Sabtu, 30 Agustus 2014




Ibu dua putri berdarah Palembang ini mulai memutuskan menjadi desainer busana muslim sejak tahun 2013. Ia berusaha mengikuti kata hatinya. Sebelumnya, Ayu memang mendesain busana wanita saja, bukan busana muslimah. Bahkan karyanya sempat digunakan oleh Miss World waktu datang ke Bali. Namun, menjelang bulan Ramadhan tahun 2013, ia mencoba iseng-iseng mulai membuat desain kerudung.

Semula memang sempat ada semacam perlawanan batin, karena dulunya ia suka membuat busana wanita yang agak terbuka dengan desain yang keren. Namun setelah dicoba, ternyata jalannya jadi lebih lapang dan lega. Bahkan saat mendesain dan membuatnya pun membuat perasaan Ayu lebih enak dan plong. Apalagi sekarang trend industri fashion muslimah di Indonesia sudah sangat ramai. Jadi Ayu berpikir, ketika karyanya masih tetap dihargai, itu berarti karena jalannya lebih diridhoi oleh Allah SWT. Walau busana yang ia ciptakan sekarang lebih sopan dan tertutup, tapi ia masih bisa menghasilkan uang dari usaha barunya ini.

Ayu melihat target market busana pesta muslimah untuk wanita usia 20-an tahun masih belum banyak digarap. Kebanyakan desainer busana muslimah lebih menggarap target market wanita dewasa. Jadi, ia ingin menyasar wanita usia muda ini sebagai target marketnya. Ketika ia mulai mendesain busana muslim, ia memang lebih bayak membuat busana untuk pesta malam, dengan gaya Eropa kuno atau ala princess. Signature style yang ia ciptakan paling menonjol ada pada bagian rok yang mengembang dan pemakaian bordir serta brokat yang cukup detail.




Namun, semakin ke sini banyak pelanggan yang mulai memintanya membuat model busana yang lebih simpel dan harganya terjangkau. Akhirnya, pada Ramadhan dan Lebaran tahun 2014, Ayu pun mulai memperluas target marketnya. Ia membuat busana yang ready to wear, salah satunya model kaftan yang bisa dipakai untuk acara-acara non formal seperti pengajian, untuk wanita usia 20 sampai 50 tahun. Dengan harga yang juga terjangkau, sekitar 1,5 juta ke atas.

Inspirasi mendesain bisa datang dari mana saja. Tapi signature cutting-nya memang tidak bisa lepas dari gaya Eropa kuno atau busana ala princess di masa itu. Ayu memang sangat menyukai gaya-gaya princess sejak kecil, yang kemudian diterjemahkan ke karyanya sekarang. Jadi, bila ada yang memakai busana muslim dengan rok panjang mengembang, pasti yang melihatnya akan langsung menyadari bahwa itu karya desainer Ayu Dyah Andarini. Sementara untuk pilihan warna, Ayu sebenarnya suka warna apa saja. Tapi ia memang lebih banyak membuat busana dengan warna pastel. Karena pada dasarnya ia memang pribadi yang tidak suka dengan warna-warna neon. Tapi untuk pelanggan, Ayu menyediakan semua jenis warna.

Busana yang ia buat, ada yang bahan bakunya semuanya total bahan lokal. Tapi ada juga yang bahannya impor. Biasanya ia suka membeli bahan baku ketika ada kesempatan jalan-jalan ke luar negeri. Sementara proses produksinya di lakukan di daerah Cibubur. Saat ini, ia sudah mempunyai 15 karyawan, plus sekitar 10 orang yang membantu produksi untuk busana ready to wear. Jadi bila ditotal ada sekitar 25 orang karyawannya. Dan Ayu bersyukur, setiap hari selalu ada produksi di workshop-nya.




Untuk promosi, Ayu lebih banyak menggunakan akun Instagram, walau sebenarnya itu lebih untuk branding saja awalnya. Tapi ternyata banyak yang tertarik membeli setelah melihat Instagramnya. Ayu menganggap dunia maya atau media sosial, terlebih Instagram, merupakan salah satu bentuk promosi yang bagus sekali untuk desainer pemula seperti dirnya. Dengan cara ini, karyanya jadi lebih dikenal orang. Karena dengan sekali klik, orang-orang bisa langsung melihat karyanya.

Saat ini Ayu sudah memiliki tiga brand untuk busana muslimah, yang dibedakan berdasarkan koleksi dan target market-nya. Untuk koleksi adi busana yang memakai banyak bordir, brokat, dengan potongan yang mewah dan detail, ia memakai nama brand Ayu Andari. Untuk busana ready to wear dengan aplikasi payet-payet, misalnya untuk baju Lebaran, ia memakai nama brand Anisyafa. Lalu untuk baju yang lebih simpel, kasual, dan bisa dipakai ke acara apa saja, ia memakai nama brand Aryanefa. Kedua brand itu ia ambil dari nama depan kedua anak perempuannya, Anisyafa dan Aryanefa. Dan semuanya, termasuk nama dirinya, diawali dengan huruf A. Jadi, sebagai mother brand, Ayu memakai logo huruf A dengan font khusus.

Setelah berjalan setahun fokus di bisnis busana muslimah, Ayu mengakui tidak menemukan kendala yang berat. Hanya saja, ia memang harus bisa mengakomodasi keinginan pelanggan namun tetap dengan signature style-nya yang sebetulnya butuh bahan yang eksklusif dan banyak, juga detail yang rumit. Sementara itu para pelanggan meminta harga yang terjangkau. Jadi, ia harus melakukan kompromi. Sejauh ini, hal seperti itu masih bisa teratasi. Di sisi lain, ternyata masih banyak orang-orang yang mengerti kualitas premium, bahan dan cutting yang bagus, serta paham detail. Ketika ia membuat busana seharga Rp 6 juta yang memang termasuk premium, dibandingkan dengan harga busana yang Rp 1,5 juta, mereka pasti akan memilih yang seharga Rp 6 juta.



Menyadari kompetisi bisnis busana muslimah yang saat ini sangat ketat, Ayu hanya berpegang pada satu prinsip, yakni konsisten mengusung style yang sejak awal ia tonjolkan, bahwa ia memang lebih kuat di busana yang glamor, bergaya princess dan Eropa kuno. Itulah yang selalu dipertahankannya. Jadi orang-orang akan langsung paham dan tahu, busana yang seperti itu adalah busananya Ayu Dyah Andarini. Jadi menurut Ayu, kunci agar tetap bisa bertahan di tengah hiruk pikuk persaingan bisnis yang sangat ketat, adalah harus konsisten dengan signature sendiri. Apalagi Indonesia sekarang sudah dianggap sebagai kiblatnya fashion busana muslim dunia. 


Ayu juga punya koleksi khusus yang bahannya ia padukan dengan kain tradisional Indonesia. Di tahun 2013 Ayu pernah mengeluarkan koleksi busana muslim dengan aplikasi tenun tajung dari Palembang. Ia memberinya nama koleksi itu Lady Merfeye. Koleksi ini diakui Ayu sangat istimewa dan membuatnya bangga sekali. Kain tenunnya ia pesan sendiri ke pengrajin di Palembang. Warna dan motif tenunnya pun juga ia pesan sendiri. Setelah diluncurkan, ternyata respons orang-orang sangat positif. Bahkan mereka yang berminat rela menunggu sampai 3,5 bulan untuk bisa mendapatkan busana karyanya ini.

Ayu memproduksinya memang sangat terbatas, karena bahannya langsung dipesan dari pengrajin, dengan harga per potongnya Rp 3,5 juta. Setiap motif hanya ia buat masing-masing 10 potong saja. Jadi ketika satu motif habis, Ayu harus menunggu pengrajin selesai menenun dulu sekitar 3,5 bulan lamanya. Memang dibutuhkan kesabaran, dan syukurnya para pelanggan juga mau menunggu. Hal inilah yang membuatnya bangga saat mengeluarkan koleksi ini. Terlebih, signature style-nya tetap dimunculkan lewat rancangan yang bernuansa Eropa kuno, dengan bordir-bordir gaya khas Venesia bercampur kain brokat. Ayu sengaja memilih tenun dan songket karena ia memang asli Palembang, jadi lebih dekat dengan dirinya.




Tidak ada waktu tertentu bagi Ayu untuk mendesain. Semuanya tidak pernah direncanakan. Biasanya ia mendapat ide bisa kapan saja dan di mana saja. Kalau idenya sedang lancar, ia bisa tidak berhenti menggambar, hingga tahu-tahu sudah jadi beberapa desain. Tapi kalau sedang buntu, mau dipaksakan bagaimana pun juga, idenya tidak akan keluar. Ayu mengaku ia memang sudah sejak kecil bercita-cita menjadi desainer dan hobi menggambar. Sejak duduk di bangku SD, bila ada yang bertanya cita-citanya mau jadi apa, ia pasti akan jawab menjadi desainer. Apalagi di masa itu, sang ibu juga sedang rajin-rajinnya membuat baju sendiri. Mau tidak mau ia pasti melihat kesibukan ibunya. Bahkan ia juga sering diajak belanja bahan kain, yang menurutnya sangat seru sekali. Apalagi ia juga sering dibuatkan baju-baju model princess oleh ibunya, yang selalu membuatnya sangat senang.

Keluarga besarnya pun sangat mendukung profesinya sebagai desainer. Terlebih ibunya dulu juga pernah memiliki bisnis fashion. Ketika mengetahui sekarang Ayu memilih fokus di dunia fashion, sang ibu tentu saja sangat mendukung. Begitu pula dengan suaminya. Karena bagaimana pun, ketika ia memutuskan mulai berbisnis, waktu untuk berada di rumah pasti lebih banyak dan fleksibel. Sebelum mendesain atau menggambar, ia masih sempat antar-jemput anak-anaknya ke sekolah. Malamnya ia juga masih bisa menemani anak-anaknya bermain atau belajar sebelum tidur. Ayu pun menyadari, sekarang ini ia lebih leluasa mengatur waktu kerja dibandingkan saat masih bekerja kantoran. Dulu ia sempat bekerja hampir enam tahun di Toyota Astra. Saat itu ia tidak punya banyak waktu untuk menemani anak-anaknya, karena waktunya harus mengikuti jadwal kerja kantor.

Kini kedua putri Ayu bahkan sudah menuruni bakat yang dimilikinya. Anaknya yang nomor satu sudah kelihatan bakatnya menggambar. Sementara yang kedua sudah mulai ikut-ikutan saat Ayu sedang memasang payet. Bahkan sejak usia 3 tahun, putri keduanya sudah pintar memasukkan jarum ke dalam lubang payet tanpa tertusuk jarum. Selain itu sang putri juga sudah pandai memadupadankan warna. Penglihatannya soal warna sudah tajam. Dia suka memberi Ayu masukan, tentang warna-warna apa saja yang cocok untuk dipadukan.

Ayu pernah mendaftar di ajang Indonesia Fashion Entrepreneur Competition di Indonesia Fashion Week tahun 2013. Waktu itu ia sengaja beranikan diri mendaftar dengan membuat busana yang desainnya membuatnya bangga. Inspirasinya datang dari rumah. Di salah satu sudut rumahnya, ada sebuah hiasan meja milik sang ibu yang terbuat dari logam warna emas, berupa ukiran khas Palembang. Lalu oleh Ayu diterjemahkan ke dalam motif bordir untuk diaplikasikan di bagian depan busana muslim. Walau tidak menang, tapi Ayu berhasil masuk 10 besar di kompetisi itu.

Selain menyukai fashion dan hobi menggambar, Ayu juga suka memasak. Apa pun bisa ia masak, tidak peduli kalau rasanya tidak enak, karena yang penting ia sudah berani mencoba resepnya. Ayu juga menginginkan kelak karyanya bisa ditampikkan di ajang Jakarta Fashion Week. Ayu yang memang sudah total menjadi desainer busana muslim, sangat menunggu kesempatan itu. Nantinya ia akan menampilkan karya, yang mulai dari jenis bahan, bordir, kain, dan motif semuanya ia buat sendiri. Ini akan menjadi koleksi mahakaryanya, dan ia sudah menyiapkan nama koleksinya untuk itu, yakni Witchery of Mandalika.

Ayu pun juga ingin bergabung dengan dua desainer lain yang juga sahabatnya, Ary Arkan dan Tuty Akbar. Mereka bertiga yang memang sudah sering bekerja sama, ingin menampilkan busana dengan aplikasi tenun Lombok. Orang luar negeri banyak yang mengatakan bahwa Lombok itu adalah ibarat putri yang sedang tertidur. Di sana alamnya sangat indah, tapi belum seramai di Bali. Kain tenunnya pun juga luar biasa indahnya. Namun pemilihan warnanya sangat mencolok, sehingga belum banyak diminati orang. Jadi, nantinya Ayu dan dua rekannya itu akan menyusun ulang kombinasi warnanya, yang disesuaikan dengan kebutuhan orang banyak. Ayu pun juga berniat akan melukis sendiri keindahan alam Lombok, yang diterjemahkan ke dalam motif kain brokatnya.




Ayu berharap, dirinya bisa membuat koleksi ready to wear sampai busana weeding. Ayu menambahkan, ia dan kedua temannya itu  bisa bertemu setelah sama-sama menjadi desainer. Bahkan bersama Ary Arkan, ia sudah dua kali menggelar show bareng dengan tema tenun. Sementara dengan Tuty Akbar, ia juga masih memiliki toko khusus busana muslim etnik ready to wear di The Canting Fx Mal, Sudirman, Jakarta.


















2 komentar:

  1. Tarima kasihh.. untkun info dan asrtilrknya sangat membantu...
    oya apakah di Eropa juga ada tren kaos kaki wanita seperti di Jepang dan korea...
    Mohon infonya..

    BalasHapus
  2. wah keren...busana rancangannya...
    kira2 itu harganya mahal juga gak ya...dan kalau untuk tempat kaos kaki muslimah yang koleksinya lengkap di bandung itu dimana ya...
    maaf ya kalau pertanyaannya tidak nyambung dengan artikel

    BalasHapus