Sabtu, 16 Januari 2016




Salah satu fenomena yang sedang ngetren di Surabaya saat ini adalah Warkop alias warung kopi. Kini, di setiap sudut kota pahlawan itu bermunculan warkop. Berbagai kalangan tak segan datang, dari mulai mahasiswa sampai orang kantoran. Dan meski terlihat ‘ecek-ecek’, dengan manajemen yang bagus, ternyata bisnis yang satu ini menjanjikan profit yang tak sedikit.

Salah satu warkop yang cukup besar dan memiliki 10 cabang di berbagai tempat di Surabaya adalah Warkop Podo Mampir yang dirintis Nurul Hidayat. Kesuksesan Nurul tidak datang begitu saja, melainkan dirintis dari nol dan memakan waktu belasan tahun. Sebelum mendirikan usaha sendiri, ia ikut menjaga warkop milik orang lain, dan sebulan hanya digaji Rp 100.000. Setelah bekerja selama dua tahun dan menyerap ilmunya, bapak dua orang anak asal Bungah, Gresik, Jawa Timur ini, kemudian mencoba berdiri sendiri dengan membuka warkop di atas gerobak kecil di depan emperan rumah orang, di Jalan Raya Karah, Surabaya, tahun 1997 silam. Berkat ketekunannya, usaha tersebut berjalan bagus sehingga ia memberanikan diri menyewa lahan milik yang empunya rumah.

Untuk bisa menjadi besar seperti saat ini, Nurul harus melalui perjuangan yang berat. Ia juga tak mau mengambil uang dari hasil keuntungan. Keuntungan yang diperoleh ia tabung untuk membuka warkop di lokasi baru. Sebagai orang yang merintis usaha dari awal, Nurul mempelajari apa saja yang harus dilakukan agar usaha warkopnya bisa bertambah besar. Pertama, ramai atau tidaknya warkop tergantung strategis atau tidaknya lokasi. Kedua, lahan parkirnya harus memadai, dan ketiga, makanan serta kue yang dijual harus variatif. Faktor keempat yang menjadi kunci utama adalah kedekatan dan keramah tamahan kepada pembeli. Menurut Nurul, meski ketiga unsur sebelumnya sudah memadai, tapi kalau yang menjualnya tidak menyenangkan, pasti tidak akan ada pelanggan yang datang. Kalaupun datang, cukup hanya sekali, lain waktu dia bisa kapok.


Bahkan, tak sekedar ramah, tetapi Nurul juga melakukan pendekatan personal kepada pelanggannya. Menurutnya, orang datang ke warkop biasanya tidak sekedar mau makan atau minum kopi saja, tetapi juga untuk mencari teman ngobrol setelah seharian menjalani rutinitas. Nurul, yang dulu sebelum mempunyai karyawan, selalu menjaga sendiri warkopnya ini mencontohkan, ia tidak sekedar berjabat tangan saja kepada pelanggan yang datang ke warkopnya, tetapi juga menanyakan kabar dan bila pelanggan lama tidak datang, ditanyakan alasannya. Ini untuk menunjukkan bahwa antara dirinya dengan pelanggan memiliki kedekatan emosional. Dengan demikian, pelanggan akan merasa ada sesuatu yang hilang apabila lama tidak datang ke warkopnya.  

Tak jarang, pelanggannya juga rela berbagi persoalan pribadi. Walau memang terkadang ia tidak bisa memberikan solusi, tapi mau mendengarkan saja sudah bisa meringankan beban pikiran mereka. Maka, Nurul pun kerap merasa warkopnya ini bisa juga merangkap sebagai lembaga konsultasi psikologi. Bagi Nurul, hal-hal seperti tadi merupakan faktor yang akan membantu mendongkrak daya saing warkopnya dengan warkop lain. Karena kalau bersaing soal harga, jelas tidak mungkin. Sebab rata-rata harga di satu warkop dengan warkop lainnya nyaris sama. Kalaupun beda, sangat tipis. Misalnya, secangkir kopi dijual mulai Rp 2.500 sampai Rp 3.000, begitu pula nasi bungkus atau kue. Di warkopnya, Nurul pun menyediakan teve dan wifi bagi pelanggan meski ia akui itu kurang menguntungkan. Pelanggan cenderung nongkrong lama hanya untuk menikmati wifi saja. Ibaratnya, hanya minum segelas kopi tetapi bisa nongkrong berjam-jam.


Kini Nurul telah memetik hasil kerja kerasanya. Ia memiliki 20 warkop dengan 38 karyawan. Omzet per hari mencapai Rp 20 juta. Untuk masing-masing lokasi, Nurul memakai sistim kontrak dengan pemilik tanah. Harga kontrak pun bervariasi, tergantung lokasi. Ada lokasi yang kontraknya jutaan sampai belasan juta per tahun. Bila lokasinya bagus, biasanya Nurul langsung kontrak selama 10 tahun. Dengan jumlah warkop yang ada saat ini, Nurul memiliki seorang tenaga audit yang tugasnya berkeliling dari satu warkop ke warkop lain, menghitung makanan dan kue yang habis. Baginya, meski hanya sekedar warung kopi, kalau ingin berkembang perlu manajemen yang serius. Dan Nurul pun masih ingin terus mengembangkan jumlah warkopnya agar bisa menyerap tenaga kerja lebih banyak.

1 komentar: