Jumat, 27 Januari 2017


Kopi kian dikenal masyarakat. Ini lantaran terus bermunculan banyak kedai kopi. Tak hanya itu, hadir pula orang-orang yang sengaja mendirikan wadah untuk mengenalkan kopi kepada khalayak, seperti Co-Founder ABCD School of Coffee, Ve Handojo. Berawal dari kegiatan Ngopi di Pasar yang rutin digelar di Pasar Santa, Jakarta Selatan, Ve Handojo bersama rekannya, Hendri Kurniawan, sepakat mendirikan ABCD School of Coffee. Kegiatan Ngopi di Pasar sendiri sudah berlangsung cukup lama, yaitu sejak 2012. Pria yang juga berprofesi sebagai penulis skrip film ini mengatakan, pada saat itu kegiatan Ngopi di Pasar tidak mengenakan charge kepada para pengunjung karena sebagian besar biji kopi premium yang dimiliki oleh ABCD Coffee didapatkan secara gratis atau cuma-cuma.

Sebagai kompensasinya, pengunjung dibebaskan memberikan apresiasi sesuai cita rasa kopi yang dipesan. Saat itu juga, Ve dan Hendri sudah memprediksi tak lama lagi di Jakarta akan penuh dengan kemunculan coffee shop, walau pengetahuan masyarakat akan kopi masih kurang. Melihat fenomena ini, Ve tidak ingin nantinya coffee shop yang menjamur tersebut hanya menjadi tren belaka tanpa ada fondasi kultur yang kuat. Maksudnya adalah, masyarakat pergi ke coffee shop tidak hanya untuk nongkrong, tetapi mereka benar-benar mencari kopi berkualitas. Karena itu, pada Agustus 2014, Ve dan Hendri sepakat mendirikan ABCD School of Coffee untuk menyebarkan pengetahuan mengenai kopi. ABCD ini sebenarnya adalah singkatan dari A Bunch of Caffeine Dealers. Sengaja disingkat, supaya ada kesan bahwa ia mengajarkan hal-hal yang mendasar dan fundamental seperti alfabet.


Saat ini ABCD School of Coffee sudah tidak melakukan kegiatan lagi di Pasar Santa. Sebab, ABCD School of Coffee sudah memiliki tempat baru di Jalan RP Soeroso Nomor 22, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat. Tempat baru tersebut terletak di dalam sebuah rumah dan saat ini baru memakai satu ruangan. Ke depan, tempat itu akan diubah menjadi sekolah kopi yang kapasitasnya empat kali lebih besar. Selain itu ABCD School of Coffee juga membuka Ruang Seduh di dua kota, yakni Jakarta dan Yogyakarta yang in line dengan visi awal, yakni tempat edukasi tentang kopi bagi masyarakat.

Ve menjelaskan, konsep yang diusung oleh Ruang Seduh bukan sebagai coffee shop ritel, melainkan sarana bagi masyarakat maupun pencinta kopi yang ingin belajar untuk menyeduh kopi sendiri. Dengan ruangan bar yang terbuka, konsumen bebas mondar-mandir. Mereka juga bisa mencoba belajar menyeduh kopi dengan bantuan para barista. Ve menekankan kepada seluruh barista di Ruang Seduh untuk dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan para konsumen yang datang ke sana. Dengan demikian, mereka tidak hanya menikmati kopi, tapi juga mendapatkan pengetahuan mengenai kopi. Sekarang ini, kata Ve, animo masyarakat untuk menikmati kopi sangat besar. Di mana-mana terjadi peningkatan kemunculan coffee shop. Misalnya di Balikpapan, Samarinda, Palembang, Purwokerto, Malang, dan Bandung.


Pada dasarnya, ABCD School of Coffee lebih banyak menelurkan owner coffee shop ketimbang barista, sebab kalau seseorang ingin belajar menyeduh kopi, bisa dilakukan di mana saja. Namun, menurut Ve, di ABCD School of Coffee, masyarakat tidak hanya diajarkan menyeduh kopi, tapi juga diberikan pengetahuan dasar mengenai kopi. Misalnya, perbedaan kopi robusta dan arabika, serta proses pembuatan kopi dari hulu sampai hilir. Ve mengatakan, memang sebagian besar orang yang bersekolah di ABCD School of Coffee tujuannya ingin membangun coffee shop sendiri dan mau mengetahui ilmu tentang kopi. Nantinya, saat mendirikan coffee shop, mereka sudah punya ilmunya. Kalau pun kemudian mereka ingin mempekerjakan barista, bisa mengerti spesifikasinya seperti apa. Selain itu, ada pula para pelajar maupun mahasiswa yang belajar di sekolah tersebut untuk menjadi barista profesional. Tak heran jika setiap tahun selalu ada murid ABCD School of Coffee yang mengikuti kejuaraan barista di tingkat nasional maupun internasional. Kebetulan, rekan Ve, Hendri adalah satu-satunya wakil Indonesia di World Barista Championship. 

Menurut Ve, jumlah sekolah kopi di Indonesia masih sedikit. Hal ini sangat ironis mengingat Indonesia merupakan negara nomor empat sebagai penghasil kopi di dunia. Sejauh ini, hanya ada dua tempat yang menjadi sekolah kopi, yakni ABCD School of Coffee dan Esperto. Sementara, ada pula tempat lain yang hanya menyelenggarakan kelas-kelas kopi, seperti Anomali Coffee, Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI), dan Caswell. Sedangkan, Korea Selatan sebagai negara yang tidak memproduksi kopi, memiliki jumlah sekolah kopi lebih banyak. Misalnya saja, di Seoul terdapat sekitar 300 sekolah kopi dan di daerah tersebut setiap coffee shop pasti memiliki kelas kopi. Menurut Ve, masyarakat Korea Selatan selalu mau tahu tentang kopi sehingga sekolah kopi di negara tersebut berkembang pesat. Sementara Indonesia sebagai negara penghasil kopi nomor empat di dunia, justru anak mudanya banyak tidak tahu tentang kopi.


Peserta di ABCD School of Coffee diikuti oleh seluruh kalangan, mulai dari anak muda sampai para pejabat negara yang sudah pensiun dan ingin terjun ke bisnis coffee shop. Selain itu, ada pula peserta dari luar negeri, seperti para ekspatriat dan istri-istri duta besar. Saat ini sudah banyak lulusan ABCD School of Coffee yang membuka coffee shop. Bahkan dalam beberapa bulan terakhir, setiap pekan selalu ada coffee shop baru yang didirikan oleh alumni ABCD School of Coffee. Ve mengatakan, ke depan ABCD School of Coffee akan melakukan sertifikasi internasional dari Amerika Serikat untuk laboratorium kopi yang dimiliki. Selain itu, juga akan memberdayakan petani kopi melalui sistem kerja sama. Nantinya, para petani kopi itu diberi pengetahuan tentang kopi, mulai dari cara mengolah lahan, membuat sistem pasca panen yang lebih rapih dan higienis, serta memberikan pengetahuan mengenai perkebunan kopi untuk meningkatkan kualitas kopi yang mereka tanam. Apabila kualitas kopi para petani meningkat, harga yang didapatkan akan semakin tinggi, dan hal ini bisa memberikan kesejahteraan bagi petani kopi. Selain itu, perkebunan kopi tersebut juga akan dimanfaatkan sebagai eco tourism. Ini bisa dijadikan fasilitas edukasi bagi masyarakat yang mau belajar tentang kopi.

Ve mengatakan, tren kopi sudah dimulai sejak awal 2015, namun menurutnya, tren tersebut agak kritis dan perlu ditinjau lebih lanjut apakah bisa bertahan lama atau tidak. Jangan sampai masyarakat merasa bosan sehingga pada akhirnya minum kopi atau ngopi hanya menguap sebagai tren belaka, dan tidak melekat menjadi salah satu budaya di masyarakat. Untuk mengantisipasi masa krisis ini, menurut Ve, perlu edukasi kepada masyarakat mengenai ilmu kopi. Dengan demikian, masyarakat semakin paham dengan kualitas kopi dan ketika mereka datang ke coffee shop tak cuma nongkrong saja, tapi mereka juga ingin mencari kopi yang berkualitas.


0 komentar:

Posting Komentar