Rabu, 01 Maret 2017


Ternyata tak cuma di Jawa batik bisa ditemukan, kini Sumatera Utara pun telah mengembangkan motif-motif batik yang memiliki keunggulan pada corak dan pola warna khas. Perintis batik etnik Sumatera Utara adalah Nurcahaya Nasution. Kini, usahanya telah dikembangkan oleh anak-anak dan menantunya. Batik rintisannya pun kini menjadi batik khas Sumatera Utara yang difavoritkan. Diproduksi di tiga sanggar batik di Jalan Letda Sujono, kawasan Medan Tembung, masing-masing di Gang Al Halim Kiri, Gang Tapsel, dan Gang Musyawarah. Seperti namanya, motif yang diproduksi diambil dari motif dan warna khas dari berbagai etnis di Sumatera Utara, di antaranya pucuk rebung (Melayu), dengan warna kuning dan hijau, motif nengger (Pakpak), cincang duri (Mandailing), gorga (Toba), untir-untir (Nias), masing-masing dengan warna merah, putih, dan hitam. Selain itu, Nurcahya kini juga mulai mengembangkan motif landmark kota Medan, dan ada pula motif bunga-bunga biasa, yang juga mendapat sambutan baik dari publik.

Untuk menyelesaikan satu kain batik dibutuhkan waktu pengerjaan dua hari, namun untuk keseluruhan proses bisa sepuluh hari. Batik dikerjakan dengan perpaduan teknik canting dan cap. Kain putih jenis katun primissima atau kain dobi dicap sesuai motif etnik yang diinginkan, lalu dicelup sesuai warna etnik di Sumatera Utara. Motif tadi kemudian diblok dengan lilin dan dicelup untuk menghasilkan warna yang diinginkan, Usaha yang digagas Nurcahaya ini sekarang melibatkan lebih dari 100 pengrajin yang umumnya kalangan ibu rumah tangga di sekitar Medan Tembung. Mereka bekerja di rumah masing-masing maupun di sanggar batik yang ada di tiga lokasi tadi. Dari ketiga lokasi itu sudah mampu menghasilkan 1000-2000 lembar batik per bulan dan dipasarkan di Sumatera dan seluruh Indonesia. Ada juga wisatawan yang kebetulan datang ke Medan, singgah ke sanggar dan membeli batik. Selain produksi biasa, banyak pula kelompok yang memesan seragam batik, sehingga pendapatan pengrajin pun ikut meningkat. Sehari-hari mereka sibuk membatik dengan penghasilan rata-rata Rp 4 juta per bulan. Bahkan, kata Nurcahaya, ada pengrajinnya yang sudah menyelesaikan kuliah dari bekerja sebagai pembatik.


Nurcahaya merupakan lulusan keperawatan yang berubah profesi menjadi pengrajin batik dan berkembang. Setelah pensiun dari Dinas Kesehatan Deli Serdang, Sumatera Utara di tahun 2000, Nurcahaya sebelumnya lebih banyak mengisi kegiatannya dengan momong cucu, apalagi suaminya Kusmin sudah meninggal tahun 1999 silam. Kegiatan momong cucu pula yang terus ia lakukan ketika pindah sementara ke Yogyakarta, menemani menantunya yang kuliah di kota Gudeg tersebut. Walau sudah berada di Yogyakarta, yang termasuk sentra batik, ibu dari 4 anak dan nenek dari 12 cucu ini belum terpikir untuk membatik. Di sana ia malah mengikuti kursus membuat kerajinan lilin. Ketertarikannya pada batik mulai muncul di tahun 2008, saat ia mengikuti pelatihan membatik di Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Sumatera Utara selama dua pekan. Usai pelatihan, Nurcahaya melihat banyak ibu rumah tangga di sekitar rumahnya di Gang Musyawarah, Medan, sering hanya menghabiskan waktu dengan bergosip bersama tetangga. Ia pun terpikir untuk mengajak mereka membatik.

Namun kala itu, Nurcahaya merasa ilmunya belum cukup. Akhirnya dengan biaya sendiri, ia lantas pergi ke rumah gurunya di Tasikmalaya, Jawa Barat. Di sana, selama seminggu Nurcahaya kembali belajar membatik dari guru yang pernah melatihnya saat kursus di Dekranasda di Medan sebelumnya. Pulang dari Tasikmalaya, ganti Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Medan yang menggelar pelatihan membatik. Kali ini, bukan sebagai peserta, tapi Nurcahaya justru ditawari menjadi pelatih. Pesertanya ibu-ibu tetangganya di Gang Musyawarah berjumlah 20 orang. Honor dari hasil menjadi pelatih itu ia gunakan untuk membeli perlatan membatik, pesan langsung dari Tasikmalaya.


Bersama murid-muridnya itu, Nurcahaya lalu membuat batik sebisanya. Kemudian, UKM Center Medan memberinya kesempatan lagi menjadi pelatih membatik untuk 20 orang lainnya. Dan selanjutnya, mereka kembali memproduksi batik. Waktu itu batik yang dibuat masih meniru motif batik yang ada di Jawa, dan hasilnya pun masih jelek. Meski demikian, dari situ Nurcahaya mendapat undangan sebagai peserta untuk mengikuti pameran di Langkat. Di pameran tersebut ia membawa hasil karya murid-muridnya yang ternyata habis terjual. Dari sana lantas banyak yang menyarankannya untuk membuat batik etnik khas Sumatera Utara.

Merasa tertantang, Nurcahaya lalu mencari buku tentang pengetahuan etnis di Sumatera Utara ke berbagai perpustakaan di kota Medan. Dia juga pergi ke daerah seperti Balige dan Tarutung untuk mendokumentasikan ornamen atau rumah adat di sana. Dan setiap pergi ke mana saja lalu menemui sesuatu yang ada hubungannya dengan adat di Sumatera Utara, ia selalu memperhatikannya dengan teliti dan memfotonya untuk direproduksi ke dalam cap batik. Untuk membiayai kegiatan itu, Nurcahaya menggunakan uang pensiunnya. Bersama anak keduanya, Zuhrina Kustanti, Nurcahaya kemudian mengembangkan Batik Medan di rumahnya di Gang Musyawarah. Selanjutnya, di tahun 2011, ia pindah ke rumah  anak ketiganya, Zuhrita Kustiwa, di Gang Al Hakim Kiri, Jalan Letda Sujono, Medan. Di sana ia kembali mengembangkan batik yang sama dengan nama Batik Sumatera Utara.


Selain itu, Nurcahaya juga mulai melatih warga melalui lembaga kursus membatik yang didirikannya, yang diberi nama Saudur Sadalanan, yang dalam bahasa Mandailing berarti Searah Seperjalanan. Nama yang dipilih sesuai nama motif batik miliknya yang terpilih sebagai juara harapan I dalam Lomba Desain Batik Tingkat Nasional di Bandung, tahun 2010. Merasa batik Sumatera Utara sudah semakin berkembang, Nurcahaya pun kembali pindah lokasi. Kali ini ke rumah anak sulungnya, Zuhair Kustanto, di Gang Perjuangan. Di sana ia mengembangkan Batik Opung, diambil dari nama panggilannya sehari-hari. Selanjutnya, pada awal 2016 ia pindah ke Gang Tapsel, tempatnya memberi pelatihan dan produksi batik Opung.

Kini, Nurcahaya lebih banyak berbagi ilmu membatik melalui lembaga kursus dan pelatihan (LKP) Saudur Sadalanan yang berada di Gang Tapsel. Perempuan kelahiran Ipar Bondar, Tapanuli Selatan, 10 Mei 1945 ini juga memberi pelatihan batik ke berbagai daerah di Sumatera Utara, seperti Simalungun, Nias, Tebing Tinggi, dan Pematang Siantar. Di sana, selain memberi pelatihan membatik, Nurcahaya juga mengajarkan kewirausahaan dan manajemen usaha yang kurikulumnya ia buat sendiri. Untuk memperkaya ilmunya tentang batik, Nurcahaya juga menimba ilmu ke Pekalongan, Solo, dan Yogyakarta atas sponsor dari lembaga yang peduli pada pengembangan UMKM seperti Pertamina. Bahan baku batik pun sampai saat ini masih dikirim dari Pekalongan dan Solo.

Menurut Nurcahaya, uNsaha yang dirintisnya ini merupakan wujud mempertahankan warisan suku Batak, terutama ukiran-ukiran yang biasa terdapat pada bangunan di Medan. Saat ini, bangunan di Medan banyak yang sudah bertransformasi mengikuti perkembangan zaman sehingga ukiran-ukiran tersebut sudah jarang ditemukan, dan batik merupakan medium yang tepat untuk mempertahankan warisan budaya tersebut.




2 komentar:

  1. SAMBAL ROA JUDES adalah salah satu sambal dengan citarasa terbaik di Indonesia. Kehebatan rasa sambal ini pun bahkan sudah melanglang dunia karena digemari pula oleh masyarakat luar negeri. Terbuat dari bahan-bahan berkualitas dengan bahan utama ikan Roa yang khusus didatangkan dari Manado, Sulawesi Utara. Sambal siap saji ini dibuat dengan kemasan food grade (135 gram), tahan lama, cocok untuk teman bepergian atau oleh-oleh. Nikmat disantap dengan jenis lauk apa pun, yang pastinya akan menambah nafsu selera makan anda. Pemesanan Sambal ROA JUDES untuk wilayah Jakarta, hubungi Delivery SAMBAL ROA JUDES, melalui sms/whats app 085695138867. Pin BB : 5F3EF4E3.

    BalasHapus
  2. Boleh saya minta nomor kontak Ibu nur?

    BalasHapus