Rabu, 05 November 2014


Di Kedai Rakyat Djelata, segala gairah dan kecintaan R. Ngt. Mia Adyati pada kuliner tradisional Jawa ia tumpahkan. Hasilnya, warung berbasis kerakyatan yang tak pernah sepi. Selain itu, ibu tiga anak ini sukses mengelola beberapa brand kuliner ternama di Yogyakarta, Semarang dan Solo, di antaranya HappyBee, MOY-MOY, Sushi Story, HotMeal, Sambel Kedaton, dan Rendang Kampoeng Soewardi.

Kedai Rakyat Djelata yang berlokasi di Jl. Dr. Soetomo, Yogyakarta, berawal dari kerinduan Mia akan menu-menu tradisional, Jawa khususnya. Selain itu ia juga sering melihat petani-petani kita yang suka ditekan oleh orang asing. Kopi misalnya, dihargai rendah. Dan karena butuh uang, lama-kelamaan petani itu menjual kebunnya. Akibatnya, harga makanan pun jadi mahal. Di Kedai Rakyat Djelata, orang tidak perlu bayar mahal untuk menikmati kekayaan alam sendiri. Ide Mia memang membuat warung, bukan restoran. Karena di warungnya ini, semua bahan diperoleh langsung dari petani yang dibeli dengan harga di atas harga tengkulak. Menurut Mia, apa yang dilakukannya ini sebetulnya bukanlah bisnis, tetapi lebih kepada upaya pelestarian.



Meskipun makanan yang ada di kedai ini dijual, tapi uang itu akan dikembalikan ke rakyat. Karena bila petani tidak mempunyai uang, maka Mia pun tidak akan bisa membeli bahan dari mereka. Itulah alasan kenapa kedai ini dinamakan Kedai Rakyat Djelata. Jadi pemilik kedai ini sebetulnya bukanlah Mia, tapi rakyat sendiri. Targetnya adalah melestarikan warisan kuliner, selain juga membantu sebagian orang, khususnya para abdi dalem keraton. Mia menjelaskan lagi, bahwa karyawan yang bekerja di dapur memang bukan karyawan biasa. Mereka kebanyakan adalah anak-anak para abdi dalem keraton yang tak bisa melanjutkan sekolah. Di bagian belakang kedai ini pun juga disediakan tempat tinggal bagi karyawan.



Semboyan Kedai Rakyat Djelata adalah, racikan lawas, sentuhan anyar, rasa juara. Dari rakyat jelata untuk rakyat jelata. Harga makanan di kedai ini memang tergolong murah. Yang paling mahal hanya seharga Rp 15.000. Makan sambil kaki naik kursi pun tidak masalah. Masakannya juga lebih medok dan seadanya. Mungkin Kedai Rakyat Djelata ini bisa dibilang setengah museum kuliner Jawa.


Kedai Rakyat Djelata dibuka tahun 2013. Bisa mendapatkan tempat di lokasi saat ini pun diceritakan Mia cukup unik. Waktu itu ia memang sedang mencari tempat yang murah, dan pada akhirnya bertemu tempat yang sekarang digunakan. Padahal, sebelumnya sudah ada 3 usaha yang tutup semua  di tempat itu. Mia lalu bertemu dengan pemiliknya, seorang wanita tua yang meminta harga sewa Rp 65 juta per tahun. Lalu Mia mencoba menawar dengan harga Rp 200 juta untuk 5 tahun. Ia sempat ‘curhat’ kepada Tuhan memohon agar diizinkan untuk membuka usaha di tempat itu. Dan ternyata, minggu depannya pemilik tempat itu menghubunginya dan setuju menyewakan dengan harga Rp 200 juta untuk 5 tahun.

Mia lalu merombak gedung itu, yang semuanya ia kerjakan sendiri. Memasang aksesoris, memasang poster, mengecat, belanja perabot, semuanya ia lakukan sendiri. Ia ingin dedikasinya nampak penuh di usahanya ini. Dan ini bisa dibilang merupakan idealismenya. Bayangannya waktu itu, ingin kedainya ini harus kelihatan sebagai rumah rakyat. Seperti angkringan tapi tidak boleh terlalu angkringan. Warnanya harus terang putih, dan bisa dipakai untuk acara keluarga dengan suasana yang kelihatan fun. Targetnya memang anak-anak muda agar mereka bisa menghidupi kedai ini. Karena kalau ia menargetkan golongan orang tua kedainya tidak akan seramai sekarang.



Semua resep di Kedai Rakyat Djelata ini merupakan hasil wawancara Mia dengan para abdi dalem yang bekerja di Pawon Ageng Keraton Yogyakarta. Sebagian lagi ia dapatkan dari peracik aslinya, yakni si mbok-mbok yang rata-rata usianya sudah 70-80 tahun. Masing-masing resep punya cerita. Misalnya, Tjoemi Item Mbah Blirik. Mia mendapatkannya langsung dari si Mbah Blirik di Wonosari. Mbah Blirik memang masih hidup dan sudah tua. Tapi anak cucunya tidak ada yang mau melanjutkan usaha kulinernya. Mia berpikir, kalau si Mbah ini meninggal dan tidak sempat mencatat, maka hilanglah resep warisannya. Hidangan unik lain di Kedai Rakyat Djelata yang merupakan hasil pengumpulan resep antara lain, Walang Goreng dan Walang Bacem, Bothok Tawon, Mentho Kasoenan, Manoek Londho, Brongkos Segoro Ireng, Gandem Marem, Kopi Urup, dan lain-lain.

Sebagian makanan di Kedai Rakyat Djelata ada juga yang titipan dari para abdi dalem, seperti aneka sate. Mereka memang bisa membuat tapi tidak bisa menjualnya. Namun terlebih dahulu, Mia harus mencicipi dulu rasanya untuk menjaga kepercayaan orang. Bila rasanya kurang, ia akan mengajari mereka cara memasak yang enak dengan harga yang tetap terjangkau.

Dalam proses pengumpulan resep, Mia mengaku sama sekali tidak menemui kendala. Yang penting adalah komunikasinya bagus dan bisa berbahasa Jawa. Kebetulan ia memang suka jalan-jalan, dan kebetulan pula ayahnya juga dekat dengan Ngarso Dalem (Sri Sultan Hamengkubuwono X). Jadi urusan resep-resep kuno para abdi dalem tidak ada masalah. Masalah paling hanya soal mendapatkan bahan-bahan yang sudah tidak ada atau sulit dicari, misalnya larva tawon untuk bahan Bothok Tawon. Atau mencari walang kayu atau walang sangit untuk dibacem atau digoreng.

Biasanya resep-resep itu ia sederhanakan dan dikombinasikan, karena kalau harus mengikuti resep yang asli, aturannya sangat banyak. Misalnya, ada bumbu yang harus masuk terlebih dahulu, sayur yang harus direbus dahulu, dan sebagainya. Bila dituruti, anak-anak muda yang bekerja di dapur pasti akan sulit mengikuti. Maka, yang terpenting baginya adalah mengupayakan yang terbaik. Namun ada pula sebagian resep yang masih mengikuti apa yang mereka sarankan. Mia pun juga mendidik anak-anak di Kedai Rakyat Djelata untuk mengikuti tradisi, karena disitulah justru letak kekayaan kuliner kita. Misalnya, proses memasak sebagian masih menggunakan anglo. Memang tidak semuanya, karena bila semuanya memakai anglo, pekerjaan akan keteteran. Masakan belum matang, tetapi pembeli sudah mengantri. Semua bumbu juga sudah Mia buat di pabrik untuk menjaga rasanya supaya tetap sama. Kebetulan Mia memang mempunyai pabrik bumbu sendiri.

Mia adalah lulusan Teknik Arsitektur Universitas Duta Wacana, namun jiwanya tidak pernah ke situ. Sebelumnya ia pernah meminta kuliah pariwisata, tapi ditolak mentah-mentah oleh Ayahnya. Karena selama ini, di keluarganya memang belum pernah ada yang berbisnis kuliner. Ayahnya seorang pedagang yang mempunyai toko di Yogyakarta. Pada tahun 1998 saat krisis moneter dan kerusuhan, ayahnya terpaksa harus kehilangan pekerjaannya. Bisnisnya habis. Saat itu Mia masih kuliah di semester 7, sementara adik bungsunya masih SD. Beruntung, setelah lulus kuliah tahun 1999 ia langsung menikah. Saat itu pula ia berjanji pada diri sendiri tidak akan lagi merepotkan ayahnya. Ia pun memutuskan untuk melanglang buana bersama suaminya, Johan Setyanto, mencari beasiswa.

Akhirnya ia dapat kesempatan melanjutkan kuliah dengan beasiswa di Food Tech Course & Culinary Art Course LCB College of Culinary Arts di Los Angeles, AS. Menurut Mia, itu adalah masa-masanya yang paling berat. Sambil kuliah, ia bekerja di sebuah gerai makanan cepat saji selama 2 tahun. Ia seperti merangkak dari nol, karena memang tidak mau meminta uang lagi ke orangtuanya. Saat bekerja, ia menitipkan anaknya ke tempat penitipan yang bayarannya 8 dolar per jam, sementara gajinya sendiri saat itu satu jamnya 18 dolar. Bahkan untuk membeli buah jeruk buat anaknya, ia harus rela mengumpulkan uang koin kembalian, karena harga jeruk di sana cukup mahal. Selain itu ia juga berjualan kering tempe untuk orang Indonesia yang ada di sana.

Mia juga menceritakan, di tahun pertama kuliah, ia hamil. Tentu saja sempat terkejut karena itu diluar rencananya bersama suami. Apalagi di tahun 2000 saat itu ia baru berusia 21 tahun. Setelah melahirkan, saat anak pertamanya baru belajar beejalan, ia kembali hamil. Tapi ia berpikir, Tuhan pasti punya rencana lain atas kehamilannya itu. Mungkin, kalau Tuhan tidak memberikannya dua anak, ia tidak akan berjuang sekeras itu. Oleh karena itu, banyak yang mengatakan, meskipun usianya masih tergolong muda, tapi wajahnya sudah seperti wanita usia 40-an. Mungkin karena tempaan hidup yang dialaminya.

Namun ternyata Mia tidak betah hidup di luar negeri. Mungkin karena tidak terbiasa hidup di lingkungan orang barat, jadi ia merasa kurang nyaman. Ia pun memutuskan kembali ke Indonesia di tahun 2003. Lalu dengan simpanan dolar yang ia punya, ia membuka usaha kecil-kecilan di mal pertama di Yogyakarta, Galeria Mal. Tapi saat itu keberadaannya masih diremehkan. Ia diberi tempat di dekat toilet dengan ukuran 2x2 meter. Suaminya yang saat itu yang bekerja di Jepara dan harus rela bolak-balik Jepara-Yogyakarta pun membuatkan konter sederhana dengan biaya yang semurah mungkin.

Saat mulai berjualan, Mia hanya memiliki uang Rp 5 juta, yang akan digunakan untuk membayar sewa dan menggaji pengasuh anaknya. Saat itu anaknya masih berumur 2 tahun dan 6 bulan. Diakui Mia, mentalnya sempat surut ketika sehari sebelum membuka konternya, ia menemui Ayahnya untuk meminta restu, tapi tidak direstui. Ayahnya malah menyayangkan, ia yang sudah disekolahkan tinggi, tapi akhirnya malah memilih berjualan di konter yang kecil. Ayahnya saat itu memang ingin ia menjadi dosen, apalagi Mia lulusan cum laude. Sikap ayahnya itu tentu saja sangat membuat Mia terpukul. Namun esok paginya, ia tetap semangat untuk mebuka konternya.

Mia menjual nasi dan ayam goreng yang sudah dipotong-potong tanpa tulang (fillet). Bentuknya mirip bento. Dan kebetulan waktu itu memang belum ada makanan praktis dengan bentuk seperti itu di Yogyakarta. Ia menjualnya seharga Rp 5000 per satu porsi. Ia menamakan konternya HappyBee. Beruntung, usahanya bisa berkembang. Dua tahun kemudian oleh pemilik mal ia ditawarkan pindah ke lantai atas dengan harga sewa yang lebih murah dan tempat yang lebih luas. Dengan luas 180 m2, harga sewanya menjadi Rp 18 juta per bulan. Jumlah karyawannya yang tadinya 6 orang, bertambah menjadi 28 orang. Dan HappyBee pun terus berkembang dari tahun ke tahun. Sekarang, HappyBee sudah tersebar di Yogyakarta, Solo, dan Semarang. Setelah sukses dengan HappyBee, Mia pun juga sukses membuka beberapa brand kuliner lain seperti Sushi Story, Hotmeal Rice & BBQ, MOY-MOY, dan lainnya.

Kembali ke Kedai Rakyat Djelata, sejak buka sampai sekarang juga tak pernah sepi. Pada hari-hari biasa ada sekitar 500-an pengunjung yang datang. Sementara kalau Sabtu-Minggu antrean bisa sampai ke luar, atau boleh dikatakan bisa sekitar 1000-an pengunjung. Jam buka pun terpaksa ia perpanjang. Bila dulu mulai buka jam 15.00 sampai 23.00, sekarang jam bukanya pada 11.00 tutup jam 23.00. Kedai Rakayat Djelata buat Mia ibarat kanvas. Bila sebelumnya ia hidup dan membuka warung untuk bisnis, di Kedai Rakyat Djelata ini tidak. Karena ini merupakan kanvas kosong yang ia isi. Ia benar-benar menorehkan apa yang dicintainya di Kedai Rakyat Djelata. Ia pun tidak akan pernah menjual Kedai Rakyat Djelata ini, meskipun permintaan untuk waralaba banyak yang datang.




Rencana ke depan, Mia ingin membuka satu lagi Kedai Rakyat Djelata di daerah utara Yogyakarta untuk menjaring turis-turis menengah ke atas. Konsepnya masih sama, hanya saja dekornya ingin lebih me-rumah lagi. Ia ingin membuat replika rumah rakyat. Dapur pun masih memakai anglo dan kayu. Saat ini Mia sedang mencari tempat yang cocok. Selain itu, ia juga masih suka pergi ke pelosok-pelosok Indonesia untuk mendalami makanan. Yang baru saja dilakukan, ia belajar tentang persambalan. Mia berpikir, bila rendang bisa sedemikian hebat dan populer, kenapa sambal tidak ? Padahal kekuatan kuliner Indonesia adalah kekayaan sambalnya. Dan bila diperhatikan, setiap daerah di Indonesia pasti punya sambal khas masing-masing. Kebetulan pula Mia memang pecinta sambal. Sekarang pun Kedai Rakyat Djelata memiliki aneka sambal asap, yang dinamakan Sambal Kedaton.


Ada pelajaran menarik yang ia peroleh dari pengalaman hidupnya. Bahwa apa yang kita harapkan dan inginkan, tak akan pernah lebih baik dari yang Tuhan rencanakan. Ia berpikir seandainya tidak diberi 2 anak di usia muda, barangkali saat ini ia masih gemar melanglang buana. Tapi ternyata ia seperti dipaksa untuk tinggal tetap. Dan Mia pun juga tidak tahu apa rencana Tuhan berikutnya untuk dirinya.














0812-2755-5552

0 komentar:

Posting Komentar