Jumat, 27 Maret 2015




Tak seperti pebisnis kuliner lain yang memilih lokasi strategis, Bambang Sudewo justru memilih lokasi di tengah perkampungan padat di bilangan Blunyahrejo, Yogyakarta, untuk membuka resto Rumah Pohon. Dan ternyata, sesuai dengan namanya, ia benar-benar membuka warung makan yang terletak di atas pohon. Resto Rumah Pohon menawarkan menu khas Indonesia, seperti sayur brongkos, rica-rica, iga bakar, serta sejumlah minuman khas Yogyakarta yang diolah sendiri oleh istri Bambang.

Selain menu khas, resto ini juga menawarkan sensasi bersantap seraya menikmati pemandangan alam dari puncak pepohonan. Ruang-ruang di atas pohon dibangun menempel pada empat pohon utama. Keempat pohon itu adalah pohon asem, jati belanda, alpukat, dan sawo kecil. Konstruksi bangunannya terbuat dari bambu.



Yang lebih tidak biasa adalah, konstruksi bangunan ruang-ruang kedai itu dibangun dari bambu hingga 6 lantai. Lantai 1 hingga lantai 4 sebagai ruang tempat pelanggan menyantap menu khas yang disajikan. Sedangkan lantai 5 berfungsi sebagai pesanggrahan untuk bermeditasi atau sholat. Di sebelah pesanggrahan mungil itu terdapat satu kamar yang difungsikan sebagai home stay. Sementara di lantai 6 difungsikan khusus sebagai gardu pandang untuk menikmati suasana kota Yogya dan sekitarnya dari puncak pohon asem setinggi 25 meter. Pohon asem inilah yang menjadi cikal bakal utama penopang Rumah Pohon.

Bisa dikatakan, kedai Rumah Pohon ini adalah kedai yang ‘tumbuh’, dalam arti pembangunannya. Berawal dari satu ruangan pesanggrahan saja di ketinggian 20 meter, kemudian berkembang menjadi 6 lantai melebar ke kanan dan kiri. Sejarah pembangunan rumah pohon ini berawal dari mimpi Bambang. Pria yang mengawali bisnisnya dari berjualan ramuan herbal terutama sirih merah ini suatu hari di tahun 2004 bermimpi bertemu mendiang ibunya. Di dalam mimpi tersebut, sang ibu memintanya dibuatkan rumah ibadah yang semilir sejuk. Anehnya, di dalam mimpi itu sudah terbayang di benak Bambang bentuk dan tiang-tiang penyangga bangunannya.



Keesokan harinya, Bambang berjalan di halaman rumahnya yang luas dan ditumbuhi rerimbunan pohon sirih merah, sampai akhirnya kakinya berhenti di dekat pohon asem setinggi 25 meter. Bambang pun merasa di puncak pohon asem itulah tempat semedi yang sesuai dengan permintaan ibunya. Maka, ia pun langsung mereka-reka desain musala yang akan ia bangun di puncak pohon asem tersebut. Sejak awal ia sudah memilih materinya terbuat dari bambu. Bambu-bambu yang dipilihnya harus yang besar dan berat Bambang menceritakan, saat pembangunan ia cukup sulit untuk menarik bambu-bambu itu ke atas pohon.

Singkat cerita, nyaris dua tahun rumah pohon itu baru selesai dibangun. Ada sembilan tiang utama yang menopang rumah ibadah berbentuk persegi lima itu. Bambang pun baru kepikiran untuk mengembangkan bangunan tersebut setahun kemudian, karena merasa lahannya masih cukup luas, sekitar 1.200 meter persegi. Tahun 2006, ia dan istrinya berkeinginan membuka rumah makan dengan menjual kelebihan rumah pohon yang mereka miliki. Modal utama untuk membuka kedai makan itu hanya Rp 2 juta. Ternyata rerspons masyarakat bagus. Dari sinilah Bambang berpikir untuk mengembangkan bangunannya. Karena di Indonesia belum ada resto di atas pohon, apalagi berlantai 6 seperti yang ia miliki.



Selain tamu lokal, wisatawan dari luar daerah juga memburu suasana makan di  kedai Rumah Pohon. Di sini tamu tak sekedar ingin bersantap, melainkan juga ingin menikmati segarnya suasana karena selain ditopang pohon besar, Bambang juga menghiasinya dengan tanaman hias di setiap ruangan. Dan pada akhirnya, kendati lokasi Rumah Pohon berada di tengah perkampungan padat, namun tetap diburu calon pelanggan. Jumlah tamu akan lebih banyak terutama pada hari Jumat, Sabtu dan Minggu. Dan sepanjang Ramadhan Bambang pun mengaku juga tidak bisa menolak tamu.

Kedai Rumah Pohon Mas Dewo
Blunyahrejo TR II / 808 Yogyakarta
Telp. 0274 518046

Opening Hours
10:00 – 22:00 WIB



0 komentar:

Posting Komentar