Noviyanto berhasil sukses mengangkat nama daerahnya, Boyolali, dengan produk keju Indrakila. Meski begitu, bapak dua anak ini tak berpuas diri. Ia berusaha terus mengembangkan produk sekaligus mengangkat harkat peternak. Sebenarnya Noviyanto tidak pernah punya tujuan untuk membuat produk keju. Awalnya, ia hanya diminta untuk mendampingi tenaga ahli dari Jerman pada proyek kerja sama Indonesia-Jerman Deutscher Enwicklungsdient (DED). Tenaga ahli yang bernama Benjamin Siegl itu kebetulan adalah ahli mengolah produk susu.
Sebetulnya,
menurut Noviyanto, masyarakat Indonesia sudah banyak yang tahu bahwa susu bisa
diolah menjadi karamel, kerupuk, sabun dan berbagai produk olahan lain. Tapi
semangat untuk melakukannya belum ada, termasuk mengolahnya menjadi susu.
Namun, setelah mendapat kesempatan untuk bertemu pada ahlinya, Noviyanto
memberanikan diri untuk membuat rekomendasi ke pemerintah Boyolali. Dia
mengusulkan, susu yang tidak berkualitas yang dihasilkan dari peternakan susu
di Boyolali bisa dijadikan sabun, sementara yang berkualitas dijadikan keju. Sayangnya,
dukungan pemerintah pada waktu itu tidak begitu besar, karena dianggap pasarnya
tidak ada.
Ketika
Benjamin akan berakahir masa tugasnya dan harus pulang ke negaranya, maka
pekerjaan Noviyanto pun akhirnya harus selesai juga. Tapi waktu itu, Noviyanto
langsung mengusulkan pada Benjamin agar mau membantunya secara pribadi. Noviyanto
berkeinginan untuk mendirikan sebuah lembaga yang nantinya bisa menjual produk
keju yang mereka hasilkan. Ia pun sampai harus meminta izin ke pemerintah agar
Benjamin diperbolehkan untuk membantunya. Dan setelah izin itu dikeluarkan pada
tahun 2009, Noviyanto dan teman-temannya sepakat untuk merintis usaha pembuatan
keju. Waktu itu modal yang terkumpul untuk memulai usaha tersebut sebanyak Rp
500 juta. Noviyanto memang menjadi pemodal terbesar. Ia bersama teman-temannya
tergabung dalam Forum For Economic Development and Employment Promotion (Fedep)
Boyolali yang telah mendirikan Koperasi Simpang Usaha (KSU) Boyolali dengan
anggota para peternak susu.
Awal produksi
mereka belum berpikir untuk jualan, tapi hanya untuk memperlihatkan saja dulu.
Tidak berharap akan dapat sambutan. Mereka sadar produk tanpa market tidak realistis. Jadi kunci
kesuksesan sebuah produk memang terletak pada market-nya, sementara Noviyanto sendiri tidak tahu sama sekali
tentang ilmu marketing, karena
dirinya adalah lulusan arsitek. Jadi menurut Noviyanto, waktu itu ia masih trial and error untuk menemukan formula
yang tepat membuat keju yang bisa diterima.
Noviyanto
memilih nama Indrakila, yang diambil dari kisah pewayangan. Indrakila merupakan
tempat Arjuna berdoa sebelum perang melawan Kurawa. Jadi inti dari pemakaian
nama itu adalah, sebagai tempat untuk berdoa. Ia menganggap usaha pembuatan
keju ini adalah bagian dari doanya. Selain itu nama Indrakila juga lebih mudah
diingat dan diucapkan oleh lidah orang asing, daripada kata yang memakai huruf
konsonan mati di belakangnya. Soal pemilihan nama Indrakila juga digodok bersama
Benjamin. Meski terkesan Jawa, tapi sangat mudah diingat. Karena menurut
Noviyanto, banyak produk lokal yang membawa nama lokal tapi ternyata tidak
mudah untuk diingat.
Produk keju
Indrakila mulai dijual di tahun 2010. Saat itu produksinya masih kecil sekali,
hanya 10 kg dari 200 liter susu yang diproduksi setiap hari. Sementara produksi
hanya dilakukan seminggu tiga kali. Dan Noviyanto masih menemukan permasalahan
yang sama, yakni belum ada marketnya.
Ia masih menggunakan cara yang konvensional. Dulu, ia memang belum mengenal
media jejaring sosial seperti Facebook. Ia menawarkan produknya dengan cara
menawarkan ke teman-teman Benjamin. Para ekspatriat itu diminta untuk mencoba produk
keju olahan Indrakila sekaligus mau membantu memasarkannya. Ia juga terbuka
untuk menerima masukan apa saja yang kurang dari produk keju yang dihasilkannya
itu. Sampai akhirnya, para ekspatriat itu mau memesan hanya untuk menolong
dirinya. Noviyanto pun mengaku sangat berterima kasih sekali atas dukungan
mereka.
Para
ekspatriat itu memang penasaran dengan keju lokal. Selain itu mereka juga cukup
bangga bahwa kehadiran ekspatriat dengan dukungan orang lokal yang tepat,
ternyata bisa membuahkan hasil yang baik. Dan ternyata, dari situlah permintaan
untuk keju dari mereka datang secara kontinyu. Saat itu bentuk penjualan memang
eksklusif karena langsung ke end user.
Kebetulan teman-teman Benjamin yang ada di beberapa kota seperti Yogyakarta,
Semarang, dan Surabaya juga banyak yang membuka usaha kafe ataupun restoran.
Noviyanto
bersyukur, meski perkembangan usahanya dibilang lambat tapi terus berjalan
maju. Di tahun 2010 hingga 2011 itu, ia berusaha keras meningkatkan produksi
agar gaji karyawan yang waktu itu baru Rp 300.000 bisa meningkat pula. Bila
produksi meningkat, tentu harus mencari pasarnya pula. Beruntung, waktu itu ada
seorang ekspatriat dari Bali yang menghubunginya dan mengatakan mau membantu
dengan memesan keju per minggu sebanyak 200-300 kg. Noviyanto pun semakin
bersemangat karena produk Indrakila justru disukai oleh orang Eropa. Hal itu berarti,
produknya yang asli dalam negeri sebenarnya sudah mampu bersaing dan punya
kualitas yang bagus. Di sisi lain beban Noviyanto sudah semakin berat. Ada
kafe, karyawan, dan peternak yang tergantung pada kelancaran produksi keju
Indrakila.
Sejak awal,
Noviyanto memang sudah memberikan harga susu yang lebih tinggi dari harga
pasar. Ia sudah memiliki sumpah untuk mengangkat derajat peternak. Jadi ia harus
memastikan semuanya berjalan secara kontinyu. Saat ini dengan 100 peternak yang
bisa menghasilkan 1000 liter susu/hari, untuk menjadi keju hanya dibutuhkan 10 persennya
saja. Biasanya permintaan cukup tinggi saat menjelang Natal atau pun peak season yang bisa sampai 100 kg/hari.
Seiring berjalannya waktu, dan dengan bantuan teman-teman media juga, nama Keju
Indrakila pun mulai semakin terdengar. Noviyanto pun bertekad bahwa usaha ini
bisa terus berjalan, tidak boleh bangkrut, dan semakin bertambah maju.
Dalam usahanya
ini Noviyanto memang ingin memberdayakan peternak. Ia tidak pernah punya
keinginan untuk membuat peternakan sendiri, karena ia tidak ingin dicap sebagai
kapitalis murni yang menguasai hulu sampai hilir. Baginya, semuanya sudah ada
pembagian rezekinya. Ia berpikir lebih baik perkembangan usahanya lambat, tapi
yang penting bisa terus berkembang. Saat ini, dengan produksi 1000 liter per
hari saja ia sudah berperan ke 100 peternak. Ke depannya, ia berharap volumenya
bisa terus meningkat, misalnya sampai 10.000 liter per hari. Bila suatu hari
hal ini terjadi, bukan tidak mungkin ia bisa memberikan sistem member. Member ini berbentuk kartu anggota untuk para peternak yang bisa
memberikan beragam manfaat, seperti diskon dan fasilitas kesehatan.
Tujuannya ini
memang bukan sekedar iming-iming belaka. Karena ada hal lebih menarik yang
ingin dicapai Noviyanto, yakni supaya nantinya ada peternak yang ingin anaknya
juga menjadi peternak. Baginya hal ini cukup penting. Karena ia berpikir
bagaimana mungkin negara kita mau swasembada susu, sedangkan kenyataannya tidak
ada satu peternak pun yang menginginkan anaknya jadi peternak juga. Malah
biasanya mereka sering merencanakan menjual sapinya untuk membiayai anak
sekolah. Itu sebabnya, menurut Noviyanto, peternak mesti diiming-imingi bahwa
pekerjaan mereka itu sangat menghasilkan. Kalau sudah tercipta budaya seperti
itu, maka akan semakin memudahkan Noviyanto untuk mengolahnya. Jadi ia memang
bertujuan nantinya para peternak itu punya faslitas. Daripada mereka harus
membayar BPJS misalnya, lebih baik dipotong saja dari harga jual susunya. Dari
situ mereka bisa menyewa dokter selevel Puskesmas.
Hingga saat
ini Keju Indrakila sudah mempunyai 9 varian, beberapa di antaranya seperti mozzarella fresh, mozzarella kuning, feta olive
oil, feta chili, mountain chili, dan boyobert. Boyobert
merupakan jenis keju seperti camembert,
tapi ia sengaja rubah namanya dari gabungan kata Boyolali dan camembert. Inovasi yang dilakukan untuk
produk pun terus ada dan disesuaikan dengan permintaan pasar. Misalnya, pernah
ada keju mozzarella yang dibuat
bulat-bulat kemudian ditaruh dalam air. Produk tersebut masa expired-nya hanya 7 hari, dan bila sudah
expired akan lumer menjadi air. Dan kebetulan
ada pelanggan di Bali yang memintanya untuk membuat keju mozzarella fresh jenis itu.
Walau
sebenarnya ia tidak terlalu tertarik, tapi karena merupakan permintaan, Noviyanto
tetap membuat keju jenis itu sebanyak 10 kg, sekalian untuk uji coba. Ternyata
ia bisa memproduksinya. Tapi karena hasilnya belum sempurna, harga jualnya masih
setengah dari harga pasaran pada umumnya. Karyawan yang bekerja padanya dari
awal pun menyarankan agar ia bisa serius dengan keju jenis ini. Akhirnya, ia
pun terus mencoba membuat sampai akhirnya produk ini bisa benar-benar diterima.
Kini pelanggannya sekali pesan bisa sampai 60 kg. Dan saat ini juga masih ada
satu produk yang tengah dikembangkan, berencana dikeluarkan di tahun 2015.
Masalah
kompetitor, menurut Noviyanto, sebenarnya di Indonesia memang ada beberapa
produsen keju. Namun karena varietas keju itu sangat banyak, maka orang pun
akan mempunyai kesukaan masing-masing. Masing-masing punya perbedaan, karena pengolahnya
memang berbeda dan susu yang dihasilkan pun juga beda. Perbedaan pada flavour itu biasanya terletak pada kadar
lemak dan kadar proteinnya. Dan yang menjadi kebanggaan Noviyanto, ia bisa
menemukan sendiri formula yang tepat untuk semua produk Keju Indrakila,
meskipun dengan perjuangan yang tak mudah. Ia bersyukur, saat itu masih ada
Benjamin yang terus membantunya. Baginya proses trial error itu merupakan pengalaman yang luar biasa.
Noviyanto mengakui,
sampai saat ini ia tidak bisa selalu membedakan tiap tipe keju. Benjamin memang
pernah mengatakan bahwa ia harus mengenali beragam flavour keju. Tapi sampai saat ini ia hanya melakukan tes di konsumen
saja. Jadi ia cukup mempercayakan kepada konsumennya yang ekspatriat. Kalau
mereka mengatakan kejunya bagus, maka ia cukup percaya saja. Sama dengan bisnis
lainnya, masing-masing pasti memiliki pendekatan yang berbeda terhadap
konsumennya. Misalnya, konsumen lokal selalu meminta keju yang berwarna kuning
karena lebih familiar. Padahal keju olahannya dibuat natural tanpa pewarna.
Seiring berjalannya waktu, Noviyanto pun jadi tahu jenis keju untuk lokal dan
konsumen dari luar.
Di tahun 2012,
ada kawan Noviyanto yang bekerja di Majalah Tempo menyarankannya untuk
berpromosi lewat Facebook. Dari kawannya itu ia juga tahu bahwa di Facebook juga
terdapat banyak komunitas. Dan kawannya itu mau membantunya mengikutkannya ke
komunitas-komunitaa itu. Sang kawan memang tahu semua grup makanan yang ada di
Yogyakarta. Salah satunya komunitas Langsung Enak. Saat Noviyanto baru masuk ke
sana, member-nya masih 2000 orang, tapi sekarang sudah mencapai 58.000 anggota.
Di komunitas itu juga terdapat ibu-ibu yang suka memasak. Di situlah ia bisa
memperkenalkan Keju Indrakila. Misalnya, begitu ada lomba masak, nanti ia akan
mengirimkan pemenangnya 1 kg produk keju Indrakila. Dan pada akhirnya, teman-teman
di Facebook inilah yang menjadi reseller
kecil-kecilan Keju Indrakila.
Saat ini
kira-kira sudah ada 15 reseller yang
perbulannya memesan sampai 20-30 kg. Para reseller
itu ada yang berada di Sulawesi, Kalimantan, Sumatera. Untuk Pulau Jawa ada di
kota seperti Surabaya, Semarang, Ungaran, dan masih banyak lagi. Persyaratan
untuk menjadi reseller juga tidak
rumit. Sederhana saja. Bahkan kalau keju yang dikirimkan rusak, ia akan
mengirimkannya lagi dengan yang masih bagus. Misalnya, pernah ada kiriman ke
Lombok. Karena pesawatnya delay dan
lama di perjalanan, kejunya pun jadi rusak dan minta dikembalikan.
Untuk
memasarkan produknya, Noviyanto lebih memilih pasar di Bali daripada di Jakarta.
Dan memang sampai saat ini ia belum mau masuk pasar Jakarta, walau sebenarnya
permintaan di Jakarta cukup besar. Semuanya masih terkendala pada pengiriman.
Ia lebih suka memasarkan di Bali yang dalam perjalanannya tidak begitu macet
seperti di Jakarta. Sedangkan di Jakarta kalau kondisi di jalan macet dan butuh
waktu 24 jam, maka kejunya bisa rusak. Untuk pengiriman skala medium ke bawah
hal seperti itu memang masih sulit, kecuali bila ia sudah punya mobil ekspedisi
sendiri seperti mobil pengantar es krim.
Tentunya
banyak hambatan dan kendala yang Noviyanto hadapi selama mengembangkan produk Keju
Indrakila ini. Salah satunya adalah untuk menguasai pasar lokal. Konsumen lokal
memang belum banyak yang tahu produk yang sesuai dengan kebutuhan. Misalnya,
ada yang berpikir bahwa keju mozzarella
itu pemakaiannya dengan cara diparut, padahal harusnya dipotong-potong saja.
Intinya perilaku konsumen memang beragam. Namun di tengah keterbatasan itu, ia
selalu berusaha keras untuk terus mengembangkan usahanya.
keju.indrakila@gmail.com
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusRezeki ada dimana - mana, dimana - mana ada rezeki. Mau belajar silakan ke http://www.restodijual.net salam kuliner.
BalasHapus✔ Obat Penggugur Kandungan
BalasHapus✔ Penggugur Kandungan
✔ Obat Peluntur Janin
✔ Cytotec Asli
✔ Obat Aborsi
✔ Obat Bius
✔ Obat Bius Cair
✔ Obat Bius Hirup
✔ Obat Bius Semprot
✔ Obat Bius Bekap
✔ Obat Bius Spray
✔ Obat Tidur
✔ Obat Tidur Cair
WA / SMS : 081 325 000 880