Kehidupan ibarat roda yang berputar. Hal inilah yang dirasakan Edy Ongkowijaya sejak usia dini. Hidup di negeri orang telah menempa dirinya untuk kuat menghadapi ujian hidup dan mencoba mandiri.
Sejak
masuk Secondari School kelas 3, tahun 1993, Edy memang tinggal di
Singapura. Namun, setahun kemudian usaha otomotif milik Ayahnya bangkrut. Edy
sempat diminta kembali ke Indonesia oleh orang tuanya. Hanya saja, permintaan
itu tak lantas ia turuti. Ia lebih memilih berjuang mandiri, melalukan kerja
apa saja asal halal, agar bisa tetap menuntut ilmu di negeri singa itu.
Pekerjaan sebagai tukang cuci piring dan waiter
di restoran, sempat dilakoninya. Ia juga sempat menjadi guru les privat untuk
anak SD dan SMP. Untuk tempat tinggal, ia terpaksa menumpang di rumah temannya.
Tapi itu hanya berlangsung sementara saja. Ia lantas menyewa kamar kos seharga
200 dolar Singapura per bulan.
Tak
ada perasaan gengsi atau minder dalam dirinya, meskipun saat itu ia melihat
teman-temannya bisa hidup lebih baik darinya. Mungkin, sempat ada rasa cemburu
dan marah, ketika melihat teman-teman yang sesama orang Indonesia dan
bersekolah di Singapura bisa hidup foya-foya, makan kapan saja dan dimanapun
mereka mau. Sementara dirinya hanya bisa makan roti tawar dan minum air
pancuran yang kebetulan banyak terdapat di sisi jalan.
Untuk
mengakali agar bisa makan enak, ia memanfaatkan kemampuannya yang bisa besosialisasi
dengan baik dan menjadi akrab dengan pemilik kantin sekolahnya. Tiap pulang
sekolah, pemilik kantin yang biasa ia sapa ‘Pak Cik’ suka membungkuskan sisa makanan
hari itu untuk makan malam dirinya. Bila mengingat pengalaman itu, tak pelak
membuat Edy selalu ingin menangis. Bayangkan saja, sejak kecil ia tidak pernah
hidup susah. Ia mengibaratkan hidupnya dulu seperti madu yang rasanya manis,
hingga banyak didatangi lebah. Tapi ketika ia dan keluarganya jatuh terpuruk,
banyak teman yang menjauh karena takut dimintai uang. Dari pengalaman itu, ia
pun jadi tahu mana teman yang sesungguhnya.
Setelah
lulus SMA, teman-teman dari Indonesia-nya banyak yang meneruskan sekolah ke negara
lain, seperti Amerika Serikat atau Australia. Sementara ia tidak. Anak kedua
dari tiga bersaudara ini pun langsung meneruskan kuliah di Politeknik Nanyang,
mengamnbil diploma jurusan marketing. Kebetulan, sekolahnya itu mendapat
subsidi dari Pemerintah Singapura. Di masa kuliah itu juga, ia masih tetap
terus bekerja dan bisa mengirim uang ke Indonesia untuk membantu keluarganya.
Setelah
lulus kuliah, ia sempat bekerja di perusahaan Jepang hingga kehidupannya mulai
berubah dan jadi sedikit mapan. Kiriman uang untuk orang tuanya pun bisa
semakin besar, bahkan ia bisa membiayai adiknya sampai menikah. Ketika bekerja,
terbesit dalam pikirannya, bila ia terus bekerja di perusahaan orang lain, ia
tidak akan bisa menjadi orang kaya, meskipun gajinya saat itu lumayan besar.
Belum lagi, urusan kantor yang kerap membuatnya merasa bosan.
Suatu
hari, di tahun 2004, ketika sedang makan di restoran Es Teler 77, ia berpikir
untuk membuka usaha sejenis. Hanya saja saat itu ia belum memiliki modal.
Sampai akhirnya ia bisa bertemu dengan seorang pemodal yang mau membiayainya
membeli waralaba Es Teler 77. Setelah mengambil waralaba itu, ia pun
mendapatkan keuntungan yang semakin besar.
Keuntungan
itu ia dapatkan dari kebiasaannya yang suka bergaul dan berinteraksi dengan
orang lain, tak pandang bulu, termasuk kepada pelanggan restoran waralabanya.
Semua pelanggan dianggapnya sama. Ternyata kebiasaan itulah yang membuat
pelanggannya betah datang ke restorannya.
Karena
ingin terus berkembang, akhirnya ia pun melepas waralaba Es Teler 77 dan ganti
membeli waralaba Ayam Penyet Ria yang pernah dicobanya saat berkunjung ke Batam
di tahun 2006. Ia memang sangat menyukai masakan berbahan ayam. Setiap pulang
ke Indonesia, yang ia cari pasti masakan ayam tradisional Indonesia. Setelah
membuka warung makan ayam ini, media Singapura tertarik meliput, hingga usaha
keduanya ini pun semakin dikenal orang Singapura.
Pelanggan
yang ingin makan di warung makannya sampai harus rela antri. Hal ini pun jadi
sensasi baru bagi usahanya. Karena kesuksesan usahanya ini juga, pihak kampus
tempatnya kuliah, sempat mengundangnya untuk berbagi ilmu mengenai entrepreunership.
Oleh
karena ingin mandiri, dengan modal seadanya di tahun 2009 Edy memutuskan
membuka usaha sendiri benama Dapur Penyet. Dan siapa sangka, apa yang ia
lakukan itu ternyata diterima oleh warga Singapura. Bahkan secara tak langsung
membuat ayam penyet menjadi makanan lokal di Singapura. Dengan begitu, ia telah
berhasil membawa budaya Indonesia ke negara lain dan sukses. Dapur Peyet di Singapura
sudah diterima berbagai kalangan, bahkan menteri Singapura pun pernah memesan catering
padanya. Demikian pula pejabat Indonesia yang datang ke Singapura, juga suka memesan
catering darinya.
Keberaniannya
dalam mengambil kesempatan dan membuat usaha sendiri, tak lepas dari nasihat
ayahnya yang sempat bilang “lebih bagus berbuat salah tapi pernah berbuat,
daripada tidak pernah salah karena tidak pernah melakukan apa-apa”. Kalimat
itulah yang membuatnya berani melakukan sesuatu, termasuk dalam mengembangkan
usahanya.
Di
awal membuka Dapur Penyet, ia pun kerap menemui beberapa hambatan. Awalnya ia
membuka outlet Dapur Penyet di food court kawasan Jurong, Singapura.
Tak lama kemudian ia membuka cabang di Causeway Bay dan menyusul cabang-cabang
yang lainnya. Ia pernah sampai berurusan dengan Departemen Tenaga Kerja Singapura
karena dilaporkan memperkerjakan tukang masak ilegal. Padahal yang terjadi saat
itu, izin kerja tukang masaknya masih dalam proses pengurusan. Ia sempat
terancam masuk penjara. Namun untungnya di pengadilan ia hanya dikenakan denda
18 ribu dolar Singapura.
Kejadian
itu sempat membuatnya bingung bagaimana meneruskan usahanya, karena tukang
masaknya harus di deportasi. Karena bila ia mengganti dengan tukang masak lain,
dikhawatirkan akan mengubah rasanya. Dari situlah, ia merasa sudah saatnya membuat sistem memasak
yang benar. Di tahun pertama membuka usahanya, ia hampir ikut melakukan semua
tugas, walaupun telah memiliki karyawan. Selain mengurus manajerial, ia juga bertugas
di dapur, mencucui piriang, menjadi waiter,
dan membuang sampah. Ia selalu katakan kepada karyawannya, “ You don’t work for me, but you work with me.”
Di tahun 2010 usaha Dapur Penyet semakin berkembang. Mulai banyak orang datang untuk membeli waralabanya. Saat ini di Singapura sudah ada delapan waralaba. Ia selalu menseleksi pembeli waralaba-nya, terutama bagi yang benar-benar serius dan bisa bekerja. Intinya, ia juga ingin membuat orang lain sukses. Karena arti kata sukses baginya adalah ketika bisa pula membuat orang lain sukses.
Tahun
2011, ia diperkenalkan seorang teman kepada orang Malaysia yang ingin membuka
Dapur Penyet di Malaysia. Padahal setahun sebelumnya, ia tidak bisa masuk
Malaysia karena tiga orang yang ia tawarkan untuk membeli waralaba Dapur Penyet
menolaknya mentah-mentah.
Setelah
pertemuan pertama itu, akhirnya Dapur Penyet muncul di Kuala Lumpur, Malaysia.
Ia pun sampai harus mengubah konsep Dapur penyet menjadi modern layaknya
restoran fast food, di mana saat
orang datang, bisa langsung pesan makanan di counter. Tak lama buka di Malaysia, usahanya pun meraup sukses yang
besar. Dalam waktu dua tahun, sudah ada lima cabang Dapur Penyet di Malaysia. Lantaran
makin dikenal lewat Dapur Penyet, namanya pun sekarang jadi sering dipanggil
Edy Penyet.
Pada
Juli 2012, seorang teman kembali mengajaknya memasukkan usahanya di Indonesia.
Dan ia pun segera membuka cabang di ITC Roxy Mas, Jakarta. Tak disangka,
restorannya itu pun langsung ramai. Menyusul kemudian ia membuka di Plaza Semanggi,
ITC Mangga Dua, dan Mal Artha Gading, serta masih ada beberapa tempat lain yang
akan dibuka Dapur Penyet. Di Indonesia nama Dapur Penyet diubahnya menjadi D’Penyet.
Tak
berhenti di situ, tawaran lain pun datang dari negara lain seperti Australia,
Hongkong, dan Thailand. Hanya saja, tawaran itu perlu dipikirkannya secara panjang.
Karena dalam menjalankan usahanya, Edy selalu turun tangan sendiri jika
menemukan masalah. Maka itu, ia berpikir, jika membuka cabang di tiga negara itu,
bagaimana caranya ia bisa ke sana, bila menemukan masalah, karena dengan cabang-cabang
yang ada di tiga negara saja, ia sudah cukup kerepotan. Belum lagi soal
pengiriman bahan-bahannya. Tapi Edy tetap yakin suatu saat pasti bisa membuka
cabang di tiga negara itu, asal sistemnya sudah dibuat rapih terlebih dahulu.
Walau
lama di luar negeri, ia tidak akan pernah lupa, tempat asal kelahirannya. Untuk
itu di setiap cabang Dapur Penyet di luar negeri, ia selalu memajang wall paper yang bergambar kekayaan
budaya di Indonesia.
Rencana
ke depannya, ia ingin terus mengembangkan Dapur Penyet hingga ke Eropa. Pernah
ada pelanggan di Singapura yang asal Belanda, memesan 30 empal untuk dibawa ke
Belanda. Pelanggan itu bilang, empal buatannya sangat lezat. Ia memang
bermimpi, ingin membawa brand Dapur Penyet ini mendunia. Ia sadar, bahwa
mempertahankan lebih susah dibanding merebut. Untuk itu sampai sekarang ia
masih terus membangun sistem marketing-nya.
Selain
itu, Edy juga ingin membuat yayasan untuk anak-anak. Sebab ia selalu ingat akan
masa lalunya. Dengan yayasan itu, ia berharap bisa menyekolahkan anak-anak yang
ingin sekolah tapi tak punya biaya.
Edy
pun juga bermimpi ingin membuat perusahaan rekaman. Ternyata selain mengelola
Dapur Penyet, di tahun 2007 ia juga membangun usaha event organizer. Ia sempat
mendatangkan grup band Peter Pan ke Singapura. Ternyata acara itu sukses. Dan
sejak itu setahun sekali ia mengusahakan membuat konser di Singapura.
Berturut-turut setelah itu, di tahun 2008 ia mendatangkan grup band Samson,
tahun 2009 giliran band Ungu, tahun 2010 ia datangkan penyanyi Rossa. Dan ditahun
2013 ia menggelar konser mega bintang yang menampilan delapan artis Indonesia
dalam satu panggung di Compass Balroom, Resort World Convention Centre, Pulau
Sentosa, Singapura.
amura courier : layanan jasa kurir untuk wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Cepat, professional, dan bertanggung jawab. Tlp & sms : 085695138867
0 komentar:
Posting Komentar