Kamis, 27 November 2014




Ibu dua anak yang tinggal di Magelang, Jawa Tengah ini tak menyangka bakal memiliki bisnis sarung tangan. Makin tak terduga lagi. Ternyata sarung tangan produksinya berhasil diekspor ke berbagai negara Eropa, termasuk ke beberapa perusahaan terkemuka dunia.

Bisa berkecimpung di bisnis sarung tangan ini bermula di tahun 2010. Ketika itu setelah Gunung Merapi meletus, ada sebuah perusahaan dari Korea yang batal membuka pabrik di Magelang. Padahal, mereka sudah merekrut dan mendidik 150-an orang untuk jadi pegawai. Mesin-mesin untuk produksi juga sudah didatangkan. Pihak perusahaan Korea itu lalu menawari Wing untuk mengambil alih tenaga yang sudah dididik tersebut dan memanfaatkannya untuk memproduksi sarung tangan. Jadi, Wing tinggal menyediakan ruangan untuk produksi. Nantinya perusahaan dari Korea itu yang akan memesan dan semua bahan baku juga mereka yang menyediakan.

Meski sebelumnya tak punya pikiran untuk berbisnis di bidang jahit menjahit, namun Wing berpikir tak ada salahnya untuk mencoba. Lalu, ia pun mengambil sebagian pegawai itu, ditambah orang baru, hingga total pegawainya sekitar 75 orang dan hampir semuanya perempuan. Karyawan lelaki memang menjadi minoritas, salah satunya adalah pimpinan produksi, yang kebetulan orang kepercayaan Wing sejak lama. Produksi pun mulai berjalan, namun ternyata tidak semudah yang dibayangkannya. Di Magelang, para perempuan yang lulusan SMP-SMA biasanya lebih senang bekerja menjadi pembantu rumah tangga atau pelayan toko. Sementara di tempat kerjanya, mereka berada dalam situasi yang tertib dan quiet time dimana pada jam-jam tertentu tidak boleh mengobrol dan memegang ponsel. Pekerjaannya sendiri dalam pantauan dan tekanan, karena memiliki target. Pendeknya, mereka benar-benar bekerja secara individual. Dan lantaran belum terbiasa, banyak pegawai yang saling bertengkar dan tidak kerasan.

Masalah lainnya adalah, tempat tinggal para pegawai banyak yang jauh dari tempat produksi, sehingga mereka harus beberapa kali berganti angkutan umum. Jadi upah mereka lebih banyak digunakan untuk ongkos. Ada juga provokasi terhadap pegawai lain untuk keluar dari pekerjaan. Akhirnya, semua itu berpengaruh pada proses produksi. Belum lagi, masalah dari orang-orang di sekitar rumah yang juga Wing ajak menjadi pegawai. Karena merasa dekat denganya, mereka banyak yang ingin jadi pemuka meskipun kemampuannya nol. Masalah yang juga vital adalah usia. Kebanyakan pegawai berusia 15-30 tahun, di mana itu adalah masa-masa mereka menikah dan hamil. Kalau sudah kondisi seperti itu, mereka pun akan susah diminta bekerja lagi.

Wing pun terpaksa berkali-kali bongkar pasang pegawai. Ia harus mencari dan mengajari lagi pegawai baru mulai dari nol. Padahal, pekerjaannya sangat rumit. Setiap orang hanya mengerjakan satu tugas, bukan mengerjakan dari membuat pola sampai jadi. Ada yang khusus memotong, ada yang hanya menjahit bagian luar, variasi, dan sebagainya. Quality control sangat ketat karena hasilnya harus benar-benar bagus.

Karena berbagai permasalahan yang disebutkan di atas itu lah, berimbas pada proses produksi yang menjadi kacau. Padahal Wing mengaku, saat itu belum balik modal dan ia sudah terlanjur merenovasi bangunan ratusan juta rupiah untuk jadi tempat produksi. Ia sampai sempat putus asa dan berpikir untuk mengakhiri bisnis ini. Dalam dua tahun merintis usaha tersebut memang begitu banyak masalah yang datang. Konflik antar karyawan pun akhirnya juga berimbas pada emosinya, manajemen, dan hasil produksi.

Namun Wing masih berusaha untuk menemukan solusinya. Ia lalu mencari pegawai ke desa-desa yang banyak perempuannya tapi tidak punya pekerjaan tetap. Wing menawarkan, bila perempuan-perempuan itu mau ikut bekerja dengannya, ia akan mendidik mereka, kemudian mengirimkan mesin jahit sebagai alat kerja. Ternyata banyak yang bersedia. Wing pun segera mengirim alat untuk karyawan yang berlokasi di Kecamatan Kajoran dan Kecamatan Grabag di Kabupaten Magelang. Dua lokasi ini memang menjadi tempat produksi, selain satu tempat produksi lagi di rumahnya. Dengan memecah lokasi, ia tidak terlalu berinteraksi dengan mereka, hingga emosinya tidak teraduk-aduk. Wing juga mengurangi untuk terlibat secara emosi, apalagi saat itu ia sudah mempunyai tangan kanan yang siap mempermudah pekerjaannya. Hasilnya, produktivitas pun jadi lebih bagus. Masing-masing tidak saling ikut campur urusan pegawai di lokasi lain. Selain itu, juga bisa memberdayakan masyarakat setempat. Wing pun terus membuka kesempatan, jika ada warga desa yang ingin bekerja, silahkan bergabung. Toh, ini juga bukan pekerjaan yang menggunakan sistem kontrak. Justru bila ada karyawan yang keluar dari tempatnya, dia sudah mempunyai skill



Wing sengaja memilih lebih banyak pegawai perempuan, karena pada dasarnya menjahit itu memang pekerjaan perempuan. Di dalamnya ada faktor kesabaran, telaten, dan perasaan yang halus. Bila barang diperlakukan dengan halus, maka hasilnya akan bagus. Kalau dikerjakan dengan kasar, barang produksi pun akan sering rusak dan mesin pun juga ikut cepat rusak. Menurut Wing, karakter seorang pegawai akan terliha ketika dia mengoperasionalkan mesin. Maka, oleh karena itu para pegawai tidak diperbolehkan berpindah-pindah mesin. Dia harus bertanggung jawab terhadap mesinnya sendiri.

Sarung tangan hasil produksi Wing yang dikirim ke perusahaan Korea itu tanpa label. Namun ada juga yang minta labelnya dipasang sekalian. Selanjutnya, perusahaan Korea itu mengekspor ke negara-negara empat musim antara lain ke benua Eropa, untuk dijual di mal-mal yang ada di sana. Di sana, setiap musim warganya memang menggunakan sarung tangan yang berbeda-beda untuk berbagai aktivitas. Saat musim semi, mereka bermain golf dan butuh sarung tangan khusus. Begitu juga saat musim tanam, memancing, bersepeda, naik motor, berolahraga, berkebun, bertukang, berkuda, dan untuk fashion. Lalu saat musim dingin mereka harus memakai sarung tangan untuk penghangat tangan, olahraga, ski es, dan sebagainya.



Perusahaan Korea itu juga menjual sarung tangan untuk berbagai perusahaan kelas dunia termasuk merk ternama di bidang olahraga, antara lain Nike, Adidas, dan Sanrio yang mempunyai hak cipta Pororo. Ada juga perusahaan peralatan olahraga merek Eagle yang menawarkan kerja sama. Harganya memang lebih bagus, tapi jauh lebih rumit dan menuntut kualitas di atas yang dikerjakan Wing saat ini. Bagi Wing saat ini terlalu berisiko untuk menerima tawaran tersebut. Ia tidak ingin memaksa menerimanya bila akhirnya nanti terlalu banyak hasil produksi yang di-reject

Ada sekitar 10 jenis sarung tangan yang diproduksi Wing. Namun ia tidak memproduksi langsung 10 macam sarung tangan untuk semua musim, melainkan per musim. Setidaknya untuk satu musim, pengerjaannya dibuat 2-3 bulan sebelumnya. Banyaknya jenis sarung tangan yang dibuat, tentu sedikit menyulitkan pegawainya. Semuanya memang perlu penyesuaian. Setiap jenis sarung tangan materialnya berbeda. Otomatis jenis kain dan perlakuannya pun berbeda juga. Membuat sarung tangan dari kulit untuk bermain golf, misalnya, otomatis setelan mesinnya tidak seperti sarung tangan dari bahan lain, seperti lycra, parasit, dan sebagainya. Biasanya ketika ada pergantian jenis kain, banyak mesin yang bermasalah, karena harus menyesuaikan jenis jarum dan bahan. Misalnya macet, jahitan yang melompat-lompat, ruwet benang, dan sebagainya. Padahal, satu orang hanya mengerjakan satu jenis pekerjaan saja. Dan memang tidak mudah menempatkan seseorang dalam satu spesifikasi pekerjaan.

Dulu, saat pertama kali mendapat order, Wing bisa mengirim 3 ribu pasang sarung tangan per bulan. Sebetulnya, permintaan bisa sebesar 10 ribu pasang. Tapi ia mengabaikan itu. Karena kalau ia terlalu berambisi mengejar target tanpa melihat kemampuan pegawai, hasilnya malah akan kacau. Dan bila ia berkali-kali gagal mengerjakan order, perusahaan pemberi order pun akan berpikir ulang untuk bermitra dengannya. Maka lebih baik ia realistis saja. Yang terpenting operasional perusahaan tetap berjalan, dan ia tetap mendapatkan untung. Saat ini dengan jumlah karyawan 60 orang dan 75 mesin, tiap bulannya ia bisa mengirim 5 ribu – 6 ribu pasang sarung tangan.

Namun sekarang kemitraan dengan perusahaan asal Korea yang pertama kali memberikan order sudah tidak berjalan. Wing merasakan, makin lama kerja sama dengan perusahaan tersebut membuatnya kurang nyaman. Misalnya, pengiriman bahan baku sering terlambat dan banyak masalah lainnya. Ternyata perusahaan itu juga mempunyai cabang di Yogyakarta. Mereka pun memotong uang pembayaran untuk Wing, hingga jumlahnya tidak sesuai dengan perjanjian pertama dengan kantor pusatnya. Karena pengiriman juga sering bermasalah, akhirnya Wing mencari mitra lain yang lebih dekat. Ia pun sempat memegang order 2-3 perusahaan, namun sekarang ia memutuskan hanya pegang satu saja agar lebih fokus. Mitranya saat ini adalah masih dengan perusahaan Korea yang sama-sama berada di Yogyakarta. Namun Wing merasakan kerja sama kali ini lebih nyaman.

Wing pun sebetulnya juga tertarik untuk membuat brand sendiri. Ia ingin suatu saat nantinya bisa bertemu dengan buyer langsung, bukan lewat perantara. Sehingga upah pegawai bisa lebih baik. Saat ini memang upah pegawainya masih ada yang di bawah UMR, namun ada juga yang sudah di atasnya, semuanya tergantung kemampuan kerjanya. Pangsa pasar di Indonesia juga dirasakannya cukup bagus. Hanya saja, kualitas barangnya mungkin harus dibawah yang sekarang ia produksi agar harganya terjangkau.

Sekarang, bahan baku sarung tangan terbuat dari kulit domba, yang semuanya diimpor. Produk yang sekarang ia buat memang tidak dijual di Indonesia, karena harganya sangat mahal. Paling murah sekitar Rp 400.000. Jadi Wing memang harus benar-benar matang bila ingin ekspansi di Indonesia, karena biaya dan tenaga yang dibutuhkan juga tidak sedikit. Wing akan mencoba melihat dulu, seberapa jelas pasarnya, baru ia akan membuat sistemnya. Yang utama adalah, sumber daya manusianya yang harus benar-benar disiapkan.

Di luar urusan bisnis, Wing sebetulnya masih punya kesibukan lain. Ia juga menjadi notaris sejak 2005. Sebelumnya ia juga pernah menjadi anggota DPRD. Selain menjadi notaris dan menjalankan usaha, ia juga tertarik pada kesenian dan mainan tradisional. Wing ingin melestarikannya dengan membuat kampung dolanan di Magelang bersama teman-temannya. Sebetulnya, urusan mebawahi pegawai memang bukan hal yang baru baginya. Karena pada taun 1991 ia pernah bekerja di Salim Group di Jakarta, yang juga sibuk mengurus pegawai.

0 komentar:

Posting Komentar