Sejak masih bekerja di sebuah hotel berbintang di Yogyakarta, Harlina Dyah Wijayanti sudah senang berjualan. Setiap Rabu tiba, saat para karyawan di kantornya diwajikan berseragam batik, ia membawa baju batik untuk ditawarkan pada teman-temannya. Kebetulan, selain senang berjualan, perempuan yang akrab disapa Nina ini juga menyukai dunia anak-anak. Tak heran, muncul keinginannya untuk membuat baju anak-anak yang bernuansa etnik khas Indonesia. Lantaran ia tinggal di Yogyakarta, praktis ia memilih batik.
Untuk
produknya itu, Nina menginginkan kain batik yang berwarna cerah, bukan warna
sogan. Desainnya juga harus enak dipakai. Nina melihat peluang untuk busana
batik anak masih sangat terbuka, sementara kompetitor untuk busana batik dewasa
sudah banyak. Pada bulan November 2010 Nina pun memutuskan untuk mengundurkan
diri dari pekerjaan yang telah ditekuninya selama 10 tahun, untuk mulai
menggarap serius usahanya yang dinamakan Batik Kenes.
Nina memang
sengaja mencari bisnis yang bidangnya ia sukai. Kebetulan, selain menyukai kain
tradisional, lulusan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada ini memang senang
mendesain. Maka, Nina pun mantap bermitra dengan temannya, Prastiwi Ariani atau
Tiwi untuk menggarap Batik Kenes. Nina mengurus pemasaran, sementara Tiwi yang
mengawasi jalannya produksi. Awalnya, dengan mesin jahit bekas milik tante
Nina, mereka hanya membuat 15 baju anak dan menawarkannya di bazar dalam rangka
acara perpisahan di TK anaknya.
Nina senang
karena orangtua murid di sekolah anaknya merespons dengan bagus. Semua baju
yang dibawanya nyaris ludes. Beberapa kali, Nina membuat baju untuk uji coba
yang ia tawarkan ke orangtua murid di sekolah anaknya. Akhirnya ia menemukan
formula yang pas untuk baju batik anak yang disukai orangtua murid lainnya. Tak
lupa, ibu dua anak ini juga membuat katalog dan brosur yang ia sebarkan pada
mereka dan teman-temannya di pengajian serta bekas teman kerja di kantor lama.
Selain itu,
Nina juga memberanikan diri untuk menyewa gerai di sebuah mal besar di
Yogyakarta, meski biaya sewanya cukup mahal di mal tersebut. Sebagai brand baru, ia memang harus selalu
mencari cara agar Batik Kenes bisa dikenal banyak orang. Ternyata penjualannya
cukup bagus, malah ada pula permintaan untuk menjadi reseller. Nina pun juga menawarkan Batik Kenes lewat online, antara lain Facebook, Twitter,
dan situs www.kenes.co.id. Saat membuka gerai
di mal, ia sempat mengundang beberapa wartawan Yogyakarta yang dulu dikenalnya
semasa bekerja di hotel. Acara pembukaan gerainya pun dimuat di media lokal.
Setelah dua tahun, ia baru pindah dengan menempati sebuah toko yang ada di
Jalan Laksda Adi Sucipto.
Batik Kenes
sendiri, menurut Nina, menyasar anak usia 0-12 tahun. Nina yang mendesain seluruh
produk Batik Kenes banyak mendapatkan inspirasi dari majalah, internet, maupun
ketika melihat kain batik. Sengaja ia memberikan ciri khas konsep perca atau patchwork dalam baju yang didesainnya.
Selain tabrak warna dan motif, Nina juga mewajibkan kain Batik Kenes nyaman
dipakai dan modelnya khas anak-anak. Kain-kain yang digunakan dipotong-potong
dulu. Lalu potongan itu disambung satu per satu hingga menjadi baju perca, yang
ketika dijual sangat laris. Tak hanya baju, Nina pun kini juga mulai membuat
aksesori seperti bando, topi, bahkan boneka dari bahan perca itu.
Pada 2012,
Nina yang memulai usaha ini dengan modal Rp 20 juta mulai rajin ikut berbagai
pameran, antara lain Indonesia Fashion Week dan Inacraft. Sejak itu, pasar
Batik Kenes pun makin terbuka. Selain mendapat beberapa agen dan reseller, Nina juga diminta untuk
memasok Batik Kenes ke beberapa department
store besar di Jakarta da Bali, serta mendapatkan pembeli dari Jepang.
Batik Kenes pun juga mendapatkan bantuan antara lain dari Disperindag dan
menjadi binaan dari salah satu BUMN. Saat ini pembelian dari luar Jawa biasanya
dilakukan oleh agen dan reseller.
Nina juga
pernah mengikuti pameran ke Bangkok, Brunei, dan Melbourne, Australia. Dari
sana ia mendapatkan reseller dari
Bangkok, Sydney dan Melbourne. Bila sedang ada pameran, biasanya dalam satu
bulan Batik Kenes terjual 800-900 potong baju. Kalau ditambah aksesori, bisa
sampai seribu buah. Sementara pada bulan biasa penjualannya sekitar 700-1000
potong. Kalau ada permintaan ekspor, bisa tambah 250 potong. Permintaan untuk pasar
luar negeri biasanya laris saat musim panas.
Harga bajunya
sendiri mulai dari Rp 115.00 – Rp 260.000. Harga yang paling mahal merupakan
baju muslim lengkap dengan jilbabnya. Ada pula baju yang bisa dipesan sesuai
keinginan pembeli, yang kebanyakan untuk seragam keluarga, atau baju seragam
sekolah TK di Yogyakarta. Batik Kenes biasanya memang lebih laris saat musim
liburan, yaitu libur sekolah, Lebaran, dan akhir tahun dengan penjualan yang
bisa mencapai tiga kali lipat.
Setiap bulan
Nina menyediakan 10-15 model baru. Saat ada momen perayaan tertentu, biasanya
Nina mengeluarkan model baju sesuai momen tersebut. Misalnya, saat Lebaran,
Imlek, atau hari Kartini. Nina memberi tips merawat baju batik. Menurutnya,
selain jangan dicuci di mesin cuci, baju batik juga sebaiknya dijemur dengan
cara diangin-anginkan, bukan di bawah terik matahari langsung.
Harlina Dyah Wijayanti
Email : harlina_dw [at] yahoo [dot] com
Telp : 0274 - 379112
SMS : 0811283868
Email : harlina_dw [at] yahoo [dot] com
Telp : 0274 - 379112
SMS : 0811283868
0 komentar:
Posting Komentar