Jumat, 09 Oktober 2015




Memasuki Dusun Kranji, Tanjung Mekar, Sambas, Kalimantan Barat, beberapa warga terlihat tengah asyik menenun benang untuk dijadikan tenun ikat atau songket. Menurut salah satu warga, Budiana, pemandangan seperti itu memang sudah menjadi kebiasaan di dusunnya. Namun sebetulnya, kerajinan tenun ini sempat ditinggalkan warga karena kesulitan mencari pembeli. Baru sampai beberapa tahun belakangan kembali marak, setelah banyak yang mencari tenun khas Sambas ini. Budiana sendiri termasuk generasi muda pengrajin tenun yang kemudian berniat mengembangkan usaha tenun asli daerahnya. Ibu dua anak ini sudah belajar menenun sejak duduk di bangku kelas 5 SD. Menurutnya, keahlian ini sifatnya memang turun temurun, tidak ada sekolah formalnya.

Sejak berkeluarga, Budiana memutuskan untuk mencoba menjual hasil tenunnya langsung ke pelanggan. Usaha itu ia rintis di tahun 1993 bersama dua saudaranya. Awalnya ia mengaku, agak susah mencari pengrajin, apalagi yang masih muda. Karena minat anak muda sekarang terhadap kerajinan tenun sudah berkurang. Namun, kini kerajinan ini sudah mulai bangkit kembali setelah tenun dikenalkan ke generasi muda melalui muatan lokal di sekolah-sekolah. Dan, lain dulu lain sekarang, kini untuk memenuhi pesanan yang semakin banyak, Budiana sudah dibantu oleh 20 orang pengrajin. Setiap hari mereka mampu membuat beragam motif tenun seperti Sawak Melako, Mate Ayam Ulat, Ragam Banji, dan lain-lain.

Menurut Budiana, tenun asli Sambas tak kalah dengan tenun daerah lain di Indonesia. Diakuinya, masing-masing tenun memang memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun, tenun asli Sambas memiliki beberapa kelebihan. Selain memiliki motif dan warna yang beragam, tenun Sambas juga berukuran lebih panjang dibanding tenun dari daerah lain. Hal ini terjadi karena pengrajin di Sambas menggunakan alat tenun yang berbeda dengan alat tenun pada umumnya. Alat tenun yang mereka gunakan lebih besar, sehingga membutuhkan tempat khusus untuk menampungnya. Bahkan, songket Sambas pernah tercatat di Museum Rekor Indonesia sebagai songket terpanjang. Panjangnya mencapai 161 meter dengan lebar 70 meter. Tenun tersebut memuat beragam warna dan motif dengan waktu pembuatan selama satu tahun dan dilakukan oleh 13 pengrajin.


Motif yang muncul dalam tenun Sambas kebanyakan terinspirasi dari hewan dan tumbuhan yang biasa ditemui di daerah tersebut. Namun, para pengrajin juga mengembangkan sendiri motif-motif yang ada itu. Beruntungnya, ada dukungan dari pemerintah daerah dan berbagai pihak yang peduli serta bersedia mengangkat tenun Sambas. Para pengrajin kerap diberikan pelatihan mulai dari peningkatan mutu hingga pemilihan bahan baku. Salah satunya pelatihan menggunakan pewarna alami. Dari situ ternyata diketahui, banyak yang bisa digunakan untuk mewarnai benang bahan tenun. Misalnya menggunakan daun ketapang, daun jambu, atau daun mangga. Berkat mengikuti beragam pelatihan tersebut, Budiana menceritakan, usahanya kini semakin dikenal banyak orang. Karena pelanggan menyukai warna-warna yang alami. Memang, dengan pewarna alami, hasilnya agak berbeda dengan pewarna sintetis. Pewarna alami memiliki keunikan tersendiri, walau kadang bahannya sama tapi warna yang dihasilkan bisa berbeda.

Selain itu, lanjut perempuan yang pernah mendapat penghargaan UNESCO Award tahun 2012 lalu ini, pewarna alami menghasilkan warna yang cenderung lembut. Justru inilah yang membuat tenun semakin unik. Budiana menjual kain tenunnya dengan kisaran harga Rp 700.000 sampai Rp 5 juta. Budiana berharap usahanya bisa berkembang semakin besar sehingga ia sekaligus mampu melestarikan warisan nenek moyangnya. Selain melestarikan motif, Budiana juga membuat motif-motif baru. Salah satunya motif Mate Ayam Ulat yang berhasil memenangi UNESCO Award. Motif itu dibuat oleh adik Budiana, yang idenya muncul ketika sedang hujan dan ada ayam yang memakan ulat. Demi menjaring pelanggan, Budiana juga berkreasi dengan membuat produk berbahan dasar tenun dan songket. Dalam waktu satu bulan ia mampu membuat sekitar 20 lebih lembar kain. Selain dijual berbentuk kain, kain hasil tenun itu diolah lagi menjadi kopiah, tempat tisu, sarung bantal, dan lain-lain.


Sementara itu, di tempat terpisah, ada pula pengrajin lain bernama Sahidah yang mengaku bersyukur tenun asal Sambas kini sudah mampu disejajarkan dengan tenun asal daerah lain. Ibu dua anak dan nenek tiga cucu ini juga berharap tenun mampu menyusul kesuksesan batik di dunia internasional. Sahidah bercerita, ia sudah bisa menenun sejak tahun 1950-an. Dan sampai sekarang ia masih aktif mengajarkan tenun agar ada regenerasi. Lahir di sebuah desa kecil bernama Semberang, Sahidah mulai menjual hasil kerajinan tangannya hingga di Singkawang. Ia pindah ke Singkawang sekitar tahun 1970-an. Dan di sana ia menikah, lalu pindah lagi ke Sambas.

Karena harus fokus dalam membesarkan anaknya, sekitar tahun 1970-an Sahidah memutuskan untuk berhenti menenun. Baru kemudian pada tahun 1995 ketika anaknya sudah besar, ia memulai kembali usaha ini sampai sekarang. Setelah sempat berhenti selama 14 tahun itu, ia memulai usahanya kembali dari nol. Meski begitu, ia tidak pernah lupa tehnik menenun walau bahan bakunya sudah jauh berbeda. Dibantu anaknya yang pertama, Alfian, pemasarannya kini semakin luas. Terlebih sekarang ada internet.


Pemerintah Daerah, menurut Sahidah, juga membantu memperluas sayap usahanya dengan mengajaknya berpameran. Dari situ, ia pun semakin dikenal dan semakin semangat dalam mengembangkan usaha. Walau tidak pernah memasang iklan, tapi orang dari luar daerah dan negara tetangga seperti Malaysia, kerap datang ke tempatnya untuk membeli kain. Dijelaskan Sahidah, tenun Sambas sangat kaya akan motif dan warna. Jumlah motifnya pun ribuan, dan Sahidah mengaku masih menghafal semuanya. Untuk membantu melestarikan tenun asli Sambas, kini Sahidah rajin mendokumentasikannya. Ia juga masih menyimpan motif-motif kuno yang dimiliki. Kain koleksinya itu juga kerap dibawa saat pameran, ada yang umurnya mungkin sudah lebih dari seratus tahun.

Untuk merawat tenun yang bagus supaya awet, menurut Sahidah, tidak ada rahasianya. Yang penting jangan dicuci. Usai digunakan, cukup diangin-anginkan di tempat teduh lalu disimpan di lemari. Kemudian taruh lada putih yang dibungkus kain di dalam lemari. Sahidah menjual tenun seharga Rp 350.000 sampai Rp 5 juta. Penggunaan kain tenun kini tak terbatas hanya bagi masyarakat Melayu saja. Kini semua motif dan warna bisa dipakai oleh siapa saja dan kapan saja. Dulu selain anggota kerajaan, tidak ada yang boleh menggunakan warna kuning. Tapi sekarang memang sudah berbeda zamannya.


Yang juga sedikit berbeda dengan pengusaha lain, Sahidah menerapkan sistem jual beli kain terhadap 40 orang pengrajin yang membantunya. Ia tidak menggunakan sistem upah. Dengan begitu, maka antara ia dan pengrajin jadi saling menghargai. Sahidah hanya menyiapkan bahan dan alatnya saja. Untuk proses produksi dikerjakan di rumah masing-masing pengrajin. Sehingga mereka bisa melakukan berbagai aktivitas lainnya di rumah.

1 komentar: