Ibu dua anak yang tinggal di Magelang, Jawa Tengah ini tak menyangka bakal memiliki bisnis sarung tangan. Makin tak terduga lagi. Ternyata sarung tangan produksinya berhasil diekspor ke berbagai negara Eropa, termasuk ke beberapa perusahaan terkemuka dunia.
Bisa berkecimpung
di bisnis sarung tangan ini bermula di tahun 2010. Ketika itu setelah Gunung
Merapi meletus, ada sebuah perusahaan dari Korea yang batal membuka pabrik di
Magelang. Padahal, mereka sudah merekrut dan mendidik 150-an orang untuk jadi
pegawai. Mesin-mesin untuk produksi juga sudah didatangkan. Pihak perusahaan
Korea itu lalu menawari Wing untuk mengambil alih tenaga yang sudah dididik
tersebut dan memanfaatkannya untuk memproduksi sarung tangan. Jadi, Wing
tinggal menyediakan ruangan untuk produksi. Nantinya perusahaan dari Korea itu
yang akan memesan dan semua bahan baku juga mereka yang menyediakan.
Meski
sebelumnya tak punya pikiran untuk berbisnis di bidang jahit menjahit, namun
Wing berpikir tak ada salahnya untuk mencoba. Lalu, ia pun mengambil sebagian
pegawai itu, ditambah orang baru, hingga total pegawainya sekitar 75 orang dan hampir
semuanya perempuan. Karyawan lelaki memang menjadi minoritas, salah satunya
adalah pimpinan produksi, yang kebetulan orang kepercayaan Wing sejak lama.
Produksi pun mulai berjalan, namun ternyata tidak semudah yang dibayangkannya.
Di Magelang, para perempuan yang lulusan SMP-SMA biasanya lebih senang bekerja
menjadi pembantu rumah tangga atau pelayan toko. Sementara di tempat kerjanya,
mereka berada dalam situasi yang tertib dan quiet
time dimana pada jam-jam tertentu tidak boleh mengobrol dan memegang
ponsel. Pekerjaannya sendiri dalam pantauan dan tekanan, karena memiliki
target. Pendeknya, mereka benar-benar bekerja secara individual. Dan lantaran
belum terbiasa, banyak pegawai yang saling bertengkar dan tidak kerasan.
Masalah
lainnya adalah, tempat tinggal para pegawai banyak yang jauh dari tempat
produksi, sehingga mereka harus beberapa kali berganti angkutan umum. Jadi upah
mereka lebih banyak digunakan untuk ongkos. Ada juga provokasi terhadap pegawai
lain untuk keluar dari pekerjaan. Akhirnya, semua itu berpengaruh pada proses
produksi. Belum lagi, masalah dari orang-orang di sekitar rumah yang juga Wing
ajak menjadi pegawai. Karena merasa dekat denganya, mereka banyak yang ingin
jadi pemuka meskipun kemampuannya nol. Masalah yang juga vital adalah usia.
Kebanyakan pegawai berusia 15-30 tahun, di mana itu adalah masa-masa mereka
menikah dan hamil. Kalau sudah kondisi seperti itu, mereka pun akan susah
diminta bekerja lagi.
Wing pun
terpaksa berkali-kali bongkar pasang pegawai. Ia harus mencari dan mengajari
lagi pegawai baru mulai dari nol. Padahal, pekerjaannya sangat rumit. Setiap
orang hanya mengerjakan satu tugas, bukan mengerjakan dari membuat pola sampai
jadi. Ada yang khusus memotong, ada yang hanya menjahit bagian luar, variasi,
dan sebagainya. Quality control
sangat ketat karena hasilnya harus benar-benar bagus.
Karena
berbagai permasalahan yang disebutkan di atas itu lah, berimbas pada proses
produksi yang menjadi kacau. Padahal Wing mengaku, saat itu belum balik modal
dan ia sudah terlanjur merenovasi bangunan ratusan juta rupiah untuk jadi
tempat produksi. Ia sampai sempat putus asa dan berpikir untuk mengakhiri
bisnis ini. Dalam dua tahun merintis usaha tersebut memang begitu banyak
masalah yang datang. Konflik antar karyawan pun akhirnya juga berimbas pada
emosinya, manajemen, dan hasil produksi.
Namun Wing
masih berusaha untuk menemukan solusinya. Ia lalu mencari pegawai ke desa-desa
yang banyak perempuannya tapi tidak punya pekerjaan tetap. Wing menawarkan,
bila perempuan-perempuan itu mau ikut bekerja dengannya, ia akan mendidik
mereka, kemudian mengirimkan mesin jahit sebagai alat kerja. Ternyata banyak
yang bersedia. Wing pun segera mengirim alat untuk karyawan yang berlokasi di
Kecamatan Kajoran dan Kecamatan Grabag di Kabupaten Magelang. Dua lokasi ini
memang menjadi tempat produksi, selain satu tempat produksi lagi di rumahnya.
Dengan memecah lokasi, ia tidak terlalu berinteraksi dengan mereka, hingga
emosinya tidak teraduk-aduk. Wing juga mengurangi untuk terlibat secara emosi,
apalagi saat itu ia sudah mempunyai tangan kanan yang siap mempermudah
pekerjaannya. Hasilnya, produktivitas pun jadi lebih bagus. Masing-masing tidak
saling ikut campur urusan pegawai di lokasi lain. Selain itu, juga bisa
memberdayakan masyarakat setempat. Wing pun terus membuka kesempatan, jika ada
warga desa yang ingin bekerja, silahkan bergabung. Toh, ini juga bukan
pekerjaan yang menggunakan sistem kontrak. Justru bila ada karyawan yang keluar
dari tempatnya, dia sudah mempunyai skill.
Wing sengaja
memilih lebih banyak pegawai perempuan, karena pada dasarnya menjahit itu
memang pekerjaan perempuan. Di dalamnya ada faktor kesabaran, telaten, dan
perasaan yang halus. Bila barang diperlakukan dengan halus, maka hasilnya akan
bagus. Kalau dikerjakan dengan kasar, barang produksi pun akan sering rusak dan
mesin pun juga ikut cepat rusak. Menurut Wing, karakter seorang pegawai akan
terliha ketika dia mengoperasionalkan mesin. Maka, oleh karena itu para pegawai
tidak diperbolehkan berpindah-pindah mesin. Dia harus bertanggung jawab
terhadap mesinnya sendiri.
Sarung tangan
hasil produksi Wing yang dikirim ke perusahaan Korea itu tanpa label. Namun ada
juga yang minta labelnya dipasang sekalian. Selanjutnya, perusahaan Korea itu
mengekspor ke negara-negara empat musim antara lain ke benua Eropa, untuk
dijual di mal-mal yang ada di sana. Di sana, setiap musim warganya memang
menggunakan sarung tangan yang berbeda-beda untuk berbagai aktivitas. Saat
musim semi, mereka bermain golf dan butuh sarung tangan khusus. Begitu juga
saat musim tanam, memancing, bersepeda, naik motor, berolahraga, berkebun,
bertukang, berkuda, dan untuk fashion.
Lalu saat musim dingin mereka harus memakai sarung tangan untuk penghangat tangan,
olahraga, ski es, dan sebagainya.
Perusahaan
Korea itu juga menjual sarung tangan untuk berbagai perusahaan kelas dunia
termasuk merk ternama di bidang olahraga, antara lain Nike, Adidas, dan Sanrio
yang mempunyai hak cipta Pororo. Ada juga perusahaan peralatan olahraga merek
Eagle yang menawarkan kerja sama. Harganya memang lebih bagus, tapi jauh lebih
rumit dan menuntut kualitas di atas yang dikerjakan Wing saat ini. Bagi Wing
saat ini terlalu berisiko untuk menerima tawaran tersebut. Ia tidak ingin
memaksa menerimanya bila akhirnya nanti terlalu banyak hasil produksi yang di-reject.
Ada sekitar 10
jenis sarung tangan yang diproduksi Wing. Namun ia tidak memproduksi langsung
10 macam sarung tangan untuk semua musim, melainkan per musim. Setidaknya untuk
satu musim, pengerjaannya dibuat 2-3 bulan sebelumnya. Banyaknya jenis sarung
tangan yang dibuat, tentu sedikit menyulitkan pegawainya. Semuanya memang perlu
penyesuaian. Setiap jenis sarung tangan materialnya berbeda. Otomatis jenis
kain dan perlakuannya pun berbeda juga. Membuat sarung tangan dari kulit untuk
bermain golf, misalnya, otomatis setelan mesinnya tidak seperti sarung tangan
dari bahan lain, seperti lycra,
parasit, dan sebagainya. Biasanya ketika ada pergantian jenis kain, banyak
mesin yang bermasalah, karena harus menyesuaikan jenis jarum dan bahan. Misalnya
macet, jahitan yang melompat-lompat, ruwet benang, dan sebagainya. Padahal,
satu orang hanya mengerjakan satu jenis pekerjaan saja. Dan memang tidak mudah
menempatkan seseorang dalam satu spesifikasi pekerjaan.
Dulu, saat pertama
kali mendapat order, Wing bisa mengirim 3 ribu pasang sarung tangan per bulan.
Sebetulnya, permintaan bisa sebesar 10 ribu pasang. Tapi ia mengabaikan itu.
Karena kalau ia terlalu berambisi mengejar target tanpa melihat kemampuan
pegawai, hasilnya malah akan kacau. Dan bila ia berkali-kali gagal mengerjakan
order, perusahaan pemberi order pun akan berpikir ulang untuk bermitra
dengannya. Maka lebih baik ia realistis saja. Yang terpenting operasional
perusahaan tetap berjalan, dan ia tetap mendapatkan untung. Saat ini dengan
jumlah karyawan 60 orang dan 75 mesin, tiap bulannya ia bisa mengirim 5 ribu –
6 ribu pasang sarung tangan.
Namun sekarang
kemitraan dengan perusahaan asal Korea yang pertama kali memberikan order sudah
tidak berjalan. Wing merasakan, makin lama kerja sama dengan perusahaan tersebut
membuatnya kurang nyaman. Misalnya, pengiriman bahan baku sering terlambat dan
banyak masalah lainnya. Ternyata perusahaan itu juga mempunyai cabang di
Yogyakarta. Mereka pun memotong uang pembayaran untuk Wing, hingga jumlahnya
tidak sesuai dengan perjanjian pertama dengan kantor pusatnya. Karena
pengiriman juga sering bermasalah, akhirnya Wing mencari mitra lain yang lebih
dekat. Ia pun sempat memegang order 2-3 perusahaan, namun sekarang ia
memutuskan hanya pegang satu saja agar lebih fokus. Mitranya saat ini adalah
masih dengan perusahaan Korea yang sama-sama berada di Yogyakarta. Namun Wing
merasakan kerja sama kali ini lebih nyaman.
Wing pun
sebetulnya juga tertarik untuk membuat brand
sendiri. Ia ingin suatu saat nantinya bisa bertemu dengan buyer langsung, bukan lewat perantara.
Sehingga upah pegawai bisa lebih baik. Saat ini memang upah pegawainya masih
ada yang di bawah UMR, namun ada juga yang sudah di atasnya, semuanya
tergantung kemampuan kerjanya. Pangsa pasar di Indonesia juga dirasakannya
cukup bagus. Hanya saja, kualitas barangnya mungkin harus dibawah yang sekarang
ia produksi agar harganya terjangkau.
Sekarang,
bahan baku sarung tangan terbuat dari kulit domba, yang semuanya diimpor.
Produk yang sekarang ia buat memang tidak dijual di Indonesia, karena harganya
sangat mahal. Paling murah sekitar Rp 400.000. Jadi Wing memang harus
benar-benar matang bila ingin ekspansi di Indonesia, karena biaya dan tenaga
yang dibutuhkan juga tidak sedikit. Wing akan mencoba melihat dulu, seberapa
jelas pasarnya, baru ia akan membuat sistemnya. Yang utama adalah, sumber daya
manusianya yang harus benar-benar disiapkan.
Di luar urusan
bisnis, Wing sebetulnya masih punya kesibukan lain. Ia juga menjadi notaris sejak
2005. Sebelumnya ia juga pernah menjadi anggota DPRD. Selain menjadi notaris
dan menjalankan usaha, ia juga tertarik pada kesenian dan mainan tradisional.
Wing ingin melestarikannya dengan membuat kampung dolanan di Magelang bersama
teman-temannya. Sebetulnya, urusan mebawahi pegawai memang bukan hal yang baru
baginya. Karena pada taun 1991 ia pernah bekerja di Salim Group di Jakarta,
yang juga sibuk mengurus pegawai.
0 komentar:
Posting Komentar