Jumat, 15 Januari 2016


foto : tabloidnova.com


Waktu sudah menunjukkan pukul 22.30 WIB. Sekumpulan mahasiswa terlihat duduk di kursi dan meja kayu panjang, asyik membahas mata kuliah di kampus. Sebagian mahasiswa lainnya, dengan ditemani secangkir kopi, sibuk membuka laptop dan mengerjakan tugas kuliah. Di sudut lainnya, beberapa pria tampak asyik berbincang tentang topik yang saat itu tengah banyak dibicarakan orang. Suasana ini merupakan pemandangan sehari-hari yang biasa ditemui di Warkop Stadion, yang berlokasi di Jalan Gayung, Kebonsari, Surabaya. Semakin malam, warkop ini semakin dipenuhi pengunjung, dari beragam usia dan latar belakang. Ya, warkop yang saat ini muncul bak cendawan di musim hujan, hadir di berbagai sudut kota Surabaya. Menjadi fenomena yang begitu menarik, karena warkop tidak hanya menjadi tempat ngopi, namun juga tempat orang saling berinteraksi. Di warkop, mulai mahasiswa, sales, sampai pekerja bawahan bisa bebas berkumpul.

Adalah Grenda Sri Bhisma, pemilik Warkop Stadion, yang sehari-hari bekerja sebagai reporter sebuah stasiun televisi swasta nasional. Ia mulai membuka usaha warkop ini tahun 2010 lalu. Dia memilih usaha warkop karena beberapa alasan. Alasan utamanya, usaha ini tak lekang oleh waktu dan tak mengenal musim. Pelanggannya beragam, mulai orang bermobil sampai tukang becak. Suasana ini jelas berbeda dengan di kafe yang pasarnya hanya untuk kelas menengah. Dan di kafe, akan ada saatnya titik jenuh yang membuat omzet menurun. Grenda memberi contoh beberapa kafe yang dulu namanya berkibar, tapi sekarang ini pengunjungnya sudah menurun. Sebelum mendirikan warkop, Grenda sempat melakukan studi banding di beberapa warkop yang ada di Surabaya.

Grenda (kaos kuning) dan karyawannya

Agar Warkop Stadion menjadi tujuan pelanggan, Grenda tak sekedar menyediakan kopi dan aneka jenis makanan serta nasi bungkus, tetapi juga memanfaatkan event demam bola. Karena itu, meski di awal berdiri hanya berupa gerobak kecil di emperan depan rumahnya di pertigaan Jalan Manyar, Surabaya, namun ia memasang teve berbayar yang menyiarkan pertandingan liga Inggris. Dan memang, nonton bareng (nobar) ala warkop menjadi strategi ampuh Grenda untuk menarik pelanggan sekaligus memfasilitasi mereka yang berkantong tipis agar tetap bisa menonton pertandingan sepak bola dalam suasana meriah. Bisa nobar memang menjadi salah satu pertimbangan orang mau datang ke warkop Grenda. Karena kalau menonton bola sendirian di rumah kurang seru, sementara bila melihat di hotel atau kafe, charge yang harus dikeluarkan lumayan mahal.

Namun, dagangan utama warkop tetaplah kopi. Karena itu, untuk soal yang satu ini Grenda tidak main-main, kopi yang dijualnya harus benar-benar memiliki kualitas rasa di atas yang lain. Grenda mengaku mendapat pasokan kopi berkualitas ekspor dari salah seorang tetangganya yang eksportir kopi. Meskipun memang yang dijual ke dirinya bukanlah yang premium, karena yang premium tetap hanya untuk diekspor. Yang dijual ke Grenda adalah kualitas yang sedikit di bawahnya. Dan perlahan tapi pasti, penghasilan dari Warkop Stadion pun makin meningkat. Bahkan pada 2013 lalu, Grenda melakukan ekspansi dengan membuka cabang kedua di Jalan Gayung, Kebonsari. Untuk cabang kedua ini, lahannya merupakan milik rekanan, sementara dia menangani logistik serta pengelolaan.


Menurut Grenda, ada satu lagi pembeda warkop dengan usaha sejenis, misalnya dengan angkringan khas Yogya yang di Surabaya juga mulai marak. Angkringan hanya buka malam hari, sementara warkop buka 24 jam. Jadi, Grenda membagi jam kerja karyawannya menjadi dua shift, siang dan malam. Grenda sendiri memiliki 6 karyawan untuk warkop di Manyar dan 5 karyawan untuk warkop di Jalan Gayung, Kebonsari. Saat ini, para pelanggan kopi yang datang ke Warkop Stadion berasal dari berbagai strata. Siang hari biasanya yang datang pekerja kantoran dan sales. Sementara bila malam, banyak didatangi anak-anak muda atau mahasiswa yang ingin kongkow bersama pacar atau mereka yang ingin mengerjakan tugas kuliah. Mereka senang datang ke warkop ini karena suasananya yang murah meriah. Dengan uang Rp 10.000, sudah cukup untuk menikmati sebungkus nasi, segelas kopi, dan teh serta kerupuk.

Namun Grenda mengaku, pemasukannya dari usaha warkop ini sempat drop ketika ada penertiban dari Pemkot. Tetapi, dia kemudian langsung mengembangkan usahanya dengan mengambil sebagian lahan rumahnya, untuk mendirikan bangunan secara permanen, dan warkop-nya bukan lagi kaki lima. Sekarang operasional sehari-hari warkop ini sudah ia percayakan penuh pada karyawannya. Grenda hanya datang untuk mengecek saja. Namun ia mengaku, bila ada karyawannya yang sakit, ia harus mau menggantikannya bekerja sampai sore, meski malam sampai pagi sebelumnya, ia masih bekerja sebagai pembawa acara di studio.

1 komentar: