Ibu dua putri berdarah Palembang ini mulai memutuskan menjadi desainer busana muslim sejak tahun 2013. Ia berusaha mengikuti kata hatinya. Sebelumnya, Ayu memang mendesain busana wanita saja, bukan busana muslimah. Bahkan karyanya sempat digunakan oleh Miss World waktu datang ke Bali. Namun, menjelang bulan Ramadhan tahun 2013, ia mencoba iseng-iseng mulai membuat desain kerudung.
Semula memang
sempat ada semacam perlawanan batin, karena dulunya ia suka membuat busana
wanita yang agak terbuka dengan desain yang keren. Namun setelah dicoba,
ternyata jalannya jadi lebih lapang dan lega. Bahkan saat mendesain dan membuatnya
pun membuat perasaan Ayu lebih enak dan plong. Apalagi sekarang trend industri fashion muslimah di Indonesia sudah
sangat ramai. Jadi Ayu berpikir, ketika karyanya masih tetap dihargai, itu
berarti karena jalannya lebih diridhoi oleh Allah SWT. Walau busana yang ia
ciptakan sekarang lebih sopan dan tertutup, tapi ia masih bisa menghasilkan
uang dari usaha barunya ini.
Ayu melihat
target market busana pesta muslimah
untuk wanita usia 20-an tahun masih belum banyak digarap. Kebanyakan desainer
busana muslimah lebih menggarap target market
wanita dewasa. Jadi, ia ingin menyasar wanita usia muda ini sebagai target marketnya. Ketika ia mulai mendesain
busana muslim, ia memang lebih bayak membuat busana untuk pesta malam, dengan
gaya Eropa kuno atau ala princess. Signature style yang ia ciptakan paling
menonjol ada pada bagian rok yang mengembang dan pemakaian bordir serta brokat
yang cukup detail.
Namun, semakin
ke sini banyak pelanggan yang mulai memintanya membuat model busana yang lebih
simpel dan harganya terjangkau. Akhirnya, pada Ramadhan dan Lebaran tahun 2014,
Ayu pun mulai memperluas target marketnya.
Ia membuat busana yang ready to wear,
salah satunya model kaftan yang bisa dipakai untuk acara-acara non formal
seperti pengajian, untuk wanita usia 20 sampai 50 tahun. Dengan harga yang juga
terjangkau, sekitar 1,5 juta ke atas.
Inspirasi
mendesain bisa datang dari mana saja. Tapi signature
cutting-nya memang tidak bisa lepas dari gaya Eropa kuno atau busana ala princess di masa itu. Ayu memang sangat
menyukai gaya-gaya princess sejak
kecil, yang kemudian diterjemahkan ke karyanya sekarang. Jadi, bila ada yang
memakai busana muslim dengan rok panjang mengembang, pasti yang melihatnya akan
langsung menyadari bahwa itu karya desainer Ayu Dyah Andarini. Sementara untuk
pilihan warna, Ayu sebenarnya suka warna apa saja. Tapi ia memang lebih banyak
membuat busana dengan warna pastel. Karena pada dasarnya ia memang pribadi yang
tidak suka dengan warna-warna neon. Tapi untuk pelanggan, Ayu menyediakan semua
jenis warna.
Busana yang ia
buat, ada yang bahan bakunya semuanya total bahan lokal. Tapi ada juga yang
bahannya impor. Biasanya ia suka membeli bahan baku ketika ada kesempatan
jalan-jalan ke luar negeri. Sementara proses produksinya di lakukan di daerah
Cibubur. Saat ini, ia sudah mempunyai 15 karyawan, plus sekitar 10 orang yang
membantu produksi untuk busana ready to wear.
Jadi bila ditotal ada sekitar 25 orang karyawannya. Dan Ayu bersyukur, setiap
hari selalu ada produksi di workshop-nya.
Untuk promosi,
Ayu lebih banyak menggunakan akun Instagram, walau sebenarnya itu lebih untuk branding saja awalnya. Tapi ternyata
banyak yang tertarik membeli setelah melihat Instagramnya. Ayu menganggap dunia
maya atau media sosial, terlebih Instagram, merupakan salah satu bentuk promosi
yang bagus sekali untuk desainer pemula seperti dirnya. Dengan cara ini,
karyanya jadi lebih dikenal orang. Karena dengan sekali klik, orang-orang bisa
langsung melihat karyanya.
Saat ini Ayu
sudah memiliki tiga brand untuk busana muslimah, yang dibedakan berdasarkan
koleksi dan target market-nya. Untuk
koleksi adi busana yang memakai banyak bordir, brokat, dengan potongan yang
mewah dan detail, ia memakai nama brand
Ayu Andari. Untuk busana ready to wear
dengan aplikasi payet-payet, misalnya untuk baju Lebaran, ia memakai nama brand Anisyafa. Lalu untuk baju yang
lebih simpel, kasual, dan bisa dipakai ke acara apa saja, ia memakai nama brand Aryanefa. Kedua brand itu ia ambil
dari nama depan kedua anak perempuannya, Anisyafa dan Aryanefa. Dan semuanya,
termasuk nama dirinya, diawali dengan huruf A. Jadi, sebagai mother brand, Ayu memakai logo huruf A
dengan font khusus.
Setelah
berjalan setahun fokus di bisnis busana muslimah, Ayu mengakui tidak menemukan
kendala yang berat. Hanya saja, ia memang harus bisa mengakomodasi keinginan
pelanggan namun tetap dengan signature
style-nya yang sebetulnya butuh bahan yang eksklusif dan banyak, juga
detail yang rumit. Sementara itu para pelanggan meminta harga yang terjangkau.
Jadi, ia harus melakukan kompromi. Sejauh ini, hal seperti itu masih bisa teratasi.
Di sisi lain, ternyata masih banyak orang-orang yang mengerti kualitas premium,
bahan dan cutting yang bagus, serta
paham detail. Ketika ia membuat busana seharga Rp 6 juta yang memang termasuk
premium, dibandingkan dengan harga busana yang Rp 1,5 juta, mereka pasti akan
memilih yang seharga Rp 6 juta.
Menyadari
kompetisi bisnis busana muslimah yang saat ini sangat ketat, Ayu hanya
berpegang pada satu prinsip, yakni konsisten mengusung style yang sejak awal ia tonjolkan, bahwa ia memang lebih kuat di
busana yang glamor, bergaya princess
dan Eropa kuno. Itulah yang selalu dipertahankannya. Jadi orang-orang akan
langsung paham dan tahu, busana yang seperti itu adalah busananya Ayu Dyah
Andarini. Jadi menurut Ayu, kunci agar tetap bisa bertahan di tengah hiruk
pikuk persaingan bisnis yang sangat ketat, adalah harus konsisten dengan signature sendiri. Apalagi Indonesia
sekarang sudah dianggap sebagai kiblatnya fashion
busana muslim dunia.
Ayu juga punya
koleksi khusus yang bahannya ia padukan dengan kain tradisional Indonesia. Di
tahun 2013 Ayu pernah mengeluarkan koleksi busana muslim dengan aplikasi tenun
tajung dari Palembang. Ia memberinya nama koleksi itu Lady Merfeye. Koleksi ini
diakui Ayu sangat istimewa dan membuatnya bangga sekali. Kain tenunnya ia pesan
sendiri ke pengrajin di Palembang. Warna dan motif tenunnya pun juga ia pesan
sendiri. Setelah diluncurkan, ternyata respons orang-orang sangat positif.
Bahkan mereka yang berminat rela menunggu sampai 3,5 bulan untuk bisa
mendapatkan busana karyanya ini.
Ayu memproduksinya
memang sangat terbatas, karena bahannya langsung dipesan dari pengrajin, dengan
harga per potongnya Rp 3,5 juta. Setiap motif hanya ia buat masing-masing 10
potong saja. Jadi ketika satu motif habis, Ayu harus menunggu pengrajin selesai
menenun dulu sekitar 3,5 bulan lamanya. Memang dibutuhkan kesabaran, dan
syukurnya para pelanggan juga mau menunggu. Hal inilah yang membuatnya bangga
saat mengeluarkan koleksi ini. Terlebih, signature
style-nya tetap dimunculkan lewat rancangan yang bernuansa Eropa kuno,
dengan bordir-bordir gaya khas Venesia bercampur kain brokat. Ayu sengaja
memilih tenun dan songket karena ia memang asli Palembang, jadi lebih dekat
dengan dirinya.
Tidak ada
waktu tertentu bagi Ayu untuk mendesain. Semuanya tidak pernah direncanakan.
Biasanya ia mendapat ide bisa kapan saja dan di mana saja. Kalau idenya sedang
lancar, ia bisa tidak berhenti menggambar, hingga tahu-tahu sudah jadi beberapa
desain. Tapi kalau sedang buntu, mau dipaksakan bagaimana pun juga, idenya
tidak akan keluar. Ayu mengaku ia memang sudah sejak kecil bercita-cita menjadi
desainer dan hobi menggambar. Sejak duduk di bangku SD, bila ada yang bertanya
cita-citanya mau jadi apa, ia pasti akan jawab menjadi desainer. Apalagi di
masa itu, sang ibu juga sedang rajin-rajinnya membuat baju sendiri. Mau tidak
mau ia pasti melihat kesibukan ibunya. Bahkan ia juga sering diajak belanja
bahan kain, yang menurutnya sangat seru sekali. Apalagi ia juga sering
dibuatkan baju-baju model princess
oleh ibunya, yang selalu membuatnya sangat senang.
Keluarga besarnya
pun sangat mendukung profesinya sebagai desainer. Terlebih ibunya dulu juga
pernah memiliki bisnis fashion.
Ketika mengetahui sekarang Ayu memilih fokus di dunia fashion, sang ibu tentu saja sangat mendukung. Begitu pula dengan
suaminya. Karena bagaimana pun, ketika ia memutuskan mulai berbisnis, waktu
untuk berada di rumah pasti lebih banyak dan fleksibel. Sebelum mendesain atau
menggambar, ia masih sempat antar-jemput anak-anaknya ke sekolah. Malamnya ia
juga masih bisa menemani anak-anaknya bermain atau belajar sebelum tidur. Ayu
pun menyadari, sekarang ini ia lebih leluasa mengatur waktu kerja dibandingkan
saat masih bekerja kantoran. Dulu ia sempat bekerja hampir enam tahun di Toyota
Astra. Saat itu ia tidak punya banyak waktu untuk menemani anak-anaknya, karena
waktunya harus mengikuti jadwal kerja kantor.
Kini kedua
putri Ayu bahkan sudah menuruni bakat yang dimilikinya. Anaknya yang nomor satu
sudah kelihatan bakatnya menggambar. Sementara yang kedua sudah mulai
ikut-ikutan saat Ayu sedang memasang payet. Bahkan sejak usia 3 tahun, putri
keduanya sudah pintar memasukkan jarum ke dalam lubang payet tanpa tertusuk
jarum. Selain itu sang putri juga sudah pandai memadupadankan warna.
Penglihatannya soal warna sudah tajam. Dia suka memberi Ayu masukan, tentang
warna-warna apa saja yang cocok untuk dipadukan.
Ayu pernah
mendaftar di ajang Indonesia Fashion Entrepreneur Competition di Indonesia
Fashion Week tahun 2013. Waktu itu ia sengaja beranikan diri mendaftar dengan
membuat busana yang desainnya membuatnya bangga. Inspirasinya datang dari
rumah. Di salah satu sudut rumahnya, ada sebuah hiasan meja milik sang ibu yang
terbuat dari logam warna emas, berupa ukiran khas Palembang. Lalu oleh Ayu
diterjemahkan ke dalam motif bordir untuk diaplikasikan di bagian depan busana
muslim. Walau tidak menang, tapi Ayu berhasil masuk 10 besar di kompetisi itu.
Selain
menyukai fashion dan hobi menggambar,
Ayu juga suka memasak. Apa pun bisa ia masak, tidak peduli kalau rasanya tidak
enak, karena yang penting ia sudah berani mencoba resepnya. Ayu juga
menginginkan kelak karyanya bisa ditampikkan di ajang Jakarta Fashion Week. Ayu
yang memang sudah total menjadi desainer busana muslim, sangat menunggu
kesempatan itu. Nantinya ia akan menampilkan karya, yang mulai dari jenis bahan,
bordir, kain, dan motif semuanya ia buat sendiri. Ini akan menjadi koleksi mahakaryanya,
dan ia sudah menyiapkan nama koleksinya untuk itu, yakni Witchery of Mandalika.
Ayu pun juga
ingin bergabung dengan dua desainer lain yang juga sahabatnya, Ary Arkan dan
Tuty Akbar. Mereka bertiga yang memang sudah sering bekerja sama, ingin
menampilkan busana dengan aplikasi tenun Lombok. Orang luar negeri banyak yang
mengatakan bahwa Lombok itu adalah ibarat putri yang sedang tertidur. Di sana
alamnya sangat indah, tapi belum seramai di Bali. Kain tenunnya pun juga luar
biasa indahnya. Namun pemilihan warnanya sangat mencolok, sehingga belum banyak
diminati orang. Jadi, nantinya Ayu dan dua rekannya itu akan menyusun ulang
kombinasi warnanya, yang disesuaikan dengan kebutuhan orang banyak. Ayu pun
juga berniat akan melukis sendiri keindahan alam Lombok, yang diterjemahkan ke
dalam motif kain brokatnya.
Ayu berharap,
dirinya bisa membuat koleksi ready to
wear sampai busana weeding. Ayu menambahkan, ia dan kedua temannya itu bisa bertemu setelah sama-sama menjadi
desainer. Bahkan bersama Ary Arkan, ia sudah dua kali menggelar show bareng dengan tema tenun. Sementara
dengan Tuty Akbar, ia juga masih memiliki toko khusus busana muslim etnik ready to wear di The Canting Fx Mal,
Sudirman, Jakarta.
Tarima kasihh.. untkun info dan asrtilrknya sangat membantu...
BalasHapusoya apakah di Eropa juga ada tren kaos kaki wanita seperti di Jepang dan korea...
Mohon infonya..
wah keren...busana rancangannya...
BalasHapuskira2 itu harganya mahal juga gak ya...dan kalau untuk tempat kaos kaki muslimah yang koleksinya lengkap di bandung itu dimana ya...
maaf ya kalau pertanyaannya tidak nyambung dengan artikel