Jumat, 05 Desember 2014




Menu sate nyaris identik dengan Madura. Namun, Mr. Teto bukan sembarang sate. Ia sukses mem-branding usaha dan memproklamirkan produk sate yang melayani delivery oder. Apa lagi keistimewaannya ?

Dari kota Yogyakarta, keistimewaan Mr. Teto bermula. Nama unik ini ternyata sebutan pendek Madura Sate Soto, sebuah brand yang diusung Achmad Junaidi Basri, pria asal Desa Mambulu, Sampang, Madura. Butuh waktu panjang bagi Junaidi agar Mr. Teto dikenali masyarakat. Tahun 2000, ia datang ke Yogya untuk kuliah manajemen di Universitas Cokroaminoto. Saat duduk di bangku semester IV, dengan bermodal uang Rp 30.000 ia berjualan sate di pasar Prenggan, Kota Gede, tak jauh dari rumah kontrakannya. Ia menjual per bungkusnya Rp 1.500. Namun dalam sehari itu satenya hanya laku empat bungkus. Hari berikutnya ia menjual lagi dengan harga per bungkus Rp 1000. Dan dalam tempo hanya lima menit sudah laku 35 bungkus. Junaidi pun berkesimpulan, harga jual sate sehari sebelumnya memang kemahalan.

Sejarah bisnis Junaidi terus terukir. Dua tahun kemudian, ia membeli gerobak dorong. Setelah itu ia membagi waktu, pagi jualan sate bungkus di pasar, malam harinya ia berjualan keliling kampung dengan gerobak barunya itu. Dalam tempo lima bulan, tabungannya pun cukup untuk membeli lima gerobak sate lagi. Ia lalu mencari karyawan untuk menjalankannya. Semua gerobak itu ia namakan sate imut karena pangsa pasarnya memang anak-anak. Sayang, bisnis Junaidi mendapatkan ujian. Tidak semua karyawan yang menjalankan gerobaknya bertindak jujur. Akhirnya, ia pun kembali berjualan sendiri. Dari lima gerobak, akhirnya ia kembali hanya memiliki satu gerobak.

Tahun 2007, setelah genap 6 tahun jualan keliling, Junaidi membuka lapak tak jauh dari kantor Pegadaian Kotagede. Tendanya ia namai Sate Suramadu lantaran terinspirasi Jembatan Suramadu yang kala itu baru diresmikan. Pelan tapi pasti, pelanggan mulai berdatangan. Namun lagi-lagi ujian datang, si pemilik tempat meminta Junaidi tak berjualan di sana lagi. Setelah itu, satu tahun boleh dikata Junaidi menganggur. Lalu ia kembali berjualan keliling. Tetapi keinginannya untuk membesarkan usaha tidak padam. Ia butuh ilmu bagaimana caranya bisa mengelola usaha sate secara profesional dari seorang pembimbing.

Sebagai seorang mahasiswa jurusan manajemen, tentu Junaidi tidak lepas dari up date berita di koran, terutama bacaan soal seminar-seminar bisnis agar memperoleh ilmu mengelola bisnis secara profesional. Ia kemudian bersikeras untuk mengikuti seminar bisnis. Sayang kebanyakan seminar yang ia temui biayanya terlalu mahal untuk kantongnya. Namun beruntung, suatu kali ada seminar bisnis yang berbiaya cukup murah. Ia lalu mendaftar di seminar bisnis yang bertempat di sebuah perguruan tinggi di kawasan Yogya utara itu. Di seminar tersebut, Junaidi berjumpa dengan sesama pemula bisnis atau yang sudah senior. Dua poin yang ia peroleh dari seminar itu adalah, ia harus punya keyakinan penuh dalam berbisnis dan memiliki mentor yang bisa membimbing bisnisnya. Cara pandangnya yang kedaerahan juga harus segera berubah. Ia harus berpikir secara nasional bila usahanya ingin besar.

Seminar pertama yang diikutinya itu ternyata masih belum cukup. Ia lalu mendaftar di seminar kedua. Dan begitu masuk ruangan seminar, Junaidi sudah memperkenalkan dirinya sebagai Mr. Teto, owner bisnis sate. Nama ini memang melawan arus, karena biasanya penjual sate menggunakan sebutan Cak. Di seminar itu Junaidi seperti mendapatkan kesempatan menjelaskan tentang Mr. Teto yang sebenarnya bukan Mister, sebutan pria ala Barat, melainkan kependekan dari Madura. Jadi, Mr. Teto adalah kependekan dari sate-soto Madura. Selain berjualan sate, pada saat itu Junaidi memang juga berjualan soto di Jalan Kemerdekaan.

Ihwal warung soto dan sate di Jalan Perintis Kemerdekaan di tahun 2012, Junaidi punya sejarahnya. Ceritanya, di saat ia pasrah karena tidak kunjung berhasil mengembangkan usaha, ia bertemu dengan teman karibnya semasa SMA di Facebook, yang bernama Andri. Saat itu, si teman sudah menjadi pegawai negeri di provinsi lain. Dalam percakapan itu, Junaidi mencoba mengingatkan si teman, bahwa mereka dulu pernah berkomitmen untuk mempunyai perusahaan. Singkat cerita, sang sahabat tersebut lalu membantu modal Rp 30 juta. Uang Rp 30 juta itulah yang ia gunakan untuk merayu adik iparnya yang sudah membuka warung sate di Jalan Perintis Kemerdekaan. Ia menawarkan kerja sama untuk membesarkan usaha dengan bagi hasil 50 : 50. Sayangnya, adik iparnya itu tidak terbujuk rayuannya. Mungkin karena saat itu si adik ipar sudah mendapatkan penghasilan sekitar Rp 300.000 per hari.



Junaidi tak menyerah, ia terus membujuk sampai akhirnya sang ipar menyetujui ajakannya sebagian. Junaidi boleh jualan soto koya dan ayam bakar di warung si adik ipar, sementara si adik ipar tetap berjualan sate. Namun, meski Junaidi berjualan soto dan ayam bakar, ia tetap mem-branding sate milik si adik ipar. Dan dalam satu bulan omzet usaha sate itu pun naik drastis menjadi Rp 800.000 sampai Rp 1 juta per hari. Ayah dua anak ini pun makin yakin dengan pepatah siapa menanam, dialah yang akan menuai hasilnya. Dengan ikhlas ia terus mem-branding dan mempromosikan sate dari rumah ke rumah, dan dari instansi satu ke instansi lainnya. Ia menyebarkan brosur dan mempromosikan pula delivery order sate Madura pertama di Indonesia. Dan dalam tempo empat bulan melayani delivery order, omzet satenya mencapai Rp 30 juta. Tapi Junaidi mengaku saat itu tak sedikitpun ia menikmati fee dari iparnya. Baginya saat itu, yang penting masih bisa berjualan di warung dan mem-branding sate.

Suatu ketika, adik iparnya bersedia bekerja sama penuh dengan syarat dalam tempo tiga bulan, omzet delivery satenya bisa 100 boks per hari. Junaidi menyanggupi. Dan ternyata dalam tempo 2 bulan saja sudah memenuhi target. Genap 10 bulan, ia pun mulai minta ketegasan sang adik perihal kerja sama penuh tersebut. Bila tidak, Junaidi akan keluar dari warung itu tetapi tetap dengan membawa brand Mr. Teto, sementara sang adik kembali ke warung aslinya. Dan si adik ternyata bersedia, namun itu pun masih dengan pembagian 60 : 40 untuk Junaidi. Sepertinya kesabaran Junaidi masih diuji. Sampai akhirnya, ketika kepemilikan saham sama imbangnya, Junaidi mulai kerja eksra keras mem-branding Mr.Teto sebagai delivery order sate Madura pertama di Indonesia, bahkan dunia. Adik iparnya ia jadikan manajer produksi. Berkat branding yang kuat tersebut, usahanya pun melesat.



Ada beberapa menu sate yang ditawarkan Mr. Teto. Sate original bumbu kacang, sate ayam Madurasa, dan Sate Kelapa Dimadu. Sate ayam Madurasa memiliki keunikan dalam proses pengolahannya. Yakni menggunakan campuran madu. Jadi tidak perlu pakai bumbu kacang saja sudah lezat, apalagi bila ditambah bumbu kacang, tentu rasanya semakin bertambah lezat. Sementara Sate Kelapa Dimadu juga tak kalah sensasi rasanya. Ini adalah sate ayam yang bahan bakunya dibacem lalu dibumbui dengan kelapa dan madu sebelum dibakar. Rasa satenya lebih renyah dan lezat meski harganya hanya Rp 16.000 per porsi. Untuk menu sate memang bisa delivery order, tapi untuk menu ayam bakar dan soto koya belum bisa.



Dari berdagang sate, soto, dan ayam bakar, per hari Junaidi bisa mengantongi tak kurang dari Rp 10 juta. Tak lupa, Junaidi pun banyak beramal. Ia memanggil putra-putri Madura yang kurang mampu untuk berkuliah di Yogya. Di sela-sela jam kuliah, mereka bisa bekerja di Mr. Teto, dan tetap mendapatkan gaji. Selain itu Junaidi juga memasukkan anak-anak Madura ke pesantren agar bisa menjadi tahfiz (penghafal) Al Quran. Rupanya, Junaidi ingin membangun usahanya dengan mengutamakan spiritual company. Ia tidak hanya memikirkan keuntungan, melainkan juga sebagai tempat pengembangan diri karyawan baik skill maupun religinya.

Harapan Junaidi, misi Mr. Teto mengangkat masakan tradisional Indonesia, khususnya sate Madura ke tingkat nasional bahkan internasional. Usahanya memang sudah membuahkan hasil. Mr. Teto menjadi pemenang pertama ajang Business Plan Contest Smartpreneur. Junaidi yang juga mantan tukang sapu ini pun sekarang sudah menjadi jutawan. Semua ini berkat sate istimewa, dari daerah istimewa Yogyakarta.




2 komentar:

  1. terharu,,, saya pernah menikmati sate ini,,, memang ada yg berbeda,, dan sekarang warungnya sudah besar bisa tikatakan resto.. lebih rapi dan lebih nyaman....
    berbisnis memang butuh kesabaran dan keikhlasan serta do'a dan usaha dan tak lupa amal di sebagian rezki yg didapatkan

    Cincin kawin emas putih

    BalasHapus