Minggu, 19 Februari 2017


Kemampuan berbahasa Inggris dibutuhkan di era globalisasi seperti saat ini, ruang interaksi penduduk antar negara semakin terbuka lebar. Namun, tak semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan bahasa Inggris. Mahalnya biaya kursus menjadi kendala tersendiri bagi golongan masyarakat menengah ke bawah. Kondisi miris ini menggerakkan Avin Nadhir menyulap kampung halamannya, Desa Randuagung, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, menjadi desa destinasi belajar bahasa Inggris.

Berawal pada 2008, Avin menggagas Desa Inggris Singosari. Ide mendirikan Desa Inggris Singosari dilatarbelakangi keprihatinannya melihat pendidikan bahasa Inggris di Indonesia. Meski murid-murid diajari bahasa Inggris di sekolah, tapi hanya sedikit dari mereka yang lancar mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Avin mengatakan, pendidikan bahasa Inggris selama ini hanya mencetak siswa-siswa yang kemampuan bahasanya pasif. Mereka gagap ketika dihadapkan pada percakapan sehari-hari atau saat berbicara dengan orang asing.


Di bawah bendera Indocita Foundation yang dipimpinnya, pemuda-pemudi yang berada di Kecamatan Singosari dan Lawang dikumpulkan untuk menjadi pelatih (trainer) bahasa Inggris. Anak-anak muda ini dibekali Avin dengan materi bahasa Inggris sebelum akhirnya menularkan ilmu kepada para calon murid. Jangan bayangkan suasana belajar di kelas layaknya di institusi pendidikan formal. Di Desa Inggris Singosari, para siswa menimba ilmu sambil berbaur dengan warga. Mereka belajar di teras rumah, ruang tamu, hingga mushala. Proses belajar mengajar berlangsung santai, tapi tetap fokus pada materi.

Agar murid-murid tidak bosan, materi bahasa Inggris dikemas dalam bentuk permainan dan interaksi dua arah. Gelak tawa dan celoteh lucu dari para murid menghiasi suasana belajar di Desa Inggris Singosari. Mereka asyik memahami bahasa Inggris dengan bermain drama, pidato, menulis cerpen. Karena metode belajar yang menarik, peminat Desa Inggris Singosari tidak pernah surut. Peminatnya berasal dari berbagai daerah di Tanah Air, seperti Batam hingga Jakarta. Uniknya, Avin hanya memungut biaya seikhlasnya bagi masyarakat yang ingin belajar bahasa Inggris. Bahkan, yang hanya mampu membayar Rp 5000 per bulan pun tetap diterima.


Untuk memenuhi kebutuhan tenaga pengajar, Avin menyusun program Be a Trainer (BT). Program BT adalah program intensif selama sembilan bulan yang menekankan pada kemampuan percakapan. Dalam sehari, dijadwalkan lima hingga enam kali pertemuan agar kemampuan calon trainer cepat terasah. Di luar program BT, Indocita Foundation menawarkan tiga program reguler. Ketiga program itu meliputi Indocita Scholarship Program (ISP), Inhouse (program kursus di sekolah-sekolah), dan English Camp (program asrama selama liburan sekolah). Setiap tahun, ISP menjaring 500 anak untuk belajar bahasa Inggris gratis di Desa Inggris Singosari selama satu tahun ajaran.

Avin juga menawarkan program belajar bahasa Inggris selama tiga bulan dengan kunjungan ke Bali pada akhir pembelajaran. Kunjungan ke Bali tersebut tujuannya sebagai ujian akhir, di mana murid-murid harus berdialog langsung dengan turis asing. Percakapan yang dilakukan dengan turis asing tersebut wajib direkam dan diperdengarkan ke trainer untuk dinilai. Untuk bisa mengikuti program ini, setiap murid hanya membayar Rp 700 ribu.


Tekad Avin menyediakan pendidikan yang terjangkau rupanya adalah bentuk balas dendam terhadap masa lalunya. Selepas SMA, Avin diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran di Universitas Brawijaya. Namun lantaran himpitan ekonomi, ia pun harus mengubur cita-citanya menjadi dokter dan banting setir ke kampus lain yang biaya pendidikannya lebih terjangkau.

Lulus dari sebuah universitas swasta di Malang, Avin mengaku sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris. Ia baru belajar bahasa Inggris waktu memutuskan untuk melanjutkan kuliah S2. Menyadari pentingnya menguasai bahasa Inggris, ide membuka kursus gratis mulai terbersit dalam benak Avin. Masa lalu yang pahit itulah yang menjadi motivasi Avin untuk melahirkan Desa Inggris Singosari.

Dengan biaya yang sangat fleksibel, Avin pun tak takut rugi. Memang secara hitungan matematis, besarnya biaya yang dikeluarkan dan diperoleh, tidak masuk akal dengan sistem bisnis yang ia jalankan. Tapi menurut Avin, sampai saat ini bisnisnya tidak pernah rugi. Avin percaya, bisnis yang membawa misi sosial tidak akan menanggung rugi. Avin sudah membuktikan selama mengelola Desa Inggris Singosari. Meski ia pernah sampai menggadaikan mobil untuk membiayai anak didiknya, selalu saja ada pintu rezeki yang terbuka setelah itu.


Tawaran mengisi seminar motivasi dan seminar matematika tak henti-hentinya menghampiri Avin. Pendaftar kursus pun selalu 'mengular' karena pihaknya kewalahan menangani ribuan murid. Avin mencontohkan, untuk program kursus dengan kunjungan ke Bali saja pihaknya sudah menerima 1000 siswa. Jika diakumulasi, total siswa yang pernah mengenyam pendidikan di Desa Inggris Singosari dalam berbagai program telah mencapai lebih dari 18 ribu orang. Di sisi lain, saat ini Avin juga membiayai 38 siswanya agar bisa duduk di bangku kuliah.

Menurut pria yang kini sedang menempuh jenjang doktor ini, belajar di Desa Inggris Singosari hanyalah jembatan untuk membentuk karakter seseorang. Selama proses belajar, siswa didorong untuk berani berbicara dan berinteraksi dengan orang yang baru dikenal. Dalam program English Camp, Avin menerapkan pola belajar mirip pesantren. Murid-murid tinggal di asrama selama dua pekan sampai tiga bulan. Mereka wajib bangun pukul 03.00 WIB untuk shalat Tahajud. Jeda waktu antara Maghrib dan Subuh dimanfaatkan untuk mengaji. Meski kental dengan nuansa Islami, Desa Inggris Singosari tak pernah membatasi murid berdasarkan agama dan usia. Pada 2012, Avin mendapat penghargaan dari Pemerintah Amerika Serikat dan berkesempatan menempuh International Visitor Leadership Program di negeri Paman Sam itu.

1 komentar: