Berawal dari
garis nasib yang memisahkannya dengan suami tercinta, Dian Ekawati kemudian
bangkit dan berhasil membangun kembali bisnis yang diwariskan sang suami. Awal
perubahan nasib Dian memang dimulai tatkala ia ditinggal pergi sang suami tercinta,
Djamarudin Hamid, untuk selama-lamanya. Sebetulnya, sebagai istri seorang
pengusaha, hidup Dian waktu itu sudah berkecukupan bersama Fawwaz, anak semata
wayangnya, dan tiga anak tiri yang dibawa suaminya dari pernikahan pertama.
Namun,
kenyamanan hidup Dian berubah drastis ketika suaminya mendadak mengalami
serangan jantung dan meninggal pada 11 Maret 2009. Hari itu, Dian tengah
menunggui Fawwaz yang dirawat di rumah sakit. Suaminya yang baru saja pamit
padanya, tak lama kemudian kembali ke rumah sakit dalam keadaan tak bernyawa.
Menurut tukang ojek yang diminta suaminya mengantarkan ke rumah sakit, suaminya
keluar dari mobil sambil memegangi dada karena sakit. Mobilnya lalu ditinggal
di pinggir jalan, tapi sudah sempat dikunci. Tak lama, seorang suster
mengantarkan dompet suaminya ke pada Dian. Dari situ barulah ia tahu, suaminya
diantarkan ke rumah sakit karena serangan jantung. Dan menurut dokter, suaminya
sudah meningggal di atas motor saat perjalanan menuju rumah sakit.
Hari-hari
kelabu pun mewarnai perjalanan hidup Dian. Belum hilang rasa sedih atas
kehilangan belahan jiwa, beberapa hari kemudian Dian mendapat tagihan kartu
kredit dan lainnya dengan jumlah total Rp 300 juta. Ternyata, sebelum meninggal
suaminya sempat menggadaikan rumah dan mobil untuk mendapatkan modal usaha.
Karena, klien-kliennya biasanya baru membayar setelah dananya turun beberapa
bulan kemudian. Tak tahan menangis terus menerus di rumah dan tak tahu apa yang
harus dilakukan selanjutnya, seminggu setelah suaminya meninggal Dian berusaha
bangkit. Ia bertekad meneruskan usaha suaminya demi membayar cicilan utang yang
per bulannya Rp 30 juta dan menafkahi ke empat anaknya. Kebetulan, Dian sempat
bekerja di bidang marketing asuransi sebelum menikah. Dan sejak dua tahun
sebelum meninggal, suaminya juga terkadang mengajaknya ke sekolah-sekolah yang
menjadi kliennya.
Sebelum
tinggal di Jakarta dan menikah dengan Hamid, Dian tinggal di Yogyakarta. Ia
bekerja sebagai tenaga pemasaran untuk perusahaan asuransi. Beberapa kali ia
juga sempat pindah ke beberapa perusahaan asuransi lain. Piawai dalam bidang
ini, membuat perempuan asli Yogyakarta ini sempat mendapatkan beberapa
penghargaan. Namun, setelah menikah, Dian hanya menjadi ibu rumah tangga sambil
terkadang membantu urusan administrasi di perusahaan suaminya. Saat itu
suaminya memang keberatan bila ia bekerja di tempat lain. Namun, pada tahun ke
delapan pernikahan mereka, tiba-tiba suaminya berubah pikiran, dan justru
sangat menginginkan Dian bekerja kembali. Dian mengaku, di situ ia sudah merasa
aneh. Lalu suaminya juga rajin mengajaknya kala bertemu dengan klien-kliennya.
Di sekolah-seolah tersebut, sang suami memperkenalkan Dian kepada para
kliennya, sambil menunjukkan cara bekerja. Seolah-olah sang suami saat itu
menunjukkan tanda-tanda meminta Dian untuk menggantikannya kelak.
Setelah
menikah, Dian memang menuruti permintaan sang suami. Ia pindah dari Yogyakarta
ke Jakarta, mengikuti sang suami yang mencari nafkah sebagai supplier peralatan
pendidikan ke berbagai sekolah, seperti AC, komputer, LCD proyektor, dan
sebagainya. Namun, untuk meneruskan usaha yang dirintis sang suami ternyata tak
semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi, hampir seluruh karyawan suaminya
kemudian mengundurkan diri. Apa daya, saat itu hanya usaha itulah yang bisa
Dian lakukan. Tanpa banyak pertimbangan, ia segera menghubungi semua klien
suaminya, memperkenalkan diri sambil menanyakan apakah ada kebutuhan peralatan
yang bisa ia bantu.
Tak sedikit di
antara klien yang menolak dengan alasan sedang tak membutuhkan. Beberapa dari
mereka bahkan memilih pindah ke rekanan lain karena merasa tak kenal dengan
Dian sebelumnya. Apalagi, Dian menolak memberikan diskon besar pada mereka. Hal
yang sebelumnya dilakukan suaminya. Menurut Dian, ada klien yang minta diskon hingga
40 persen dan meminta kuitansi kosong. Namun Dian selalu menolak. Setelah
beberapa waktu menjalankan usaha warisan suaminya, Dian melihat mereka-mereka
yang menuruti permintaan itu, dipanggil oleh KPK karena proses pengadaannya pun
bermasalah. Bagi Dian, tidak masalah kehilangam klien karena ia menolak
memberikan diskon besar, yang penting usahanya bersih.
Dian pun hanya
melayani sekolah yang benar-benar murni ingin berbelanja. Ia berprinsip,
bagaimana caranya bisa bertahan di bisnis ini tapi tak menimbulkan dosa.
Ironisnya, ada pula sekolah yang ketika ditagih mengaku tak punya utang pada
almarhum suaminya, meskipun ada buktinya. Dian pun akhirnya terpaksa
mengikhlaskan uang itu. Belum lagi, saat ini pemerintah juga mengawasi
pengadaan barang di sekolah-sekolah dengan ketat dan melarang mereka berbelanja
kecuali untuk kebutuhan penting.
Meski tak
sedikit klien yang pergi, Dian tak putus asa. Toh, tak sedikit pula klien yang
tetap jadi pelanggan. Ia juga merekrut banyak karyawan baru, bahkan termasuk yang
baru lulus sekolah. Dian juga rajin berkeliling ke toko-toko yang menyuplai
peralatan usahanya, untuk memperkenalkan diri sambil membandingkan harga dan
pelayanan mereka. Bisa dibilang, ia memulai usahanya ini bukan dari nol lagi,
melainkan dari minus. Pendekatan yang dilakukan Dian berbeda dengan yang
dilakukan sang suami. Ia terus mencoba meyakinkan klien-klien suaminya. Bidang
usaha yang digelutinya ini memang kebanyakan diisi oleh para pria. Namun, meski
semua pesaingnya pria, ia tak mau mudah menyerah. Dian terus mencari calon
klien baru dengan berbagai cara.
Misalnya, jika
rekanan lain mampu mendatangkan barang dalam waktu seminggu, ia berani menjamin
dalam 2x24 jam sejak dipesan, barang sudah sampai. Dian bersyukur, rekanan lain
sulit menyamainya dalam hal ini. Dian pun rela mendapat harga yang lebih mahal
dari pemasok asalkan toko itu sanggup memenuhi syarat tersebut. Setiap hari, ia
bekerja jungkir balik. Pukul 06.00 pagi ia sudah keluar rumah dan baru pulang
tengah malam. Dian yang punya latar belakang ilmu akuntansi ini juga rajin
membaca buku kewirausahaan dan biografi pengusaha sukses. Bahkan ia bergabung
dalam Tung Desem Waringin Club dan klub Robert Kiyosaki, dua nama besar di
bidang motivasi.
Motivasi,
semangat, dan keyakinan tinggi yang ia miliki membuat usahanya mulai
menampakkan hasil. Setiap bulan, ia mampu membayar cicilan utang. Pelan-pelan,
makin banyak pula sekolah yang mempercayakan kebutuhan peralatan mereka pada
Dian, mulai tingkat SD sampai perguruan tinggi. Kebanyakan kliennya adalah
sekolah tingkat pertama. Selain memesan barang, mereka juga minta dibuatkan
ruang khusus, misalnya laboratorium bahasa lengkap dengan seluruh isinya. Atau
kalau memiliki ruangan tak terpakai, terkadang mereka berkonsultasi, sebaiknya
digunakan untuk apa. Dian memang sering pula memberikan masukan pada kliennya
soal peralatan dan ruangan. Kini, Dian juga yakin ada alasan mengapa Tuhan
menjodohkannya dengan sang suami. Selama menikah, suaminya memang sering
bercerita padanya tentang bisnisnya. Tapi sang suami tidak pernah menceritakan
soal kliennya yang ‘menembak’ minta diskon besar. Dian berpikir, hal itu bisa
dibicarakan dan selesai dengan baik. Namun begitu dirinya masuk sendiri ke
bisnis ini, ternyata ia merasakan ganasnya yang luar biasa.
Dian mengaku
awalnya sempat stres saat menjalani usaha ini, bahkan merasa tak bisa bertahan.
Ia sebabnya, ia kemudian sempat terjun kembali ke bidang asuransi dan kembali
mendapat penghargaan atas prestasinya. Namun, semangat untuk membayar utang
membuatnya bisa melewati berbagai ujian berat sebagai supplier peralatan sekolah. Ini didukung pula dengan kesediaannya
belajar dan kedisiplinannya membagi waktu untuk semua hal yang harus ia urus.
Setelah tiga tahun bekerja keras, seluruh utang suaminya pun lunas terbayar
tanpa ada harta warisan yang terjual. Bahkan, ia juga berhasil membiayai
pernikahan kedua anak tirinya. Tapi ternyata perjuangan Dian belum selesai.
Karena setelah itu, ia dan anaknya
diminta keluar dari rumah peninggalan suaminya oleh anak-anak tirinya. Meski
kini ia harus mengontral rumah dan sedang mengumpulkan uang untuk membeli rumah
sendiri, Dian mengaku ikhlas.
Dian mengakui,
sebenarnya yang paling tidak mendukungnya meneruskan usaha sang suami adalah
anak-anak tirinya. Mereka meragukan kemampuan Dian. Tapi Dian percaya, rezeki
pasti akan datang selama niatnya baik. Sekarang, Dian hanya bertanggung jawab
untuk membesarkan anak semata wayangnya. Dian menganggap, anaknya yang memiliki
IQ 138 itu memang dikirim Tuhan untuk mendampingi hidupnya menggantikan sang
suami. Sang anak terlahir indigo. Dia bisa mengetahui orang yang jahat atau
tidak, dan biasanya hal itu akan diberitahukan pada Dian. Setelah keluar dari
rumah peninggalam suaminya, Dian pun segera menutup usaha suaminya dan
mendirikan usaha lain yang sama dengan nama yang berbeda.
Setelah
usahanya berjalan selama enam tahun, omzetnya per bulan sudah menyamai omzet
mendiang suaminya dulu yang di kisaran Rp 300 juta. Itu sudah termasuk bisnis
mutiara dan agen perjalanan yang baru ia dirikan belakangan. Karena pembayaran
klien biasanya menggunakan sistem tempo, Dian memang harus membuka usaha lain.
Dan kini, rencana ke depannyaa ia juga ingin membesarkan usaha agen
perjalanannya itu. Dian pun bersyukur kini kliennya sudah berjumlah 150
sekolah. Rasa peduli pada klien atas setiap keluhan dan masukan membuat mereka
enggan berpaling ke rekanan lain. Dian memang harus memberikan perhatian yang
lebih pada mereka, karena persaingan bisnis yang digelutinya sangat ketat.
Bahkan ada juga kepala sekolah yang sudah dipindahkan ke sekolah lain, tetap
memakai jasa Dian di tempatnya yang baru. Dian selalu ingat kata-kata almarhum
suaminya, sebagai tenaga marketing, ibarat menembak, tapi tidak boleh sampai
kehabisan peluru. Jadi, harus selalu punya inovasi dan cara agar bisa membuka
hati klien supaya mereka bersedia bekerja sama dengan kita.
Sempat stagnan
dalam usaha, Dian lalu rajin berorganisasi untuk memperluas jaringan dan ilmu.
Selain jadi anggota Kadin, kini ia juga aktif menjadi Ketua Departemen Bina UKM
di HIPMI DKI Jakarta, Bendahara Umum LP3 DKI Jakarta, dan Wakil Ketua
Perdagangan Dalam Negeri HIPMI Pusat. Banyak bertemu pengusaha besar membuat
wawasan dan ilmu bisnisnya semakin berkembang. Dari mereka lah, Dian belajar
banyak hal sekaligus menjalin persaudaraan. Dian juga senang beberapa
karyawannya yang keluar kini sukses mengikuti jejaknya berbisnis. Melihat
usahanya kini maju, menurut Dian, tak sedikit mantan karyawan suaminya yang
telah keluar menyesal. Mungkin mereka awalnya tak mengira Dian bisa melewati
semua ini. Semangat dan perjuangannya untuk maju itulah yang membuat mereka
termotivasi untuk berbisnis sendiri. Bahkan kini beberapa dari mereka sekarang
usahanya sudah maju, mempunyai rumah dan mobil sendiri, padahal sebelumnya
tidak punya apa-apa.
••мαкαsιн๋ untuk motivasi
BalasHapusBu dian semangat terus,wanita yg luar biasa motivator yg hebat, salam super by Alvie
BalasHapusDengan meninggalkan hutang dan tidak mau bayar, itu yang luar biasa?
HapusSampai sekarang pun hutang nya tetap masih ada dan tidak mau bayar, kalau mau sukses hutang dibayar jangan nunggak lama sekali. Terimakasih
BalasHapus