Senin, 30 Maret 2015




Nama usahanya, Dhievine. Sang pemilik, Widya Andhika Aji atau akrab dipanggil Dhika, mengaku usahanya fokus mengolah batik dan tenun. Menurut Dhika, batik kini memang sudah menjadi komoditas utama dan menawarkan peluang bisnis. Selain itu, lewat desainnya, Dhika juga percaya batik bisa menjadi fashion ready to wear dan membuat orang tak pernah bosan. Brand Dhievine memang identik dengan batik dan tenun. Dhievine sendiri, menurut Dhika, bisa berarti definisi, tapi juga bisa berarti dewa. Kebetulan, pas pula dengan huruf ‘Dh’ di depannya, yang merupakan bagian dari nama Dhika.

Dhika, yang selalu membubuhkan tanda tangannya di setiap karya desainnya ini, menjelaskan, sebelum membuat Dhievine, ia awalnya sudah mencoba berbisnis fashion vintage. Ia mengaku memang suka berjualan dan memulainya dengan bisnis tersebut. Tapi kendalanya, ternyata lama kelamaan barangnya makin habis. Lulusan Fakultas Komunikasi Universitas Diponegoro, Semarang ini kemudian mencari barang lain yang bisa dijual. Pernah ia berjualan ritel produk yang seperti di Tanah Abang, tapi sayangnya kualitasnya jelek. Akhirnya, muncul keinginan untuk berjualan produk fashion dengan konsep yang bagus, ditambah passion terhadap fashion dan fotografi yang memang kuat. Nah, karena dirinya memang suka sekali dengan batik, akhirnya ia pun membuat baju dan tas dari bahan batik, yang ternyata banyak disukai orang dan laris.


Dengan bermodal nekat, Dhika akhirnya benar-benar terjun mencoba peruntungan di dunia bisnis batik. Saat itu di tahun 2011, meski masih kuliah tapi ia sudah serius ingin berbisnis. Ia juga sudah mulai mempekerjakan satu penjahit, meski dirinya tidak punya ilmu apapun. Dhika lalu mulai mencoba membuat desain batik kombinasi, bukan batik polos. Jadi, ada padanan batik dengan chiffon, denim, dan tile. Responsnya ternyata positif. Dhika yang bergelar double degree ini lalu juga membuat tagline yang membuat Dhievine semakin dikenal karena kombinasinya yang chic, yakni redefine you. Maksudnya adalah lewat batik bisa mendefinisi ulang si pemakainya.

Dibantu teman kerjanya, Betty, yang bertugas menjadi Managing Director, Dhika semakin serius menggarap bisnisnya. Ia berusaha meritelkan koleksi batiknya. Sistem pun dibuat, mulai dari materi. Ia mengambil batik cap dan tenun ikat dari pengrajin. Dan benar saja, tepat setahun berjalan, di tahun 2012, produk milik Dhika mulai dilirik retailer sebesar Berrybenka dan beberapa ritel e-commerce lainnya. Mulai dari sinilah akhirnya ia belajar mengenai dunia ritel. Beberapa masukan pun datang, seperti keyword produk yang laku dan diminati seperti apa dan akhirnya dibuat kontinyu.


Melihat potensi yang besar, gadis kelahiran Jakarta 18 Februari 1988 ini pun semakin serius dan mempekerjakan pegawai profesional lulusan Sekolah Desain Susan Budihardjo. Pegawainya ini pun yang kemudian juga banyak kasih masukan untuknya. Bakat Dhika pun juga masih terasah dengan membuat berbagai desain. Sket memang berasal dari dirinya, padanan pun juga. Tapi Dhika mengaku ia lebih suka disebut business women daripada fashion designer, karena memang dirinya ingin ke industri fashion. Namun masalahnya, Dhika mengakui bahwa ia terkendala bahasa teknis fashion dengan para pekerjanya. Jadi, daripada tidak paham sama sekali, akhirnya di tahun 2013 ia pun mengikuti sekolah busana juga di Susan Budihardjo.

Hasilnya, selain semakin paham mengenai bisnis ritel yang membawa produknya makin dikenal, Dhika juga semakin mengerti teknis produksi mulai dari desain hingga barang jadi, demikian juga dari mulai produki hingga pemasarannya. Dengan sistem ritel, kenaikan produksi juga sudah 100%. Kalau satu ritel saja minta 10 produk dan satu produk biasanya 6 hingga 10 item, paling tidak produksinya bisa 60 sampai 100 item. Belum lagi dengan ritel lain dan custom made untuk pelanggan tetap Dhievine. Soal harga, Dhika mengaku memang mematok dengan harga premium, mulai Rp 300 ribu hingga Rp 1 jutaan. Harga ritel dan custom made tentu saja beda. Karena kalau custom made itu tergantung bahan dan permintaan. Yang jelas, semuanya menggunakan bahan berkualitas, sehingga pelanggan pun puas.


Untuk pemasaran, gadis pecinta kucing ini juga memilih berjualan lewat media sosial Instagram. Menurutnya, memasarkan lewat online lebih mengurangi ongkos produksi. Sejak awal, ia memang tidak mau ada toko. Dan inginnya nanti, kalau bisa ia cukup memiliki galeri yang konsepnya seperti hardwear store saja. Ke depan, Dhika yang memiliki workshop di kawasan Srondol, Semarang ini, memiliki rencana mengembangkan desain produknya. Nantinya tidak hanya untuk fashion wanita dewasa, tetapi juga untuk anak-anak. Jadi nantinya ibu dan anak bisa tampil kembaran. Dhika juga ingin lebih banyak desain yang ready to wear tapi tetap harus membuat yang couture agar bisa segera bergabung dengan APPMI dan tetap berkarya kreatif lewat couture. Dhika pun optimis, bisnis batik akan terus semakin maju dan berkembang. Apalagi Presiden Indonesia juga seorang pecinta batik dan peduli dengan bisnis kreatif, jadi peluangnya akan semakin besar.

DHIEVINE
For Order or Details please contact :
dhie@dhievine.com
or text us to: 082135305999
or add pin 7D59EF1C

1 komentar:

  1. Artikel yang bagus, menarik dan bermanfaat...
    untuk Training ISO bisa menghubungi:
    Training ISO


    (FR)

    BalasHapus