Rabu, 24 Mei 2017


Bungsu dari 4 bersaudara ini, tak sekedar mengembangkan batik Madura ke kalangan yang lebih luas, tetapi sekaligus berinovasi dengan membuat batik aromaterapi, yakni kain batik yang mengeluarkan aroma wewangian menyegarkan. Perjuangan yang diawali sejak mahasiswa itu akhirnya membuahkan hasil. Kini, Warisatul Hasanah sukses berbisnis batik dengan brand Al Warits. Pesanan pun datang dari berbagai daerah, bahkan manca negara dengan omzet per bulan tak kurang dari Rp 500 juta.

Bagi Waris, begitu ia biasa disapa, keindahan kain batik tak sekedar pada kelembutan kain atau keindahan corak dan warnanya saja. Namun, lebih dari itu, bagaimana selembar kain yang merupakan warisan budaya adiluhung ini memiliki aroma sedap, sehingga membuat pemakainya lebih nyaman saat mengenakannya. Dari ide itulah, Waris kemudian menciptakan batik aromaterapi dan saat ini menjadi produk unggulan bisnisnya. Perjalanannya untuk bisa mencapai usaha seperti sekarang ini cukup panjang. Waris mengawalinya benar-benar dari bawah. Tepatnya sejak tahun 2008 ketika ia masih berstatus sebagai mahasiswa STIE Perbanas, Surabaya.

Tak bisa dipungkiri, kata Waris, apa yang ia dapat saat ini merupakan bentuk 'balas dendam'nya terhadap lingkungan ketika pertama kali menjadi mahasiswa. Ia sempat menjadi bahan olok-olok teman-temannya saat kuliah karena berasal dari Madura. Bahkan, seorang satpam kampus memanggilnya dengan sebutan "Duro", diambil dari kata Madura. Bagi sebagian orang, masyarakat Madura dipersepsikan dengan keterbelakangan. Akan tetapi, meski menjadi obyek bullying teman-temannya, tidak lantas membuat Waris minder. Sebaliknya, Waris justru merasa terlecut supaya bisa menjadi yang terbaik di antara mereka. Dan semua itu ia buktikan ketika prestasi akademiknya lebih tinggi, teman-temannya pun mulai berubah sikap. Mereka jadi lebih menghargai Waris dalam pergaulan sehari-hari.


Tak hanya dalam hal pencapaian akademik saja, Waris juga terpilih menjadi satu dari empat mahasiswa dan dua dosen untuk mengikuti Auditing Student Program (ASP) selama sebulan penuh bersama peserta dari berbagai negara di Edith Cowan University, Australia, secara cuma-cuma. Kesempatan itu tentu saja sangat membanggakan baginya, karena ia dapat menunjukkan kepada keluarga maupun teman di kampus bahwa dirinya punya prestasi. Dalam perjalanan berikutnya, Waris juga terpilih menjadi anggota Badan Perwakilan Mahasiswa.

Ketika di Australia itulah, niat Waris untuk mengembangkan batik semakin kuat. Ceritanya, sebelum berangkat mengikuti program ASP ke Australia, pihak penyelenggara meminta setiap peserta untuk mempresentasikan satu hasil karya dari negara atau daerahnya masing-masing di depan peserta dari negara lain. Pemaparan itu mulai dari proses, sejarah, sampai bagaimana karya tersebut memiliki nilai ekonomi. Awalnya, Waris sempat bingung apa yang mau ia tampilkan. Tetapi, setelah melalui berbagai pertimbangan, ia akhirnya memutuskan untuk mempresentasikan batik Madura. Kebetulan, keluarganya juga pembatik dan tinggal di Kecamatan Tanjung Bumi, Bangkalan, daerah yang dikenal sebagai salah satu sentra batik di Madura. Bahkan, tempat tinggalnya juga pernah digunakan beberapa mahasiswa asing yang ingin memperdalam batik.

Ketika mempresentasikan proses pembuatan batik beserta nilai ekonomisnya di depan mahasiswa dan dosen di Australia, semuanya terperangah. Mereka mengakui, batik dengan proses pembuatan yang begitu rumit dan penuh ketelatenan, adalah sebuah karya seni bernilai tinggi, tak ubahnya seperti seni lukis atau karya-karya seni yang lain. Munculnya gagasan untuk membuat batik aromaterapi sendiri datang secara tiba-tiba. Ceritanya, saat berada di Australia, Waris melihat ada sebuah ruangan di mana di dalamnya ditempatkan berbagai benda bernilai dari banyak negara. Dari Indonesia, Waris melihat hanya ada sebuah bongkahan kayu cendana yang di bawahnya tidak ditulis dari Indonesia, tetapi Yogya. Dari situlah muncul ide di benaknya, andaikata keharuman kayu cendana bisa digabung dengan batik, tentu akan makin menarik. Jadi, batik tidak hanya indah, tetapi juga mengeluarkan wewangian yang menyegarkan. Kalau itu bisa diwujudkan, pasti banyak orang yang suka dan batik pun sepertinya layak ditempatkan di ruangan tersebut.


Sepulang ke Indonesia, Waris makin tertantang untuk belajar batik lebih mendalam. Aktivitas itu ia lakukan malam hari sepulang kuliah. Waris memang kuliah di Surabaya, namun tetap tinggal di Bangkalan bersama keluarganya. Setibanya di rumah, ia tidak serta merta istirahat, tetapi diantar ayahnya, Ismail, untuk melihat proses pembuatan batik ke Tanjung Bumi yang jaraknya cukup jauh. Ia belajar semua seluk beluk membatik, mulai awal sampai proses akhir, termasuk pembuatan batik gentongan. Batik gentongan adalah batik yang proses pewarnaannya menggunakan pewarna alami dengan cara merendam kain batik di dalam gentong yang terbuat dari tembikar. Begitulah kegiatan Waris sehari-hari selama berbulan-bulan. 

Tak hanya itu, di sela-sela kegiatan perkuliahan, Waris juga kerap berdiskusi dengan para dosen yang selama ini membimbingnya di kampus untuk mewujudkan ide membuat batik aromaterapi. Oleh dosennya, Waris dianjurkan belajar pada produsen pembuat wewangian aromaterapi di Surabaya. Di sana, ia sempat beberapa saat belajar tentang bagaimana cara membuat minyak aromaterapi. Setelah mendapat ilmunya, Waris kemudian mencoba menerapkannya untuk wewangian di kain. Ternyata prosesnya tidak sesederhana yang ia bayangkan, karena setelah dicoba, ternyata warna kain batik yang telah direndam dengan cairan bahan aromaterapi memudar dan tidak cerah lagi.

Tapi Waris tak putus asa. Ia belajar lagi, mengurangi atau menambah formula bahan-bahan pewangi. Kali ini ia pilih yang tidak merusak warna. Akhirnya, ia menemukan formula yang tepat supaya batik tetap cerah meski diberi aromaterapi. Tetapi kemudian muncul persoalan baru. Setelah enam bulan, kain batik itu jadi berjamur. Waris pun melakukan uji coba lagi sampai akhirnya berhasil menemukan komposisi yang pas untuk menghasilkan batik aromaterapi sesuai harapannya. 


Awalnya, wewangian yang ia pilih adalah melati, mawar, dan cempaka. Tetapi sekaran sudah berkembang menjadi beberapa varian mulai dari stroberi, jeruk, sedap malam, serta eksotik. Waris menggunakan bahan-bahan tertentu, yang sampai sekarang masih menjadi rahasianya. Yang jelas, beberapa prosesnya antara lain perendaman, sampai pengeringan kain dengan oven. Aroma kain tersebut bisa bertahan sampai empat tahun. Meski dicuci, dijemur, diseterika, tidak akan hilang. Kalau orang menggunakan parfum hanya mampu bertahan empat hari, tetapi aroma kain ini bertahan sampai empat tahun. 

Setelah berhasil dengan batik aromaterapi, Waris mulai memasarkan batik Tanjung Bumi keluar daerah. Sebagai mahasiswa bisnis, ia menerapkan ilmu yang didapat dari kampus untuk mengembangkan usaha batik aromaterapi. Salah satunya dengan memasarkan batik Madura jutru bukan dari dalam Madura, tetapi dari luar. Karena bagi orang Madura, batik Madura dinilai biasa-biasa saja, karena itulah pengembangan awalnya bukan di Madura. 

Waris melakukan marketing dengan cara berjualan dari kampus ke kampus. Ia mengirim surat permohonan ke berbagai kampus di Surabaya untuk memasarkan batik bagi karyawan. Proposal tersebut ia kirimkan antara lain ke Universitas Airlangga, Universitas Sunan Ampel, Untag, Unitomo, dan masih banyak lagi. Begitu dapat respons kesediaan dari pihak perguruan tinggi, barulah ia datang dengan membawa batik dagangan. Bahkan, tak hanya menjual batik, tetapi Waris juga sekalian menerima pesanan jahitan. Kebetulan ibunya, Maryam, punya usaha menjahit. Dan, selain batik aromaterapi yang menjadi andalan, Waris juga tetap memproduksi jenis batik tulis biasa.


Usaha keras Waris pun lambat laun menampakkan hasil. Respons yang datang makin hari makin meningkat. Bahkan, tak hanya di Surabaya, tetapi juga merambah ke daerah-daerah lain hingga ke Jawa Tengah. Batik beraroma memang baru dirinya yang menjual. Waris pun kemudian memberi label batik aromaterapi dengan nama Al Warits, dan saat ini tengah dalam proses dipatenkan. Keberhasilannya membangun bisnis batik aromaterapi juga mengubah ekonominya. Dulu, kesana kemari Waris hanya menggunakan sepeda motor, tetapi seiring usaha batik aromaterapi yang mulai berkembang, saat mahasiswa pun Waris sudah punya deposito, mobil, dan segala kebutuhan lainnya. Padahal, ia berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Sejak SMP sampai SMA ia selalu mengandalkan prestasi di sekolah sehingga bisa bebas bayar uang sekolah.

Berkat keberhasilannya mengembangkan usaha batik aromaterapi, Waris juga mendapatkan apresiasi dari berbagai lembaga. Tahun 2013, Waris terpilih menjadi juara nasional Wira Usaha Mandiri dari Bank Mandiri, penghargaan sebagai Diplomat Success Chalenge (2015) dari Wismilak Foundation, dan pada tanggal 29 September 2016 ia juga mendapat undangan dari sebuah lembaga di Amerika untuk menerima penghargaan sebagai Creative Woman of The World. Tahun 2017 Waris mendapat beasiswa untuk melanjutkan program magister di Chicago University. Saat ini, Waris sudah memiliki beberapa outlet, baik di Madura maupun di daerah lain, seperti Surabaya, serta belasan distributor di beberapa daerah, termasuk Malaysia. Untuk Madura, Waris punya tiga outlet di beberapa tempat, total seluruh outletnya ada 17 tempat. Selain outlet milik sendiri, sebagian bergabung dengan outlet milik mitra kerja.

Terus terang, Waris tak punya resep khusus untuk meraih sukses. Prinsipnya cukup sederhana, yaitu manusia harus punya mimpi dan gigih memperjuangkan mimpinya agar menjadi nyata. Tapi, tentu harus didukung dengan doa. Ke depan, Waris ingin batik Madura lebih dikenal lagi sehingga memberikan dampak ekonomi yang lebih baik lagi bagi masyarakat. Waris akan terus berjuang supaya masyarakat Madura punya kemampuan yang bisa dibanggakan.







1 komentar: