Rabu, 17 September 2014




Sejak masih bekerja di sebuah hotel berbintang di Yogyakarta, Harlina Dyah Wijayanti sudah senang berjualan. Setiap Rabu tiba, saat para karyawan di kantornya diwajikan berseragam batik, ia membawa baju batik untuk ditawarkan pada teman-temannya. Kebetulan, selain senang berjualan, perempuan yang akrab disapa Nina ini juga menyukai dunia anak-anak. Tak heran, muncul keinginannya untuk membuat baju anak-anak yang bernuansa etnik khas Indonesia. Lantaran ia tinggal di Yogyakarta, praktis ia memilih batik.

Untuk produknya itu, Nina menginginkan kain batik yang berwarna cerah, bukan warna sogan. Desainnya juga harus enak dipakai. Nina melihat peluang untuk busana batik anak masih sangat terbuka, sementara kompetitor untuk busana batik dewasa sudah banyak. Pada bulan November 2010 Nina pun memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan yang telah ditekuninya selama 10 tahun, untuk mulai menggarap serius usahanya yang dinamakan Batik Kenes.


Nina memang sengaja mencari bisnis yang bidangnya ia sukai. Kebetulan, selain menyukai kain tradisional, lulusan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada ini memang senang mendesain. Maka, Nina pun mantap bermitra dengan temannya, Prastiwi Ariani atau Tiwi untuk menggarap Batik Kenes. Nina mengurus pemasaran, sementara Tiwi yang mengawasi jalannya produksi. Awalnya, dengan mesin jahit bekas milik tante Nina, mereka hanya membuat 15 baju anak dan menawarkannya di bazar dalam rangka acara perpisahan di TK anaknya.

Nina senang karena orangtua murid di sekolah anaknya merespons dengan bagus. Semua baju yang dibawanya nyaris ludes. Beberapa kali, Nina membuat baju untuk uji coba yang ia tawarkan ke orangtua murid di sekolah anaknya. Akhirnya ia menemukan formula yang pas untuk baju batik anak yang disukai orangtua murid lainnya. Tak lupa, ibu dua anak ini juga membuat katalog dan brosur yang ia sebarkan pada mereka dan teman-temannya di pengajian serta bekas teman kerja di kantor lama.


Selain itu, Nina juga memberanikan diri untuk menyewa gerai di sebuah mal besar di Yogyakarta, meski biaya sewanya cukup mahal di mal tersebut. Sebagai brand baru, ia memang harus selalu mencari cara agar Batik Kenes bisa dikenal banyak orang. Ternyata penjualannya cukup bagus, malah ada pula permintaan untuk menjadi reseller. Nina pun juga menawarkan Batik Kenes lewat online, antara lain Facebook, Twitter, dan situs www.kenes.co.id. Saat membuka gerai di mal, ia sempat mengundang beberapa wartawan Yogyakarta yang dulu dikenalnya semasa bekerja di hotel. Acara pembukaan gerainya pun dimuat di media lokal. Setelah dua tahun, ia baru pindah dengan menempati sebuah toko yang ada di Jalan Laksda Adi Sucipto.

Batik Kenes sendiri, menurut Nina, menyasar anak usia 0-12 tahun. Nina yang mendesain seluruh produk Batik Kenes banyak mendapatkan inspirasi dari majalah, internet, maupun ketika melihat kain batik. Sengaja ia memberikan ciri khas konsep perca atau patchwork dalam baju yang didesainnya. Selain tabrak warna dan motif, Nina juga mewajibkan kain Batik Kenes nyaman dipakai dan modelnya khas anak-anak. Kain-kain yang digunakan dipotong-potong dulu. Lalu potongan itu disambung satu per satu hingga menjadi baju perca, yang ketika dijual sangat laris. Tak hanya baju, Nina pun kini juga mulai membuat aksesori seperti bando, topi, bahkan boneka dari bahan perca itu.


Pada 2012, Nina yang memulai usaha ini dengan modal Rp 20 juta mulai rajin ikut berbagai pameran, antara lain Indonesia Fashion Week dan Inacraft. Sejak itu, pasar Batik Kenes pun makin terbuka. Selain mendapat beberapa agen dan reseller, Nina juga diminta untuk memasok Batik Kenes ke beberapa department store besar di Jakarta da Bali, serta mendapatkan pembeli dari Jepang. Batik Kenes pun juga mendapatkan bantuan antara lain dari Disperindag dan menjadi binaan dari salah satu BUMN. Saat ini pembelian dari luar Jawa biasanya dilakukan oleh agen dan reseller.

Nina juga pernah mengikuti pameran ke Bangkok, Brunei, dan Melbourne, Australia. Dari sana ia mendapatkan reseller dari Bangkok, Sydney dan Melbourne. Bila sedang ada pameran, biasanya dalam satu bulan Batik Kenes terjual 800-900 potong baju. Kalau ditambah aksesori, bisa sampai seribu buah. Sementara pada bulan biasa penjualannya sekitar 700-1000 potong. Kalau ada permintaan ekspor, bisa tambah 250 potong. Permintaan untuk pasar luar negeri biasanya laris saat musim panas.


Harga bajunya sendiri mulai dari Rp 115.00 – Rp 260.000. Harga yang paling mahal merupakan baju muslim lengkap dengan jilbabnya. Ada pula baju yang bisa dipesan sesuai keinginan pembeli, yang kebanyakan untuk seragam keluarga, atau baju seragam sekolah TK di Yogyakarta. Batik Kenes biasanya memang lebih laris saat musim liburan, yaitu libur sekolah, Lebaran, dan akhir tahun dengan penjualan yang bisa mencapai tiga kali lipat.
Setiap bulan Nina menyediakan 10-15 model baru. Saat ada momen perayaan tertentu, biasanya Nina mengeluarkan model baju sesuai momen tersebut. Misalnya, saat Lebaran, Imlek, atau hari Kartini. Nina memberi tips merawat baju batik. Menurutnya, selain jangan dicuci di mesin cuci, baju batik juga sebaiknya dijemur dengan cara diangin-anginkan, bukan di bawah terik matahari langsung.





Harlina Dyah Wijayanti
Email  : harlina_dw [at] yahoo [dot] com
Telp    : 0274 - 379112
SMS   : 0811283868

0 komentar:

Posting Komentar