
akan datang, mereka tidak akan pernah berhenti mencoba, berdoa dan meyakini
bahwa suatu saat nanti semuanya pasti akan terjadi. Intinya, mereka ingin terus
fokus dan mengembangkan Lazuli Sarae, semoga semua cita-cita goes global bisa tercapai.
wow... keren... boleh nih buat foto bareng pacar pake nih barang
BalasHapusmonggo mampir juga disini gan kl mau cari couple cincin CINCIN KAWIN EMAS PUTIH