Senin, 22 Maret 2021

Pandemi Covid 19 yang turut 'menyapa' Indonesia, berdampak pada banyaknya sektor usaha yang bangkrut atau tutup. Kalau pun ada yang mampu bertahan, para pelakunya harus memutar otak supaya usahanya tidak ikut-ikutan luluh lantak. Sektor fashion menjadi salah satu yang terdampak. Para pemilik usahanya yang masuk kategori UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) terpaksa harus menutup tokonya untuk sementara waktu, juga menghentikan proses produksi.

Salah satu jenama fashion yang terkena dampak pandemi adalah Gadiza. Satu bulan pertama sejak pandemi merebak, omzet Gadiza turun drastis. Meski begitu, pemiliknya Rosie Rahmadi memastikan tidak akan merumahkan karyawannya. Yang dilakukan Rosie di masa awal pandemi adalah membangun mental diri untuk menghadapi berbagai kondisi. Dia berusaha membangkitkan semangat dan mental tim, termasuk masalah kesehatan diri. Setelah itu, dia memulai koordinasi dengan timnya untuk menyusun strategi, agar mereka tetap bisa bertahan.

Strategi pertama yang dilakukan adalah mulai melakukan aktivasi digital. Sebelumnya, Gadiza lebih banyak bergerak di penjualan langsung atau luring.  Saat pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), otomatis butik Maison Gadiza yang ada di Jalan Margonda, Depok tidak bisa dibuka. Aktivasi digital yang dilakukan di antaranya adalah memaksimalkan media sosial dan laman web sebagai sarana penjualan dan branding. Mereka juga menerapkan strategi diskon untuk semakin menarik orang berbelanja di toko daring mereka. Hal itu juga sekaligus menghindari penumpukan stok yang berlebih.

Konten-konten yang dibuat dalam laman web mereka adalah live shopping, review produk, photoshoot mix and match, behind the scene, hingga story telling yang menarik tentang produk Gadiza. Selain tim marketing yang fokus pada penjualan produk sales yang masih ada, Gadiza juga membentuk tim riset dan produksi yang melakukan riset lebih dalam tentang produk-produk apa saja yang memang masih dibutuhkan saat pandemi. Yang tak ketinggalan, Gadiza juga mendesain dan mengembangkan lagi produk-produk lama yang kira-kira masih cocok digunakan.

Gadiza pun akhirnya meperkenalkan kembali produk Sazia Outer sebagai kostum luaran pelindung diri. Dengan desain yang sederhana, penggunaan bahan yang ringan dan tahan air menjadikan outer ini bisa digunakan sebagai pengganti APD. Uniknya lagi, desain Sazia Outer tidak hanya bisa digunakan oleh perempuan saja, tapi juga bisa untuk laki-laki alias unisex. Dan, hanya dalam waktu singkat, Sazia Outer yang awalnya masih melimpah di gudang, langsung habis diburu pembeli dan mereka pun harus memproduksi lagi.

Sazio Outer

Permintaan Sazia Outer sebagian besar datang dari orang yang masih harus beraktivitas di luar rumah, seperti dokter, pekerja kantoran, mau pun ibu rumah tangga. Kebanyakan penggunanya memiliki lebih dari satu Sazia Outer karena harus dicuci setelah dipakai, dan keesokan harinya harus dipakai lagi untuk kembali beraktivitas di luar.

Langkah yang sama juga dilakukan jenama Ija Kroeng di Aceh. Di masa awal pandemi, Maret 2020, pemiliknya Khairul Fajri Yahya telah menghentikan aktivitas produksi selama seminggu. Saat itu, penjualan mengalami penurunan hampir 99 %. Lalu, Khairul menemukan fakta, bahwa setelah ada anjuran dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) supaya masyarakat memakai masker kain sebagai salah satu upaya mencegah penyebaran virus corona, permintaan masker kain meningkat tajam. Akibat dari itu, terjadi kelangkaan masker dan harganya juga tidak normal lagi di pasar.

Kebutuhan yang besar ini pun akhirnya dimanfaatkan oleh  sebagian masyarakat umum untuk memproduksi masker kain sendiri dengan standar yang sudah ditentukan, baik untuk dijual maupun untuk dipakai sendiri. Lalu, untuk sektor bisnis fashion, khususnya yang memproduksi sendiri produknya atau minimal memiliki mesin jahit, termasuk salah satu yang masih mampu bertahan. Karena mereka bisa memproduksi produk-produk yang sangat dibutuhkan masyarakat dan tim medis, seperti masker dan alat pelindung diri (APD).

rumah produksi Iji Krueng
Kebetulan di Aceh, tidak semua rumah produksi bisnis fashion memiliki mesin jahit sekaligus alat cetak kain. Dan, Ija Kroeng yang memiliki mesin jahit dan peralatan cetak manual di tempat produksinya langsung mengambil kesempatan itu untuk memproduksi masker berlogo Ija Kroeng. Ternyata, produk masker Ija Kroeng diterima masyarakat. Permintaannya pada saat itu sangat tinggi, sehingga mereka pun membatasi untuk satu pembeli hanya bisa membeli 10 masker saja.

Selain menjual langsung masker berlogo Ija Kroeng di media sosial dan langsung di tempat usahanya, strategi pemasaran lainnya adalah dengan memproduksi sampel masker berlogo instansi atau perusahaan, seperti Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Aceh, Museum Aceh, Aceh Bussines Club, dan lainnya yang dianggap memiliki kemungkinan besar bisa memesan masker dalam jumlah besar untuk dibagikan kepada masyarakat. Kemudian, foto sampel masker itu langsung dipromosikan ke relasi yang ada di instansi dan perusahaan tersebut.  

Tidak menunggu waktu lama, orderan masker kain berlogo custom pun datang silih berganti sehingga Ija Kroeng harus menambah karyawan untuk mempercepat kapasitas produksinya. Secara tidak langsung, momen itu sangat membantu dalam mempromosikan jenama Ija Kroeng pada konsumen baru yang selama ini tidak bisa dijangkau. Yang pada akhirnya bisa menjaga eksistensi Ija Kroeng, dan menguatkan posisinya di mata konsumen.

Setelah dimulainya adaptasi kebiasaan baru, acara-acara pernikahan yang diselenggarakan di masjid pun sudah mulai diizinkan lagi. Ija Kroeng melihat ada peluang di sini, dan segera berinovasi lagi memproduksi masker kain bertuliskan nama pasangan pengantin sebagai cendera mata, yang bisa dibagikan kepada seluruh tamu undatang yang datang ke acara pernikahan tersebut.

Aksi serupa pun turut dilakukan desainer Hannie Hananto. Ketika pemerintah mengumumkan adanya kasus Covid 19 di Indonesia, dia langsung bergerak dengan menyiapkan infrastruktur penjahit. Karena dia menduga, kasus ini akan lama dan akan mengubah semua sistem. Hannie lantas mengubah sistem produksinya, dengan mengirimkan bahan baku dan gambar ke penjahitnya yang ada di Sumedang. Setelah selesai dikerjakan, mereka bisa mengirim balik ke Jakarta.

Tapi selain itu, Hannie juga memiliki banyak stok baju dan hijab untuk berbagai acara yang waktu penyelenggaraannya ditunda. Lalu, bagaimana cara menjual stok yang banyak itu tanpa harus diskon besar-besaran, karena itu adalah stok yang termasuk baru ? Solusinya adalah dengan berjualan langsung di Instagram. Tak hanya di Instagram saja, Hannie juga melakukan promosi di Tiktok. Dia ikut membuat video seperti yang biasa dilakukan kaum milenial, untuk mereview produknya. Ternyata, cara itu pun mendapat respons positif karena langsung mendekatkan desainer dengan pembelinya.

Saat masker masih langka, muncul pula ide Hannie untuk membuat masker yang sesuai dengan gaya desainnya dan dapat dicocokkan dengan motif hijab atau baju rancangannya. Menurutnya, membentuk image baru dari desain kita itu sangat penting untuk langkah ke depan. Karena itulah kita perlu peka atau responsif membaca apa yang sedang tren. Hannie memahami bahwa tren itu akan terus berjalan dan berubah setiap saat. Tidak ada yang tetap di dunia, karena yang tetap adalah perubahan itu sendiri.

Desainer asal Yogyakarta, Phillip Iswardono pun juga tak menampik bahwa pandemi merupakan pukulan berat untuk semua aspek bisnis, termasuk di sektor industri kreatif, khususnya fashion. Menariknya, secara pribadi mau pun dari sisi bisnis, Phillip mengatakan, bahwa usaha fashion retail siap pakai seperti yang dia jalani saat ini tidak terlalu mengalami penurunan omzet akibat efek pandemi.

Malah katanya, pandemi justru memberikan efek positif dalam peningkatan bisnisnya. Yaitu melalui penjualan secara daring di Instagram maupun Facebook. Hal dan langkah yang dilakukan Phillip pada saat wabah mulai meluas, yang pertama adalah dengan tetap menyelesaikan order dari pelanggan yang sudah datang di minggu pertama dan kedua. Kemudian, dia juga mulai memproduksi masker dengan menggunakan bahan perca dari sisa produksi.

Selain disumbangkan secara gratis, Phillip juga menjual masker-masker itu. Dia kembali menghubungi dan berkomunikasi dengan kliennya yang datanya sudah tersimpan di database. Selanjutnya, dia juga membuat koleksi siap pakai dengan desain yang lebih simpel, tapi penekanan pada desain yang unik, harga lebih murah, dan dengan promosi gratis ongkos kirim serta bonus masker. Dan ternyata efeknya sangat luar biasa bagus dan positif.

1 komentar: